BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang
Ketika Islam masuk ke beberapa wilayah
Nusantara, telah terdapat berbagai budaya yang telah mapan. Di jawa misalnya,
proses pembentukan budaya telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat
panjang. Kemampuan budaya tersebut mengakibatkan Islam sebagai pendatang baru
haruslah bersentuhan dengan budaya yang telah mapan. Akibatnya di sana-sini
terjadilah proses saling menerima dan mengambil, sehingga terbentuklah Islam
tradisional, yaitu Islam yang sudah bersentuhan dengan budaya local, dari
tradisional itu pula kemudian berkembang menjadi post tradisional
Pada tanggal 7-8 April 1994, Wheaton Theology Conference digelar
dengan tema yang segera menarik perhatian –“Christian Apologetics
in the Postmodern World: Strategies for the Local Church”. Sesuai dengan temanya, konferensi ini berusaha memberikan
jawaban atas pertanyaan bagaimana gereja menghadapi sebuah ‘budaya baru’ yang
dikenal dengan sebutan postmodern.[1] Beragam strategi dirasakan perlu dikembangkan
oleh gereja untuk menghadapi ‘gerakan’ baru yang mulai mempengaruhi jaman ini.
Namun demikian, pembicaraan mengenai postmodern ini sesungguhnya belumlah
merupakan sesuatu yang dianggap penting –sedikitnya bagi masyarakat Indonesia.
Dengan perkembangan teknologi yang sedemikian canggih, masyarakat
saat ini masih merasa berada di era modern. Bahkan, mungkin sebagian besar
orang berpikir bahwa era modern adalah era terakhir sampai nanti kehidupan di
bumi berakhir. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Hidup bergulir, dunia
berputar; dan perkembangan teruslah menjadi proses yang tidak berujung. Saat
ini, disadari atau tidak, masa modern telah bergerak lebih jauh memasuki era
baru yang ditandai dengan perubahan paradigma di berbagai bidang kehidupan.
Berbicara mengenai pergeseran
masa dari modern ke postmodern sesungguhnya memang lebih tepat merupakan
pembicaraan mengenai pergeseran filsafat hidup modernisme ke postmodernisme.
Modernisme dianggap dalam keadaan sekarat –meskipun belum sepenuhnya kehilangan
kekuatan— dan sedang dalam proses digantikan oleh postmodernisme.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tradisionalisme dan Posttradisionalisme
1.
Tinjauan Tradisionalisme dan Posttradisionalisme
Di bidang pemikiran, Islam tradisional
sebenarnya adalah suatu ajaran yang berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, yang
diikuti oleh para Sahabat dan secara keyakinan telah dipraktekkan oleh
komunitas Muslim (Ahlu al Sunnah wa al Jama’ah), memegang dan mengembangkan
ajaran fiqh scholastic madzhab empat. Sayyed Hossein Nasr mencatat salah satu
kriteria pola keagamaan tradisional adalah digunakannya konsep silsilah; mata
rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada
sumber ajaran. Dalam bahasa Fazlur Rahman, kelompok tradisional adalah mereka
yang cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh
ulama’ terdahulu.
Ketika istilah
tradisional ini bersentuhan dengan tradisi Lokal Indonesia maka Dalam konteks
diskursus Islam Indonesia, tradisionalisme Islam diidentifikasi sebagai
paham yang, pertama, sangat
terikat dengan pemikiran
Islam tradisional, yaitu
pemikiran Islam yang masih terikat kuat dengan pikiran ulama fiqih,
hadith, tasawuf, tafsir dan tauhid yang
hidup antara abad
ke tujuh hingga
abad ke tiga
belas[3]
. Kedua, sebagian besar merekatinggal
di pedesaan dengan
pesantren sebagai basis
pendidikannya. Pada mulanya
mereka menjadi kelompok eksklusif, cenderung mengabaikan masalah dunia
karena keterlibatannya dalam dunia sufisme
dan tarekat bertahan
terhadap arus modernisasi
dan arus pemikiran santri kota,
cenderung mempertahankan apa
yang mereka miliki
dan ketundukan kepada kyai
yang hampir-hampir tanpa batas. Ketiga,
keterikatan terhadap paham Ahlu al-Sunnah
wa al-Jama‘ah yang dipahami secara
khusus.
