1.
Pengertian Progresivisme
Progresivisme adalah
suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini
berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di
masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya menfokuskan pada
guru atau bidang muatan. Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh
pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan
yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat
menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri.[1]
Oleh karena kemajuan
atau progres ini menjadi suatu statemen progresivisme, maka beberapa ilmu
pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama
dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi dan ilmu alam.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut
progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluratis.
Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman
baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar
berfungsi untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks.
Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang
setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Progresivisme merupakan
pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada
krativitas, aktivitas, belajar “naturalistik”, hasil belajar “dunia nyata” dan
juga pengalaman teman sebaya aliran progresivisme telah memberikan sumbangan
yang besar di dunia pendidikan pada saat ini. aliran ini telah meletakkan
dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan
kebaikan, baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan
kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang
dibuat oleh orang lain.[2]
Salah satu dari
banyaknya aliran-aliran filsafat pendidikan modern adalah aliran progresivisme.
Aliran filsafat pendidikan modern ini mengakui dan mengembangkan asas
progresivisme dalam sebuah kehidupan nyata. Aliran ini telah memberikan
sumbangan yang besar pada dunia pendidikan sekarang ini.
Aliran filsafat
pendidikan progresivisme ini meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan
kepada anak didik atau siswa. Anak didik diberikan kebebasan secara fisik
maupun berpikir agar dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam
tanpa halangan atau rintangan yang dibuat orang lain. Oleh karena itu, aliran
pendidikan ini tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.[3]
Progresivisme
berpendapat bahwa tidak ada teori realita yang umum. Penggalaman menurut progresivisme
bersifat dinamis dan temporal. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus
karena adanya penggalaman-penggalaman baru antara individu dan dilai yang telah
disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk mempertinggi taraf kehidupan
sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental,
yaitu setiap waktu dapat di sesuaikan dengan kebutuhan.[4]
Pendidikan sebagai
gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan individual, sosial, dan
kultural. Pada sekala mikro, pendidikan bagi individu dan kelompok kecil
berlangsung dalam skala relatif terbatas, seperti antar sesama sahabat, antara
sesama guru dan satu atau sekelompok kecil siswanya, antara suami dan istri
dalam keluarga, antara orang tua dan anak. Adanya individu dan kelompok yang
berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dan
kebudayaannya secara progresivisme[5].
Pengertian progresivisme
adalah gerakan pendidikan yang menggutamakan penyelenggaraan pendidikan di
sekolah berpusat pada anak didik (child-centered), sebagai reaksi terhadap
pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru (teacher-centered) atau
bahan pelajaran (subject centered).[6]
Tokoh aliran progresivisme
adalah jonh dewey. Aliran ini berpendapat bahwa manusia mempunyai
kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah
yang bersifat menekan, ataupun masalah-masalah yang bersifat menggancam
dirinya. Aliran ini memandang bahwa peserta didik mempunyai akal dan
kecerdasan. Manusia memiliki sifat dinamis dan kreatif dan didukung oleh
kecerdasannya sebagai bekal menghadapi dan memecahkan masalah.[7]
Dimulai pada tahun 1897
John Dewey menerbitkan ringkasan teorinya tentang pendidikan progresif di
Sekolah Journal. Sudut pandang teoritisnya dibagi menjadi 5 bagian diuraikan di
bawah ini.
Apa Pendidikan itu:
Pendidikan menurut
Dewey adalah "partisipasi individu dalam kesadaran sosial dari
perlombaan". Dengan demikian, pendidikan harus memperhitungkan bahwa siswa
adalah makhluk sosial. Proses dimulai saat lahir dengan anak secara tidak sadar
memperoleh pengetahuan dengan anak akhirnya dan secara bertahap mengembangkan
pengetahuan mereka untuk berbagi dan ikut serta dalam masyarakat.
Proses pendidikan
memiliki dua sisi, psikologis dan sosiologis, dengan psikologis membentuk
dasar. Naluri sendiri Seorang anak akan membantu mengembangkan materi yang
disajikan kepada mereka. Ini naluri juga membentuk dasar dari pengetahuan
mereka dengan segala bangunan di atasnya. Hal ini membentuk dasar asumsi Dewey
bahwa seseorang tidak bisa belajar tanpa motivasi.
