Meretas Permasalahan Islam di Dunia

Politisi Pendidikan Indonesia

Berbicara tentang pendidikan pada masa kini sangat rumit, karena pendidikan sebagai jalan untuk memanusiakan manusia dan menjadi ketentraman bagi manusia malah mengandung percekcokan yang sangat hebat bahkan banyak memakan korban dari  peserta didik yang tidak dapat mencapai tujuan tertentu seperti tidak lulus UN, akhirnya ketidak lulusan tersebut menyebabkan para peserta didik menjadi stress.

Sebanarnya para ahli pendidikan telah memaparkan berpuluh-puluh teori tentang pendidikan, akan tetapi pada kenyataannya dilapangan,  pendidikan bersifat politis, sehingga pendidikan digunakan alat untuk menjalani tindakan korupsi. Pada kelanjutannya indonesia mencetak para peserta didik yang tidak berkwalitas. Meskipun mereka lulus dan tamat dari lembaga pendidikan tertentu tapi  mereka lulus sulapan bukan lulus secara hakekat pendidikan itu sendiri.Untuk itu saya perlu memaparkan pengertian pendidikan menurut para ahli pendidikan. Harapannya dapat memahami inti sari dari pada pendidikan itu sendiri.


Pendidikan sebagaimana yang dikemukakan Amir Daien Indrakusuma dalam bukunya Pengantar Ilmu Pendidikan  “ Pendidikan adalah usaha sadar yang teratur dan  sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi  anak  agar mempunyai sifat-sifat sesuai dengan cita-cita pendidikan”.  Selanjutannya  Amir Daien menyatakan “Pendidikan ialah bantuan  yang diberikan secara sengaja kepada anak dalam pertumbuhan jasmani maupun  rohaninya untuk  mencapai tingkat dewasa”

Dari pengertian pendidikan di atas dapat disimpulkan, bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa:  “Tujuan Pendidikan Nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”

Pada kenyataannya tujuan pendidikan tersebut diabaikan oleh para politisi pendidikan, seharusnya jika mengacu pada tujuan pendidikan, kelulusan siswa di ukur dari aspek Kognitif, psikomotrik dan Afektif. Tapi UN yang diselenggarakan pada tahun ini dan tahun- tahun sebelumnya UN hanya mengukur kelulusan siswa dari aspek Kognitif, sehingga Aspek yang lain tidak ada artinya dalam mencetak siswa yang berpotensi. Padahal aspek psikomotorik dan afektif  menjadi pembekalan yang monumental bagi siswa untuk hidup di lingkungannya.

Kalau ditinjau dari psikologi, kemampuan siswa berbeda-beda dan bermacam-macam, bukan hanya berpusat kepada Kognitif saja. Mana mungkin mencapai tujuan yang sama jika kemampuan siswa berbeda-beda. Seharusnya pendidikan itu meningkatkan potensi bakat dan minat siswa, bukan pemerkosaan potensi peserta didik.

Bahkan yang lebih parah lagi, pemerintah pusat telah menetapkan kreteria kelulusan siswa secara diktator pada nilai UN dengan nilai minimal rata-rata semua Mapel 5,50 dan nilai minimal permapel 4,00, sehingga dengan ketetapan diktator tersebut berdampak kepada siswa dan lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Pertama; Pihak siswa mengalami depresi yang luar biasa, sehingga dari kecemasan tersebut belajar siswa tidak sepenuhnya dengan kesadaran melainkan dengan keterpaksaan yang luar siswa. Akibat dari kecemasan tersebut kinerja otak siswa tidak encer lagi.

Kedua; dari pihak lembaga demi citra baiknya melakukan berbagai cara untuk meluluskan para peserta didiknya, sehingga kepala sekolah memberikan bocoran jawaban soal UN kepada siswa secara masal. Akibat dari tindakan tersebut siswa juga yang menjadi korbannya, siswa tamat belajar pada saat kemampuannya masih dini.

Saya kira dapat kita pahami bersama bahwa pelaksanaan UN ada kaitannya dengan unsur politis, karena pelaksanaan UN itu sendiri memakan biaya yang sangat besar yaitu memakan biaya 600 Milyar pada tahun ini, belum lagi ditambah dana APBD dan partisipasi peserta didik. Namun sistem pengelolaan UN masih terbuka ruang penyelewangan dana ( Korupsi), semisalnya dana Try Out di NTT yang tidak jelas kepastiaannya.

Penulis bukannya  tidak setuju bila nilai minimal UN ditetapkan, karena bagaimanapun nilai minimal sangat diperlukan untuk mengukur kemampuan siswa, akan tetapi nilai minimal tersebut jangan ditetapkan secara diktator dari pusat, karena setiap daerah mempunyai latar belakang potensi yang berbeda-beda baik dari siswa (Aspek Kognitif, psikomotorik dan afektif) maupun lembaga pendidikan yang bersangkutan. Hendaklah nilai minimal tersebut ditetapkan secara lokal perdaerah menurut potensinya masing-masing dan   Aspek Kognitif, psikomotorik dan afektif menjadi perhatian penuh pada setiap peserta didik untuk mencapai tujuan nilai minimal.

                                                                                                
Tag : Writing Day
Back To Top