Dengan karakter
demikian, tradisionalisme Islam
menjadi sasaran kritik
gerakan modernisme Islam[4] yang
menolak sama sekali
produk-produk intelektual yang
menjadi landasan konstruksi tradisionalisme, sehingga–sampai tahapan
tertentu–tradisi pemikiran klasik ditinggalkan,
dan yang dominan
adalah keterpesonaan terhadap
berbagai aliran pemikiran Barat.
Tendensi kaum modernis
yang menolak produk
dialektika Islam dengan tradisi lokal belakangan ini mengalami
titik jenuh yang sebabnya antara lain karena sempitnya wahana intelektual
yang hanya berorientasi
pada al-Qur’an dan
Sunnah[5]
serta irrelevansi yang semakin
nyata-kentara dengan kultur keislaman
di Indonesia.
Dalam konteks
demikian, pada pertengahan
tahun 1990-an berkembang
wacana pemikiran keislaman yang kembali menghargai khazanah pemikiran
Islam klasik. Mula-mula yang menjadi rujukan arus baru dinamika pemikiran
keislaman ini adalah pemikiran FazlurRahman[6]
yang diidentifikasi sebagai neo-modernisme Islam[7],
yang berusaha mencari
sintesis progresif dari rasionalitas
modernis dengan tradisi Islam
klasik.
Meskipun neo-modernisme ber usaha
untuk memadukan modernisme
dengan tradisionalisme,
namun–oleh kalangan tertentu–dinilai gagal
keluar dari hegemoni modernisme dan
menjadikan tradisionalisme sekadar
ornamen sejarah dan
bukan spirit transformasi sosial.[8]
Dalam konteks demikian,
lahir genre baru pemikiran Islam
yakni post tradisionalisme Islam[9]yang secara
teoretik berusaha menjadikan
unsur tradisional tidak sekadar
sebagai ornamen sejarah
dan menjadikan tradisionalisme sebagai
basis untuk melakukan transformasi
sosial.[10]
2.
Karakter Dasar Post
Tradisionalisme Islam
Post-tradisionalisme
Islam diakui sebagai tradisi pemikiran Islam yang khas Indonesia,
khususnya dalam komunitas
Nahdlatul Ulama (NU).
Dalam konteks ini
dapat dinyatakan bahwa post-tradisionalisme merupakan
konstruk intelektualisme yang
berpijak pada (dan dari) kebudayaan lokal Indonesia, bukan
tekanan dari luar (proyek “asing”) yang berinterakasi secara terbuka
dengan berbagai jenis
elemen masyarakat. Post-tradisionalisme Islam
tidak hanya mengakomodasi pemikiran
liberal dan radikal.[11]
tetapi juga tradisi
pemikiran sosialis-Marxis, post-strukturalis, postmodernis,
gerakan feminisme, dan civil
society. Secara khusus disebutkan bahwa metodologi pemikiran
dan politik post-tradisionalisme Islam dikonstruksi melalui pemikiran
Muhammad Abed al-Jabiri.
Hal ini menunjukkan
bahwa pemikiran al-Jabiri melalui proyek Naqd al-‘Aql
al-‘Arabi mempunyai posisi yang sangat penting, di samping tokoh-tokoh yang
telah disebutkan.[12]
Satu hal
yang perlu dicatat
bahwa gerakan intelektual
post tradisionalisme Islamberangkat dari
kesadaran untuk melakukan
revitalisasi tradisi, yaitu
sebuah upaya untukmenjadikan tradisi (turath) sebagai
basis untuk melakukan transformasi. Dari sinilah komunitaspost-tradisionalisme
Islam bertemu dengan pemikir Arab modern seperti Muhammad Abed al-Jabiri dan
Hassan Hanafi yang
mempunyai apresiasi tinggi
atas tradisi sebagai
basistransformasi.[13]
Komunitas post-tradisionalisme Islam
mencoba untuk melihat
tradisi secara kritis,historis,
dan objektif. [14]
Dalam konteks demikian, wacana post-tradisionalisme Islam
sangatdipengaruhi oleh semangat perkembangan pemikiran
Arab modern yang diadopsi
sebagaioptik untuk membaca tradisi NU dan pemikiran Islam.[15]Dengan
menggunakan optik tradisi sebagaimana telah diuraikan, maka problem
post-tradisionalisme Islam sebenarnya
adalah bagaimana melakukan
pembaharuan
pemikirankeagamaan yang harus
mengkritisi tradisi di
satu pihak, namun
pada pihak lain
memilikikebutuhan untuk “tergantung” pada tradisi sebagai basis transformasi.
