Meretas Permasalahan Islam di Dunia

Sistem Monarki, Arabisasi, Ekspansi Politik dan Perkembangan sains Era Bani Umayyah



1.     Sistem Monarki Pemerintahan Bani Umayyah
Setelah Muawiyah menjadi khalifah Umat Islam, ia mulai menata pemerintahannya. Kebijakan ini dilakukan untuk mengantisipasi tindakan-tindakan yang timbul dari reaksi pembentukan kekuasaannya. Khususnya dari kelompok yang tidak menyukainya. Langkah awal yang diambilnya adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus[1]. Hal ini dapat dimaklumi, karena jika dianalisa setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan Mu’awiyah mengambil langkah ini, yaitu karena di Madinah sebagai pusat pemerintahan khulafaurrasyidin sebelumnya, masih terdapat sisa-sisa kelompok yang anti pati terhadapnya. Ini akan menggangu stabilitas kekuatannya, selain itu di Madinah dia kurang memiliki pengikut yang kuat dan fanatik, sedangkan di Damaskus pengaruhnya telah menciptakan nilai simpatik masyarakat, basis kekuatannya cukup kuat.


Berikutnya, Mu’awiyah melakukan mengganti sistem kekhalifahan kepada sistem kerajaan[2]. Sistem yang dilakukan berbias baik secara sengaja ataupun tidak kepada nilai kesukuan dan kekeluargaan. Hal ini disebabkan dengan diberlakukannya perubahan kepada sistem dinasti memberikan pengertian bahwa pemerintahannya akan bersifat monarki, yang pergantian pemimpin dilakukan berdasarkan garis keturunan, dan bukan atas dasar demokrasi sebagaimana yang terjadi di zaman sebelumnya.

Secara personal, dalam menghadapi reaksi sistem yang dilaksanakannya, memang Mu’awiyah bersikap bijaksana, seperti yang diungkpkan Shaban[3] bahwa beliau merupakan seorang pemimpin yang bijaksana, meskipun dalam menghadapi tekanan-tekanan keras. Ia dapat mengusai diri dan mengambil tindakan (keputusan) secara bijaksana. Ia melihat dengan seksama faktor apa penyebabnya dan mencari alternatifnya, antara lain lewat perdamaian atau memberlakukan musuh dengan keluhuran dan kebesaran.

Bila diperhatikan, secara historis Mu’awiyah memiliki kepribadian yang luhur, sehingga ditempatkan pada kedudukan yang terhormat baik pada masa Rasulullah maupun khulafaurosyidin, namun jika dianalisa silsilah dari Mu’awiyah, memiliki nilai politik kekeluargaan, keturunan Umayyah. Terlepas dari nilai-nilai analisis di atas, sistem yang di terapkan Mu’awiyah di dalam pemerintahannya berimplikasi negatif pada umat secara umum, khususnya masyarakat non Arab. Hal ini disebabkan akan tertanamnya bibit perpecahan di kalangan umat, sebagaimana yang digambarkan oleh Ibnu khaldun seperti di kutip Ahmed bahwa pengaruh politik dari sistem kekuasaan dan kekeluargaan ini berdampak negatif yaitu perpecahannya umat.[4]

Dengan model monarki absolut, yang berhak menjadi khalifah adalah putra mahkota atau putra saudaranya. Jika tidak ada anak laiki-laki, maka yang diangkat adalah anak perempuan mereka tertua, ini menunjukakan ketertutupannya peluang bagi keturunan lain di luar keturunan lain di luar keturunan Umayyah. Terkadang telihat timbulnya persaingan di kalangan keluarga kerajaan (putra-putra mereka) untuk saling merebut kursi kekhalifahan yang acapkali menimbulkan pertentangan-pertentangan yang akhirnya membuat konflik berdarah atau kudeta.

Bila hal ini terjadi maka rakyatlah yang akan lebih menderita, disisi lain perpecahan pun tak terelakkan lagi. Model pemerintahan yang ditetapkan Mu’awiyah ini bannyak diambil dari model pemerintahan Byzantium.[5] Ini dapat dimaklumi bila dilihat, secara historis Syiria (Suriah) pernah dikuasai Byzantium selam kurang lebih 500 tahun sampai kedatangan Islam. Sedangkan Damaskus yang menjadi pusat pemerintahan Syiria ketika pernah dikuasai Byzantium. Rentetan peristiwa ini setidaknya ikut mewarnai corak atau model pemerintahan Mu’awiyah yang mendirikan Dinasti Umayyah.[6]

2.      Perkembangan Sains Bani Umayyah
Dinasti umayyah berlangsung selama 90 tahun lamanya dengan beberapa 19 khalifah. Dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut, tentu saja sudah banyak yang dilakukan oleh dinasti Umayyah dalam memajukan Islam, terutama di sektor perkembangan ilmu pengatahuan. Seperti pada masa-masa khalifah sebelumnya, masa Bani Umayyah, akal dan ilmu juga berjalan seperti pada masa itu, walaupun beberapa kemajuan yang berhasil dilakukan oleh dinasti Umyyah, karena pada waktu yang telah dirintis jalan ilmu naqli; berupa ilmu filasafat dan eksakta.
Pada masa Dinasti Umyyah, ilmu pengetahuan berkembang dalam tiga bidang, yaitu bidanga diniyah, tarikh, dan filsafat. Yuhana al-Dimaski, tokoh filsafat beragama nasrani yang terkenal dalam agama kristen. Kota-kota yang menjadin pusat ilmu pengetahuan selama pemerintahan dinasti Umayyah, antara lain kota Kairawan, Kordoba, Granda dan lain sebagainya.
Pada masa umayyah, ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam, yaitu : pertama, Al-Adabul Hadits (ilmu-ilmu baru), yaitu meliputi : Al Ulumul Islamiyah (ilmu Al Qur’an, Hadits, Fiqh, Al-ulumul Lisaniyah, At Tarikh dan al Jugrafi), Al Ulumul Dkhiliyah (ilmu yang di perlukan untuk kemajuan Islam), yaitu ilmu yang telah ada pada zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu lughah, khitabah dan amtsal.[7]

