1. Sejarah
Singkat Tentang Dinasti Bani Umayyah
Memasuki
masa kekuasaan Mu’awiyah yang menjadi awal pemerintahan Bani Umayyah,
pemerintahan yang awalnya bersifat Demokrasi menjadi Monarci heridetis(kerajaan
turun menurun). Namun, sesungguhnya Sejarah pembentukan dinasti Umayyah bermula
pada era dualisme kepemimpinan di dunia Islam pasca wafatnya Khalifah ‘Alî ra.
tanggal 17 Ramadlan tahun 40 H / 660 M. Dinamakan dualisme, karena pada satu
pihak Mu’âwiyah ra. dibai’at sebagai khalifah oleh penduduk Syâm, sementara
al-Hasan ibn ‘Alî ra. juga dinobatkan sebagai khalifah oleh sebagian sahabat
dan penduduk Kufah pada tanggal 25 Ramadlan 40 H.
Melihat
gelagat yang tidak baik, al-Hasan, segera berdamai dengan Mu’âwiyah, Karakter
al-Hasan memang sangat benci pertumpahan darah sesama muslim, sehingga secara
prinsipil ia memandang bahwa kemaslahatan itu terletak pada kesatuan dan
meninggalkan pertempuran. Menurut Ahmad Syalabi, mundurnya al-Hasan disertai
syarat agar jabatan khalifah sepeninggalnya nanti diputuskan berdasarkan musyawarah
di antara sesama kaum Muslimin. Akan tetapi, tampaknya Mu’awiyah ra. menganggap
batal syarat itu dengan meninggalnya al-Hasan ra. terlebih dahulu di sekitar
tahun 47-51 H. Bahkan, secara sepihak ia menobatkan anaknya sendiri sebagai
calon pengganti khalifah sepeninggal dirinya nanti.
Peradaban semakin berkembang saat
ini namun Kemudian, sepeninggal ‘Umar bin ‘Abd al-’Aziz sebagai Khalifah
terakhir, Dinasti Umayah kembali mengalami degradasi moral dan politik,
sehingga berakhir dengan penggulingan kekuasaan oleh Dinasti Abbasiyyah yang
didukung oleh militer Khurasan dan propaganda Syi’ah.[1]
2. System Pendidikan Umayyah
Pada periode Daulah Bani Umayyah
terdapat dua jenis pendidikan yang berbeda sistem dan kurikulumnya, yaitu
pendidikan khusus dan pendidikan umum. Pendidikan khusus adalah pendidikan yang
diselenggarakan dan diperuntukkan bagi anak – anak Khalifah dan anak – anak
para pembesarnya. Kurikulumnya diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang
kendali pemerintahan, atau hal- hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan
dan kebutuhan pemerintahan.[2]
Adapun rencana
pembelajaran bagi sekolah ini adalah menulis dan membaca Al – Quran dan Hadist,
bahasa Arab dan syair – syair yang baik, sejarah bangsa arab dan peperangannya,
adab kesopaan dalam perilaku pergaulan, pelajaran – pelajaran keterampilan
menggunakan senjata, menunggang kuda dan kepemimpinan berperang. Tempat
pendidikan berada dalam lingkungan istana. Guru – gurunya ditunjuk oleh
Khalifah dengan mendapat jaminan hidup yang lebih baik.[3]
Sedangkan
pendidikan umum adalah pendidikan yang diperuntukan bagi rakyat biasa.
Pendidikan ini merupakan lanjutan dari pendidikan yang telah dilaksanakan sejak
zaman Nabi masih hidup, beliau merupakan sarana pendidikan yang sangat penting bagi
kehidupan Islam. Pada masa Khulafaur Rasyidin dan Bani Umayyah sebenarnya telah ada tingkat
pengajaran dalam pendidikan, hampir seperti masa sekarang. Tingkat pertama
ialah Khuttab, tempat anak – anak belajar menulis dan membaca atau menghafal
Al-Quran serta belajar pokok – pokok agama Islam. Setelah tamat Al- Quran
mereka meneruskan pelajaran ke masjid. Pelajaran di masjid itu terdiri dari
tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah gurunya belumlah
ulama besar. Adapun mata pelajaran yang diberikan pada tingkat ini adalah:
1.
Al-Qur’an
dan penafsirannya
2.