Pengetahuan adalah
kondisi sosial dan penting untuk membantu siswa membangun pembelajaran mereka
sendiri, seperti yang dinyatakan:
"Oleh karena itu
tidak mungkin untuk mempersiapkan anak untuk setiap tepat kondisi. Untuk
mempersiapkan dirinya untuk kehidupan masa depan berarti memberinya perintah
sendiri, artinya sehingga untuk melatih kepadanya bahwa ia akan memiliki
penggunaan penuh dan siap semua kapasitasnya, bahwa mata dan telinga dan tangan
dapat menjadi alat siap untuk perintah, yang penilaiannya mungkin mampu
menangkap kondisi-kondisi yang harus bekerja, dan pasukan eksekutif dilatih
untuk bertindak secara ekonomis dan efisien.
Instruksi harus fokus pada
anak secara keseluruhan untuk Anda tidak pernah bisa yakin ke mana masyarakat
dapat berakhir atau di mana siswa yang akan dibutuhkan atau akan mengambil
sendiri.
Apa Sekolah:
"Pendidikan gagal
karena mengabaikan prinsip dasar sekolah sebagai bentuk kehidupan masyarakat.
Disekolah sebagai tempat di mana informasi tertentu yang akan diberikan, di
mana pelajaran tertentu harus dipelajari, atau di mana kebiasaan tertentu akan
dibentuk ". Dewey merasa bahwa pendidikan merupakan konstruksi sosial , karena
itu merupakan bagian dari masyarakat dan harus mencerminkan masyarakat.
Pendidikan adalah
proses hidup dan tidak dimaksudkan untuk menjadi persiapan hidup masa depan,
sehingga sekolah harus mewakili kehidupan sekarang. Dengan demikian, bagian
dari kehidupan rumah siswa (seperti pendidikan moral dan etika) harus mengambil
bagian dalam proses pendidikan. Guru adalah bagian dari hal ini, bukan sebagai
sosok yang berwibawa, tetapi sebagai anggota masyarakat yang ada untuk membantu
siswa.
Subjek atau Materi
Pendidikan
Menurut Dewey,
kurikulum di sekolah-sekolah harus mencerminkan bahwa masyarakat. Pusat dari
kurikulum sekolah harus mencerminkan perkembangan manusia dalam masyarakat.
Studi tentang mata pelajaran inti (bahasa, ilmu pengetahuan, sejarah) harus
dibarengi dengan studi memasak, menjahit dan manual pelatihan. Selain itu, ia
merasa bahwa "kemajuan tidak dalam suksesi studi tetapi dalam pengembangan
sikap baru terhadap, dan kepentingan baru, pengalaman".
Metode
Metode ini difokuskan
pada kekuatan anak dan kepentingan. Jika anak dilemparkan ke dalam peran pasif
sebagai mahasiswa, menyerap informasi, hasilnya adalah buang-buang pendidikan
anak. Informasi yang disajikan kepada siswa akan berubah menjadi baru, gambar
bentuk dan simbol oleh siswa sehingga mereka sesuai dengan perkembangan dan
kepentingan mereka. Perkembangan ini alami.
Sekolah dan Kemajuan
Sosial
Pendidikan adalah
metode yang paling mendasar dari rekonstruksi sosial untuk kemajuan dan
reformasi. Dewey percaya bahwa "pendidikan adalah pengaturan mengenai
proses datang untuk berbagi dalam kesadaran sosial, dan bahwa penyesuaian
kegiatan individu atas dasar kesadaran sosial ini adalah satu-satunya metode
yakin rekonstruksi sosial". Dengan demikian, Dewey memberikan cara untuk
Rekonstruksi Sosial dan sekolah sebagai sarana untuk merekonstruksi masyarakat
(Lihat Rekonstruksi Sosial dalam Pendidikan). Akhirnya, sebagai sekolah menjadi
sarana untuk rekonstruksi sosial, pendidikan kita harus diberi peralatan yang
tepat untuk membantu melakukan tugas ini dan membimbing siswa mereka.[8]
Dalam pandangan islam,
mahsasiswa merupakan komunitas yang terhormatdan terpuji,[9]
karena ini merupakan komunitas yang menjadi cikal bakal lahirnya ilmuan
(scietist) yang diharpakan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, dan memberikan
penjelasan pada masyarakat dengan pengetahuannya itu.[10] Perkembangan
bersifat membulatkan ciri pengenal lain yang perlu dikemukakan ialah fakta
bahwa perkembangan yang dialami oleh sesuatu yang merupakan proses yang
bersifat membulatkan apa yang telah disaringkan itu kedalam dirinya sendiri.