3.
Model Pendidikan Agama Islam
dalam Perspektif Post-Tradisionalisme
Islam, bagi
post-tradisionalisme diposisikan sebagai nilai yang bersifat sakral-universal.
Namun ketika nilai-nilai
Islam itu bersentuhan
dengan realitas sosial
budaya, makaperwujudan nilai-nilai
yang kemudian menjadi
institusi–suatu nilai yang
telah melembaga–tersebut menjadi
bersifat partikular-lokal-profan. Dengan
pemahaman demikian, post-tradisionalisme sesungguhnya telah
melakukan “kritik nalar” terhadap konstruksi pemahamankeislaman yang selama ini
ada dan berkembang dominan dalam kehidupan umat Islam.
Kesadaran
demikian, oleh kalangan post-tradisionalisme, berusaha untuk
ditubuhkan(dikonkretisasi) melalui basis kurikulum pendidikan agama Islam dalam
konstruksi kurikulumyang sama sekali
lain (beda) dengan
konstruksi pendidikan agama
Islam yang selama
ini dikembangkan di lembaga-lembaga pendidikan formal resmi selama ini.
Perbedaan tersebut dapat disimak pada
konstruksi kurikulum yang
digagas oleh LKiS,
P3M dan Desantara sebagai eksponen
utama post-tradisionalisme Islam.
Kritisisme mengandaikan
dua hal sekaligus, pertama, dekonstruksi, yaitu
melakukan pemutusan hubungan epistemologis
terhadap segala otoritas
yang membentuk tradisi pengetahuan, dalam mana hal ini
dilakukan dengan merombak sistem relasi yang baku dan beku, menjadi
sistem relasi yang
cair dan berubah-ubah,
dari yang mutlak
menjadi relatif, dari ahistoris
menjadi historis, kedua, rekonstruksi yaitu sebuah pertanggungjawaban untuk memberi sisi-sisi
masuk akal (reasonable)
dalam segenap persoalan.18
Dalam konteksdekonstruksi dan rekonstruksi inilah,
kesadaran bahwa setiap tradisi adalah dibentuk (invented)dan distrukturkan
(constructed) menjadi relevan dan penting.
LKiS sejak
tahun 1997 sampai
sekarang menyelenggarakan suatu
program yang diidentifikasi dengan “Belajar Bersama
Islam Transformatif dan
Toleran.” Program ini
merupakan program pendidikan
alternatif bagi kalangan
anak muda kritis
sebagai salah upaya penguatan civil society dengan mengembangkan
wacana kritisisme baik
kepada teks keagamaan, tradisi dan sebagainya. Dengan model belajar
bersama ini, terbentuk suatu jaringan
kaum intelektual muda
progresif yang menjadikan
gagasan dan wawasan
Islam transformatif dan toleran
menjadi tersebar luas
ke berbagai daerah
dan kampus-kampus.