Hadist
dan pengumpulannya
3.
Fiqh
Sedangkan pada tingkat tinggi gurunya sudah ulama yang mashur
ilmunya, kealimannya serta kesholehannya. Adapun materi pelajarannya adalah:
1.
Al-Qur’an
2.
Fiqh
dan Ushul Fiqh
3.
Nahwu
Sharaf
4.
Balaghah
5.
Bahasa
dan sastranya
Umumnya pelajaran
diberikan guru kepada muridnya satu – persatu, baik di khuttab atau di masjid
pada tingkat menengah. Pada tingkat tinggi pelajaran diberikan oleh guru dalam
satu Khalaqah dan dihadiri oleh seluruh pelajar. Yang bertanggung jawab
terhadap kelancaran jalannya pendidikan ini adalah para Ulama, merekalah yang
memikul tugas mengajar dan memberikan bimbingan serta pimpinan kepada rakyat.
Mereka bekerja atas dasar kesadaran dan keinsyafan moral serta tanggung jawab
agama, bukan atas dasar pengangkatan dan penunjukkan pemerintah. [4]
Tujuan dari kedua
pendidikan tersebut akan diperoleh kesimpulan bahwa, yang pertama bertujuan
untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan hakikat kebenaran yang ditunjang oleh
keyakinan agama. Adanya perbedaan tujuan pendidikan menunjukkan adanya
perbedaan pandangan hidup. Yang pertama menghasilkan pimpinan formal yang
didukung oleh jabatan kenegaraan dengan wibawa kekuasaan. Sedang yang kedua
menghasilkan pimpinan informal yang didukung oleh charisma dan ilmu
pengetahuan.
3. Pemikiran Pendidikan Islam pada Zaman Bani Umayyah.
Hal yang baru pada
zaman ini adalah kestabilan politik yang dinikmati oleh negeri – negeri Islam.
Akibatnya orang – orang Islam dapat mengarahkan perhatiannya kepada kebudayaan,
ilmu pengetahuan, dan peradaban – peradaban yang dijumpainya di negeri – negeri
yang ditaklukan. Dalam waktu yang sama mereka memberi perhatian besar pada Ilmu
bahasa, sastra, dan agama untuk memeliharanya dari fikiran – fikiran luar.
Dalam hal memilih antara fikiran – fikiran luar dari negeri yang ditaklukan dan
fikiran Islam tulen, orang islam lebih
mengutamakan fikiran dan ilmu yang asli dan budaya yang asli. Oleh sebab itu
orang – orang Umayyah terkenal fanatik kepada arab dan Islam, sekalipun mereka
orang politik dan pemerintahan, bukan ahli – ahli Ilmu dan agama. Tetapi
fanatik arab dan islam disini merupakan tingkah laku politik bukan tingkah laku
Agama.[5]
Jadi zaman
Umayyah, dari segi pemikiran pendidikan, adalah kelanjutan pemikiran pendidikan
pada zaman Rasulullah SAW dan zaman Khulafaur Rasyidin. Pemikiran pendidikan yang berasal dari luar
sangat terbatas.
Pemikiran –
pemikiran pendidikan pada zaman Umayyah ini nampak dalam bentuk nasihat para Khalifah kepada para pendidik anak –
anaknya, yang termuat dan hampir memenuhi buku – buku sastra, yang menunjukkan
bagaimana teguhnya mereka berpegang pada tradisi arab dan Islam.[6]
Pemikiran
pendidikan Islam pada zaman Umayyah ini juga tersebar pada tulisan – tulisan
para ahli nahwu, sastra, hadits dan tafsir. Pada zaman ini para ulama mulai
mencatat ilmu –ilmu bahasa, sastra dan agama untuk menjaganya supaya tidak
diselundupi fikiran – fikiran lain dan perubahan – perubahan yang merusak, yang
tanda – tandanya sudah banyak terlihat pada waktu itu.[7]
Jadi Al – Quran
dan sunnah adalah kerangka ideologi yang mengatur pemikiran pendidikan yang
tampak pada nasehat para Khalifah kepada para pendidik anak – anaknya dan pada
tulisan para penulis tanpa diselundupi oleh pemikiran asing. Walaupun ada
percobaan untuk menerjemahkan pemikiran ini, yang sebenarnya sudah mulai pada
pertengahan zaman ini.