Sesungguhnya hidup lebih merupakan suatu proses yang menunjukkan corak kegiatan
yang sintesis dan bersifat membulatkan.[11]
Kita tahu bahwa anak
penyu yang baru menetas segera menggunakan nalurinya merangkak kearah laut
untuk kemudian masuk ke laut menghadapi tantangan kehidupannya. Anak marmot
yang baru dilahirkan segera juga dapat berjalan. Demikian pula halnya dengan
anak kambing, domba, atau rusa, yang agaknya setelah dilahirkan harus segera
dapat ikut berjalan atau berlari mengikuti perjalanan induknya.[12] Itu
saya katakan sebagai perkembangan, tidak beda juga dengan manusia dalam hal
belajar meraka sebenarnya juga ingin berkembang sendiri, tapi yang sering orang
tua yang selalu merasa besar kekhawatirannya terhadap anak-anak mereka sehingga
perkembangan meraka selalu terhenti dimana anak itu ingin mengetahui sesuatu.
Tidak demikian halnya
dengan hewan lain seperti kucing, anjing, dan kera yang dilahirkan tanpa
kemampuan apa-apa. Demikian halnya dengan anak manusia, karena bayi yang baru
lahir belum mampu bergerak memindahkan dirinya dan belum mampu bercakap-cakap.[13]
Itulah bedanya dengan manusia dengan hewan.
2.
Model Pendidikan yang Berparadigma Progresivisme
Dunia
pendidikan di Indonesia sering kali mendapat kritikan dari berbagai pihak.
Diantaranya, pendidikan di Indonesia belum menemukan sebuah paradigma dan
patokan yang subtansial baik dalam tatanan teoritis filosofis maupun
operasionalnya. Sehingga terkesan pendidikan hanya sebagai ajang percobaan. Hal
ini cukup kuat dijadikan alasan, karena penampilan pendidikan itu sendiri masih
abstrak dan masih belum menyentuh realitas budaya Indonesia.
Dalam
konteks pendidikan modern saat ini yang lebih mengedepankan corak pemikiran
rasionalis dan empirik, berkembang berbagai konsepi atau teori pendidikan
seperti misalnya. nativisme, empirisme dan konverguensi.disamping itu pula,
muncul aliran progresifisme, essensialisme, perenialisme, dan
rekonstruksionisme.
Nah,
dari ulasan paradigma pendidikan tersebut. tulisan kali ini saya ingin mencoba
memaparkan tentang teori pendidikan progresivisme beserta pandangannya terhadap
elemen dalam lingkup pendidikan itu sendiri.
Progresivisme
berkembang pada awal abad 20, aliran ini lahir sebagai pembaharu dalam dunia
filsafat pendidikan terutama pada saat tampil sebagai lawan kebijaka-kebijakan
konvensional yang diwarisi dari generasi sebelumnya yaitu dari abad 19.
Meskipun banyak menuai kritikan, aliran ini telah banyak berjasa dan memberikan
banyak kontribusi terhadap dunia pendidikan pada saat itu. Karena telah banyak
meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik.
Dalam
konsepsinya, peserta didik diberi kebebasan baik fisiknya maupun cara
berfikirnya, supaya dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam
dalam dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain.