Sedangkan P3M
mengembangkan wacana kerakyatan
dengan menggunakan tradisi keagamaan sebagai
basis transformasinya. Tema-tema
yang diangkat misalnya fiqh
al-nisa’,fiqh al-siyasah, Islam dan
demokrasi, h} alaqah
ideologi-ideologi besar dunia,
demokrasi pesantren dan yang paling populer kini adalah program Islam
emansipatoris.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa
agenda-agenda intelektual yangdirumuskan dalam silabus pendidikan
komunitas post-tradisionalisme Islam adalah “wacanasubversif ”, yang
sangat diilhami oleh
denyut post-modernisme yang
menolak adanya sentralisme
(decentering) dan segala bentuk hegemoni.22Dengan semangat “subversi
akademik”dan kritik nalar inilah, kalangan post-tradisionalisme melancarkan pembaruan
pemikirannyayang sangat menentukan
terhadap konstruksi dan muatan
materi pendidikan agama
Islam yang meliputi pemaknaan
baru Aswaja, Islam
dan politik kewarganegaraan, Islam
dan feminisme, dialog agama untuk keadilan, Islam dan budaya lokal serta
pembaruan fikih dan qawa‘id al-usul. 23
Pemaknaan baru
Aswaja (Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah) dilakukan melalui pembongkaran sisi metodologi
berpikirnya (manhaj al-fikr)
setelah melalui penelusuran
sejarah sehingga ditemukan bahwa
Aswaja merupakan manhaj al-fikr yang memegang prinsip moderat (tawassut}),seimbang
(tawa zun), dan berkeadilan (i‘tida l),
sehingga dapat mengantarkan
pada sikapkeberagamaan non
ekstrem (ghayr al-tat}
arruf).24Tentang problem Islam
dan politik kewarganegaraan, post-tradisionalisme Islam
ber usaha melalukan penguatan
danpemberdayaan civil society melalui penegasan bahwa persoalan politik
dipandang bukan sebagai masalah
sekuler melainkan merupakan
salah satu persoalan
pokok agama (as}l min
usul al-din), dan bukan
sebagai salah satu
cabang fikih (far‘ min
furu‘ al-fiqh).
Adapun tentang
Islam dan feminisme,
post-tradisionalisme
mengkritisi ajaran yangdipahami selama ini. Dalam perspektifnya,
agama sering kali dijadikan sebagai alasan dalam proses subordinasi kaum
perempuan dalam pelbagai segi kehidupan. Penyifatan-penyifatan peyoratif terkadang dirujukkan kepada perempuan oleh
tafsir agama yang membentang dari persoalan
seksualitas sampai peran
politik perempuan.
25Post-tradisionalisme Islam menganggap
doktrin dan tafsir agama semacam itu sangat merugikan dan
mendiskreditkanperempuan, dan karenanya, sangat bertentangan dengan semangat
dasar Islam yang mengakuikesetaraan dan persamaan antara laki-laki dan
perempuan. Karena itu, post-tradisionalismeIslam mengintrodusir pentingnya dilakukan pembacaan ulang terhadap doktrin, pemikirandan teks-teks
keagamaan secara kritis.[16]
B.
Modernisme dan Post Modernisme
1.
Modernisme
Secara etimologis modernTom Jacob mengartikan
‘modern’ sebagai: (1) terbaru, mutakhir; (2) sikap dan cara berpikir serta
bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan menurut Kant menyebutnya
sebagai, ’pencapaian transendentalisasi jauh dari imanensi manusia. Sehingga
manusia bisa mencapai tingkat yang paling tinggi. Kemampuan rasio inilah yang
menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern.[17]
Di era ini rasio dipandang sebagai kekuatan
yang dimiliki oleh manusia untuk memahami realitas, untuk membangun ilmu
pengetahuan dan teknologi, moralitas, dan estetika. Pendek kata, rasio
dipandang sebagai kekuatan tunggal yang menentukan segala-galanya.