4. Ilmu – Ilmu yang Berkembang dan Para Tokohnya.
Pemerintah dinasti Umayyah menaruh
perhatian dalam bidang pendidikan. Memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia
pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan agar para
ilmuan, para seniman, dan para ulama mau melakukan pengembangan bidang ilmu
yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi ilmu.
Di antara ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah:
Di antara ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah:
1.
Ilmu
agama, seperti: Al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh. Proses pembukuan Hadist terjadi
pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami
perkembangan pesat.
2.
Ilmu
sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup,
kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis berbagai
peristiwa sejarah.
3.
Ilmu
pengetahuan bidang bahasa, yaitu segla ilmu yang mempelajari bahasa, nahu,
saraf, dan lain-lain.
4.
Bidang
filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing,
seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan
dengan itu, serta ilmu kedokteran.[8]
Adapun tokoh yang
berkembang pada masa itu adalah:
1.
Ulama-ulama
tabi’in ahli tafsir, yaitu: Mujahid, ‘Athak bin Abu Rabah, ‘Ikrimah, Sa’id bin
Jubair, Masruq bin Al-Ajda’, Qatadah. Pada masa tabi’in tafsir Al-Qur’an
bertambah luas dengan memasukkan Israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak
orang-orang Yahudi dan Nasrani memeluk agama Islam. Di antara mereka yang
termasyhur: Ka’bul Ahbar, Wahab bin Munabbih, Abdullah bin Salam, Ibnu Juraij.
2.
Ulama-ulama
Hadist: Kitab bacaan satu-satunya ialah al-Qur’an. Sedangkan hadis-hadis
belumlah dibukukan. Hadis-hadis hanya diriwayatkan dari mulut ke mulut. Dari
mulut guru ke mulut muridnya, yaitu dari hafalan uru diberikannya kepada murid,
sehingga menjdi hafalan murid pula dan begitulah seterusnya. Setengah sahabat
dan pelajar-pelajar ada yang mencatat hadist-hadist itu dalam buku catatannya,
tetapi belumlah berupa buku menurut istillah kita sekarang. Ulama-ulama sahabat
yang banyak meriwayatkan hadis-hadis ialah: Abu Hurairah (5374 hadist), ‘Aisyah
(2210 hadist), Abdullah bin Umar (± 2210 hadist), Abdullah bin Abbas (± 1500
hadist), Jabir bin Abdullah (±1500 hadist), Anas bin Malik (±2210 hadist).
3.
Ulama-ulama
ahli Fiqh: Ulama-ulama tabi’in Fiqih pada masa bani Umayyah diantaranya
adalah:, Syuriah bin Al-Harits, ‘alqamah bin Qais, Masuruq Al-Ajda’,Al-Aswad
bin Yazid kemudian diikuti oleh murid-murid mereka, yaitu: Ibrahim An-Nakh’l
(wafat tahun 95 H) dan ‘Amir bin Syurahbil As Sya’by (wafat tahun 104 H).
sesudah itu digantikan oleh Hammad bin Abu Sulaiman (wafat tahubn 120 H), guru
dari Abu Hanafiah.
4.
Ahli
bahasa/sastra: Seorang ahli bahasa seperti Sibawaih yang karya tulisnya
Al-Kitab, menjadi pegangan dalam soal berbahasa arab. Sejalan dengan itu,
perhatian pada syair Arab jahiliahpun muncul kembali sehingga bidang sastra
arab mengalami kemajuan. Di zaman ini muncul penyair-penyair seperti Umar bin
Abu Rabiah (w.719), Jamil al-uzri (w.701), Qys bin Mulawwah (w.699) yang
dikenal dengan nama Laila Majnun, Al-Farazdaq (w.732), Jarir (w.792), dan Al
akhtal (w.710). sebegitu jauh kelihatannya kemajuan yang dicapai Bani Umayyah
terpusat pada bidang ekspansi wilayah, bahasa dan sastra arab, serta
pembangunan fisik.
Sesungguhnya
dimasa ini gerakan-gerakan ilmiah telah berkembang pula, seperti dalam bidang
keagamaan, sejarah dan filsafat. Dalam bidang yang pertama umpamanya dijumpai
ulama-ulama seperti Hasan al-Basri, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Wasil bin Ata.