Jadi, progresivisme tidak menyutujui pendidikan yang otoriter, sebab pendidikan
yang demikian itu akan mematikan daya kreasi baik secara fisik mapupun psikis
peserta didik.[14]
Hal
ini tak lepas dari peran John Dewey seorang tokoh progresivisme, dimana
alirannya ini sangat berpengaruh dalam setiap pembaharuan pendidikan. Dan
dengan pandangannya, progresivisme dianggap sebagai the liberal road to culture dalam artian bahwa liberal berarti
fleksibel, berani toleran dan transparan.
“Progresiv” merupakan petunjuk untuk melaksanakan pendidikan yang lebih maju dari
sebelumnya, khususnya para peserta didiknya. Dengan berlandaskan pemikirannya,
yakni sebagai dasar berfikir dan bertindak. Maka tidaklah mengherankan jika
pendidikan progresivisme selalu menekankan tumbuh dan berkembangnya sikap
mental dan pemikiran dalam pemecahan masalah dan kepercayaan pada diri sendiri untuk
seluruh anak didiknya.
Pandangan Progersivisme Tentang Pendidikan
Progresivisme
dalam pendidikan adalah bagian dari gerakan revormis umum sosial-politk yang
menandai kehidupan Amerika. Progresivisme sebagai teori yang mucul dalam reaksi
terhadap pendidikan tradisional yang menekankan metode formal pengajaran,
belajar mental dan, suasana klasik peradaban barat. Pada dasarnya teori
menekankan beberapa prinsip, antara lain; Pertama, proses pendidikan berawal
dan berakhir pada anak. Kedua, subjek didik adalah aktif, bukan pasif. Ketiga,
peran guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing atau pengarah. Keempat,
sekolah harus koperatif dan demokratif. Kelima, aktifitas lebih fokus pada
pemecahan masalah, bukan untuk pengajaran materi kajian.
Pendidikan
Progresivisme
meyakini proses pendidikan memliki dua segi, yaitu psikologis dan sosialogis. Dari
segi psikologis, pendidikan harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya yang
ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Sebagaimana psikologinya yang
berpengaruh di Amerika, yaitu psikologi dari aliran Behaviorisme dan
Pragmatisme.[15]
Sedangkan dari sisi sosiologisnya, pendidikan harus mengetahui kemana tenaga
itu harus dibimbing.
John
Dewey menyatakan bahwa tenaga-tenaga tersebut harus diabadikan pada kehidupan
sosial. Maka pendidikan adalah proses sosial, dan sekolah adalah instansi
sosial. Jika demikian, pendidikan merupakan alat kebudayaan yang paling baik.
Dengan pendidikan sebagai alat, manusia dapat menajadi;“the master, not the
slaves of social as well as other kinds of natural change”.[16]
Sedangkan
tujuan umum pendidikan menurut aliran ini adalah warga masyarakat yang
demokratis. Dan isi pendidikan itu sendiri lebih mengutamakan bidang-bidang
studi yang berguna dan hal-hal yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Kurikulum
Kurikulum
sebagai jantung pendidikan tidak saja dimaknai sebagai seperangkat rangkaian
mata pelajaran yang dtawarkan dalam sebuah program sekolah, melainkan kurikulum
memiliki arti yang lebih luas. Oleh sebab itu, banyak pakar memaknai kurikulum
dengan titik tekan yang berbeda. Misalnya, Hirtsdan petters menekankan pada aspek
fungsional, yakni kurikulum diposisikan sebagai rambu-rambu yang menjadi acuan
dalam proses belajar-mengajar. Sedangkan Musgave menekankan pada ruang lingkup
pengalaman belajar yang meliputi pengalaman diluar maupun di dalam sekolah.
Dimana aktifitas dan pengalaman anak didik berada dalam kontrol lembaga
pendidikan.
Progresivisme
memandang kurikulum sebagai pengalaman mendidik, bersifat eksperimental, dan
adanya rencana serta susunan yang teratur. Pengalaman belajar adalah pengalaman
apa saja yang serasi dengan tujuan menurut prinsip-prinsip yang telah
digariskan dalam pendidikan, dimana setiap proses belajar yang ada membantu
pertumbuhan dan perkembangan anak didik.[17]
Kurikulum
pendidikan progresivisme ini lebih menekankan pada How to Thinkdan How to Do, bukan What to Think dan What to Do. Artinya, aliran
ini lebih menekankan metode dari pada materi. Dengan menekankan pada aspek
metodologi kurikulum yang disusun berlandaskan filosofis progresivisme, akan
mampu menyesuaikan situasi dan kondisi, fleksibel dalam menghadapi perubahan,
dan familiar di masa kini.