3.      Ekspansi Politik Bani Umayyah
Masa-masa kejayaan bani Umayyah mencapai puncaknya pada masa Al-Walid Ibnu Malik (705-715. Masa ini merupakan masa-masa kejayaan kekuasaan Bani Umayyah, karena ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam benar-benar mendapatkan kebahagian. Pada masa ini, perluasan wilayah kekuasaan dari afrika menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, bahkan perluasan ini juga sampai ke Andalusia (Spanyol) di bawah kepemimpinan panglima Thariq bin Ziad, yaitu berhasil menaklukan Kordova, Granada, dan Toledo.

Selain gerakan luar negeri, dinasti Umayyah juga banyak melakukan kerya-karya yang sangat berarti, misalnya Mu’awiyah sudah merancang pola pengiriman surat (post), kemudian dimatangkan lagi pada masa malik bin Marwan. Proyek al Barid (post) ini, semakin ditata dengan baik, sehingga menjadi alat pengiriman yang baik pada waktu itu.[8] Bahkan pada masa itu, Sulaiman ibn Malik, telah dibangun pembangunan mega raksasa yang terkenal dengan Jami’ul Umawi.

Bahkan pada masa Daulah Umayyah, gerakan sastra dan seni juga sempat muncul dan berkembang, yaitu pada masa khalifah Abdul Malik, setelah al Hujjaj berhasil mendudukkan ibnu Zubair di Hijaz. Di negri itu telah muncul generasi baru yang bergerak di bidang sastra dan seni. Pada masa itu muncul tokoh Umar ibnu Abi Rabi’ah, seorang penyair yang sangat mashur, dan muncul perkumpulan penyanyi ahli musik. Seperti Thuwais dan Ibnu Suraih serta al Gharidl.[9]

4.     Arabisasi Bani Umayyah
Selain itu, gerakan penerjemahan ke dalam bahasa Arab (Arabisasi buku), juga dilakukan, terutama pada masa khalifah Marwan. Pada saat itu, ia memerintahkan penerjmahan sebuah buku kedokteran karya Aaron, seorang dokter dari iskandariyah, ke dalam bahasa Siriani, kemudian diterjemahkan lagi kedalam bahasa Arab. Demikian pula, khalifah memerintahkan menerjemahkan buku dongeng dalam bahasa sansakerta yang dikenal dengan Kalilah wa Dimanah, karya Bidpai. Buku ini diterjemahkan oleh Abdullah ibnu al Muqaffa. Ia juga telah banyak menerjemahkan banyak buku lain, seperti filsafat dan logika, termasuk karyaa Aristoteles :Categoris, Hermeneutica, Analityca Posterior serta karya Porphyrius : Isagoge.[10]

Demikian juga, pada masa dinasti Umayyah, sudah mulai dirancang tetang undang-undang yang bersumber dari Al Qur’an, sehingga menuntut masyarakat mempelajari tentang tafsir Al Qur’an. Salah seorang ahli tafsir pertama dan termashur pada masa tersebut adalah Ibnu Abbas. Pada waktu itu beliau telah menafsirkan Al Qur’an dengan riwayat dan isnad, kemudian kesulitan-kesulitan dalam mengartikan al Qur’an dicari dalam al Hadits, yang pada giliranya melahirkan ilmu Hadits.

Gerakan arabisasi juga bukan hanya dilakukan pada penerjemahan, tetapi juga dalam konteks kebijakan pemerintahan. Pada masa Abd. Malik (685-705 M) mulai diperkenalkan bahasa arab untuk tujuan-tujuan administrasi, mata uang gaya baru diperkenalkan, dan hal ini memiliki arti yang sangat penting, karena mata uang merupakan symbol kekuasaan dan identitas.[11]sebab, mata uang baru ini pun dicetak dengan bahasa arab keesaan Tuhan dan kebenaran agama Islam.[12]






[1] Syed Mahmuddunasir, Islam Its Concept And History (New Delhi: Lahoti Fine Arr Press, 1985), hlm. 151.
[2] Fuad Mohd Fachruddin, Perkembagan Kebudayaan Islam (Jakarta:Bulan Bintang, 1985), 44.
[3] Shaban, Sejarah Islam (600-750): Penafsiaran Baru (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993), 113.
[4] Akbar S. Ahmed, Discovering Islam: Making Sence Of Muslim History And Socety, Terj. Nunding Ram & H. Ramili Yakub (Jakata: Erlangga, 1992), 43-44.
[5] Nourouzzaman Shiddiqie, Tamadun Muslim, Bunga Rampai Kebudayaan Muslim (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 72.
[6] Opcit, Imam, Fu’adi, 73.
[8] Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta : Kalam Mulia, 2003), 328.
[9] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Peradaban Islam, 70
[10] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta, Pustaka Obor, 2002), 37.
[11] Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim (Bandung, Mizan, 2004), 82
[12] Ibid, 83.

Tag : Sejarah
Back To Top