Pusat kegiatan ilmiah ini adalah Kufah dan Basrah di Irak. Khalid bin Yazid bin
Mu’awiyah (w. 794/709) adalah seorang orator dan penyair yang berpikir tajam.
Ia adalah orang pertama yang menerjemahkan buku-buku tentang astronomi,
kedokteran, dan kimia.[9]
5. Metode-Metode
Pembelajaran
1.
Demonstrasi
2.
Rihlah
3.
Diskusi
4.
Halaqoh[10]
6. Lembaga Pendidikan Dinasti Umayyah
a.
Lembaga pendidikan Kuttab
Kuttab/maktab
berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis. Sedangkan
kuttab/maktab berarti tempat untuk menulis atau tempat di mana dilangsungkan
kegiatan tulis menulis. Kebanyakan para
ahli sejarah pendidikan Islam sepakat bahwa bahwa keduanya merupakan istilah
yang sama, dalam arti lembaga pendidikan Islam tingkat dasar yang mengajarkan
membaca dan menulis kemudian meningkat menjadi pengajaran Al-Qur’an dan
pengetahuan agama tingkat dasar.[11]
Membaca
dan menulis menjadi sangat penting peranannya ketika zaman khalifah Abdul Malik
bin Marwan membentuk kantor-kantor pemerintah Umawiyah. Maka sejak itu para pengajar atau guru
pertama kali menjadikan rumah-rumahnya untuk tempat belajar menulisdan membaca,
dan kemudian setelah itu mereka secara
darurat secara individual membangun kamar atau rumah-rumah sesuai dengan
standar yabg semakin bertambah meluas dalam mengajar membaca dan menulis. Dari isinilah timbul pola dan model pertama
perkembangan kuttab. Oleh karena itu
kuttab melukiskan sebagai tempat yang khusus dan bebas bagi anak-anak belajar
di bawah pengelolaan para guru yang mengajar membaca dan menulis.[12]
Masjid merupakan
lembaga pendidikan luar sekolah yang merupakan institusi utama dan terpenting
dalam mendidik dan membina umat.[13]
Masjid disamping untuk tempat sholat, dipergunakan pula untuk mendiskusikan dan
mengkaji permasalahan dakwah Islamiyyah pada permulaan perkembangan Islam, yang
terdiri dari kegiatan bimbingan dan penyuluhan serta pemikiran secara mendalam
suatu permasalahan dan hal-hal yang lain yang menyangkut siasat perang dalam
menghadapi musuh-musuh Islam serta cara-cara menghancurkan kubu pertahanan
mereka.[14]
Pendidikan Masjid,
yaitu tempat pengembangan ilmu pengetahuan terutama yang bersifat keagamaan.[15]
Pada pendidikan masjid ini terdapat dua tingkatan yaitu menegah dan tinggi.
Materi pelajaran yang ada seperti al-Qur’an dan tafsirnya, hadis dan fiqh serta
syariat Islam
b. Halaqoh Pada Masa Bani Umayyah
Halaqoh artinya
lingkaran. Artinya proses belajar
mengajar di sini dilaksanakan di mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang guru biasanya duduk di lantai,
menerangkan, membacakan, karangannya, atau memberikan komentar atas pemikiran
orang lain. Kegiatan halaqoh ini bisa
terjadi di masjid-masjid atau di rumah-rumah.
Kegiatan halaqoh ini tidak khusus
untuk mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu
pengetahuan umum, termasuk filsafat.
Oleh karena itu, halaqoh ini dikelompokkan ke dalam lembaga pendidikan
yyang terbuka terhadap ilmu pengetahuan umum.
Di lihat dari segi ini, halaqoh di kategorikan ke dalam lembaga
pendidikan tingkat lanjutan yang setingkat dengan college.[16]
c.
Madrasah Pada Masa Bani Umayyah
Madrasah
adalah salah satu bentuk institusi (lembaga) pendidikan formal dalam
Islam. Model madrasah tidak sama dengan
masjid atau lembaga Islam lainnya.