Progresivisme
merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar
pada kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistik”, hasil belajar “dunia
nyata”, dan juga pengalaman teman sebaya. Teori Dewey tentang sekolah adalah
“Progresivisme” yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya dari pada
mata pelajaran itu sendiri. Maka munculah “child centered curriculum” dan
“child centered school”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding
masa depan yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya “my
pedagogical creed”, bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan
persiapan masa yang akan datang. Jadi aplikasi ide Dewey adalah anak-anak
banyak berpartisipasi dalam kegiatan fisik dulu, baru peminatan.[18]
Pendidikan dalam islam memperoleh
tempat dan posisi yang sangat tinggi, karena melalui pendidikan orang dapat
memperoleh ilmu, dan dengan ilmu orang menggenal Tuhannya, mencapai ma’rifatullah. Pribadatan seseorang juga
akan hampa jika tidak di barengi dengan ilmu. Demikian juga tinggi rendahnya
derajat seseorang, di sampaing iman, juga di tentukan oleh kualitas keilmuan
(kearifan) seseorang. Karena ilmu sangat menentukan, maka pendidikan, sebagai sebuah
proses perolehan ilmu, menjadi sangat penting. Karena itu, proses pencarian
ilmu harus terus menerus dilakukan, dimanapun kapanpun juga.[19]
` Pendidikan dalam Islam dipahami
sebagai sebuah proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai ajaran Islam terhadap
peserta didik, melalui pengembangan fitrah, agar memperoleh keseimbangan hidup
dalam semua aspeknya. Dengan demikian fungsi pendidikan Islam pada hakikatnya
adalah proses pewarisan nilai-nilai budaya islam untuk menggembangkan potensi
manusia, dan sekaligus proses produksi nilai-nilai budaya Islam baru sebagai
hasil interaksi potensi dengan lingkungan dan konteks zamannya.
Kunci
keberhasilan umat Islam agar mampu menangkap ruh ajaran Islam yang sesungguhnya
dan selalu konteks dengan kehidupan tiada lain melalui proses pendidikan.
Fazlur Rohman mengatakan bahwa setiap reformasi dan pembaharuan dalam Islam
harus dimulai dengan pendidikan demikian juga Mastuhu, berpendapat bahwa
manusia adalah makhluk yang memiliki daya akal dan kehidupan, maka ia harus
membentuk peradapan dan memajukan kehidupan melalui proses pendidikan[20]
[1] Imam, Barnabid, Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, Yogyakarta,
Andi Offset, 1988.
[2] Ali, Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat, Yogyakarta, Liberty, 1990.
[3] http://www.anneahira.com/aliran-aliran-filsafat-pendidikan.htm,
diaskes 20:31/17/10/2012.
[4] Opcit. hal 160.
[5] Hasan Basri, Kapita Selekta
Pendidikan, Bandung: Personal Press, 2009, hal. 456.
[8] http://en.wikipedia.org/wiki/Progressive_education,
diaskes , 16:43, 20/10/12.
[9] QS. al-Mujadalah:11
[10] QS. al-Taubah:122.
[11]Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1996, 296.
[12]Andi Hakim Nasoetion, Pengantar
ke Filsafat Sains, Bogor, P.T.
Pustaka Lintera AntarNusa, 1992, 37
[13] Ibid, Andi Hakim Nasoetion, Pengantar
ke Filsafat Sains, 88.
[16] Imam, Muis. Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah
dan Progresivisme John Dewey, Yogyakarta: Safira Insani Press,
2004, hlm, 43
[19] Tim Pakar fakultas tarbiyah”Pendidikan
Islam dari paradigma klasik hingga kontemporer”(UIN-Malang Press, Malang,
2009). 58.
[20] Ibid. 58.
Tag :
Pendidikan