Madrasah merupakan perkembangan dari masjid. Akibat antusias dan besarnya semangat belajar
(menuntut ilmu) umat Islam, membuat masjid-masjid penuh dengan
halaqoh-halaqoh. Dari tiap-tiap halaqoh
terdengar suara guru-guru yang menjelaskan pelajaran atau suara perdebatan (muhadharah/anya jawab) dalam proses belajar
mengajar, sehingga menimbulkan kebisingan yang mengganggu orang ibadah.[17]
Perluasan negara Islam
bukanlah perluasan dengan merobohkan dan menghancurkan, bahkan perluasan dengan
teratur diikuti oleh ulama-ulama dan guru-guruagama yang turut bersama-sama
tentara Islam. Pusat pendidikan telah tersebar di kota-kota besar sebagai
berikut: Di kota Mekkah dan Madinah (HIjaz). Di kota Basrah dan Kufah (Irak).
Di kota Damsyik dan Palestina (Syam). Di
kota Fistat (Mesir). [18]
d. Badiah
Dengan
adannya Arabisasi oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan, maka muncullah istilah
badiah. Akibat dari Arabisasi ini muncullah ilmu Qawa’id dan cabang ilmu
lainnya untuk mempelajari bahasa Arab. Bahasa Arab ini sudah sampai
ke Irak, Syiria, Mesir, dll. Sehingga banyak Khalifah mengirim anaknya ke
Badiah untuk belajar bahasa arab di antaranya: Al-Khalil ibn Ahmad.
7. Tujuan Pendidikan Bani Umayyah
Dari
segi tujuan, pendidikan Islam di masa Bani Umayah dapat dikatakan masih
merupakan kelanjutan dari masa khulafa al-Rasyidin, yang sebagaimana dikatakan oleh
Samsul Nizar, secara ideal dan global tujuan pendidikan Islam yang berkembang
kala itu masih relatif seragam, yaitu bertujuan sebagai wujud pengabdian baik
secara vertikal kepada Allah swt maupun secara horisontal kepada manusia dan
alam. Adapun secara khusus (praktis-pragmatis), tujuan pendidikan di masa itu
tergantung jenjang pendidikan yang ditempuh, yaitu:
- Pada jenjang kuttab, tujuan pendidikan adalah untuk memenuhi kebutuhan keilmuan dasar agama dan keilmuan serta kecakapan hidup sehari-hari seperti membaca, menulis, dan berhitung.
- Pendidikan privat istana juga memiliki tujuan seperti kuttab, hanya saja pendidikan istana juga menekankan pada penguasaan bahasa Arab yang fasih.
- Pada jenjang halaqah (Masjid), karena kebanyakan yang diajarkan adalah ilmu-ilmu syar’i, maka pendidikan bertujuan untuk mendalami masalah-masalah agama yang bersifat praktis bagi kehidupan sehari-hari.
- Pada bentuk majelis sastra, pendidikan secara umum bertujuan untuk mendalami masalah-masalah di bidang sastra dan sejarah, di samping untuk mengevaluasi wacana-wacana keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.[19]
[3] Ibid,.
[4] Ali
Al-jumbulati, Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Yogjakarta
: Rineka Cipta , 2004), 29
[5] Dudung
Abdurrahman, Sejarah Pendidikan Islam, (Jogjakarta : LESFI , 2004), 81
[6] Ibid, 83
[8] Suwedi, Sejarah
Pemikiran Pendidikan Islam, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004), 16
[9] Ibid,
[10] http://16huzna.blogspot.com/2012/12/bani-umayyah.html diakses pada 15 Maret 2013 Pukul 10.30 WIB
[11] Abudin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam Pada Periode klasik dan Pertengahan. (PT Raja Grafndo
Persada: Jakarta, 2004), 33
[12] Ali
Al-jumbulati, Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Yogjakarta
: Rineka Cipta , 2004), 29
[13] Moh. Roqib, IlmuPendidikan
Islam, (LkiS: Jogjakarta, 2009), 141
[14] Ali Al-jumbulati, Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Op.Cit, 23
[15] Suwito dan Fauzan,
Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Kencana: Jakarta, 2005), 104
[16] Abudin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam Pada Periode klasik dan Pertengahan, ( PT Raja Grafndo
Persada: Jakarta , 2004), 34-35
[17] Ibid, 75
[18]
http://id.scribd.com/doc/83149468/6-IV-Pendis-Pada-Masa-Bani-Umayyah,
tanggal 15 Maret 2013
[19] Samsyul Nizar, Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia(Kencana: Jakarta, 2008),60
Tag :
Sejarah