Pengakuan atas kekuatan rasio dalam segenap aktivitas manusia, berarti pengakuan atas harkat dan martabat manusia. Manusia dengan rasionya, --tentu saja sebagai subjek; pemberi bentuk dan warna pada realitas-- adalah penentu arah perkembangan sejarah. Kenyataannya, modernisme adalah salah satu bentuk dari humanisme. Narasi-narasi besar modernisme yang berasal dari kapitalisme, eksistensialisme, liberalisme, idealisme, tidak bisa lain membuktikan hal itu.[18]
Pengakuan atas kekuatan rasio dalam segenap aktivitas manusia, berarti pengakuan atas harkat dan martabat manusia. Manusia dengan rasionya, --tentu saja sebagai subjek; pemberi bentuk dan warna pada realitas-- adalah penentu arah perkembangan sejarah. Kenyataannya, modernisme adalah salah satu bentuk dari humanisme. Narasi-narasi besar modernisme yang berasal dari kapitalisme, eksistensialisme, liberalisme, idealisme, tidak bisa lain membuktikan hal itu.[18]
Modernisme juga bisa diartikan sebagai semangat
untuk mencari dan menemukan kebenaran asasi, kebenaran esensial, dan kebenaran
universial. Rasio manusia dianggapa mampu menyelami kenyataan faktual untuk
menemukan hukum-hukum atau dasar-dasar yang esensial dan universal dari
kenyataan.
2.
Modernisme
Dalam Islam
Islam modernis
timbul diperiode sejarah Islam yang disebut modern dan mempunyai tujuan untuk
membawa umat Islam kepada kemajuan. Sebagai halnya di Barat, di dunia Islam
gerakan Islam modernis timbul dalam rangka menyesuaikan paham-paham keagamaan
Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Dengan jalan demikian pemimpin-pemimpin Islam modern
mengharapkan akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran, untuk
selanjutnya dibawa kepada kemajuan.[19]
Islam modernis
juga timbul sebagai respon tehadap berbagai keterbelakangan yang dialami oleh
umat Islam, seperti keterbelakangan dalam bidang ekonomi, pendidikan, ilmu
pengetahuan, kebudayaan, politik dan lain sebagainya. Keadaan seperti ini
dinilai tidak sejalan dengan Islam sebagaimana terdapat dalam al-Quran dan
al-Sunnah. Dalam kedua sumber ajaran tersebut, Islam digambarkan sebagai agama
yang membawa kepada kemajuan dalam segala bidang, untuk tercipta kemaslahatan
umat. Namun dalam kenyataannya umat Islam tidak memperlihatkan sikapnya yang
sejalan dengan al-Quran dan al-Sunnah itu. Jika demikian adanya, maka diduga
terdapat kekeliruan dan kesalahan dalam memahami al-Quran dan al-Sunnah
tersebut, serta adanya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekeliruan
tersebut.[20]
Berdasarkan
uraian tersebut, terlihat bahwa latar belakang timbulnya Islam modernis adalah
sebagai respon kepedulian terhadap upaya mengatasi berbagai keterbelakangan
umat Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu mencari sebab-sebab
kemunduran dan keterbelakangan tersebut, seperti karena meninggalkan al-Quran
dan al-Sunnah, lemahnya persaudaraan, pertikaian politik, sikap pasrah atau
jumud serta karena mengikuti bidah, khurafat dan takhayyul. Dengan demikian
inti dari munculnya Islam modernis adalah perlunya dibuka kembali pintu
ijtihad. Dengan cara demikian, ajaran Islam tidak hanya responsip terhadap
berbagai masalah aktual yang muncul ditengah-tengah masyarakat, juga akan
terjadi reinterpretasi terhadap al-Quran dan al-Sunnah, revitalisasi terhadap
posisi umat Islam, dan reformulasi terhadap berbagai produk pemikiran ulama
masa lalu.[21]
3.
Islam modernis
di Indonesia
Islam modernis
di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak awal abad kedua puluh. Pada tahun
1906 misalnya muncul apa yang disebut kelompok muda di Sumatera Barat, tepatnya
di Minangkabau. Mereka itu adalah Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Haji
Abdullah Ahmad, dan Syaikh Daud Rasyidi. Kelompok ini mendapat tantangan keras
dari kelompok tua yang terdiri dari Syaikh Khatib Ali, Khatib Sayyidina, Syaikh
Bayang, Syaikh Seberang, Imam Masjid Ganting, dan Syaikh Abbas. Kelompok Islam
modernis yang terdiri dari kaum ulama dan cendikiawan tersebut sering melakukan
protes terhadap struktur kekuasaan adat yang tidak memberikan tempat kepada
mereka.
Selanjutnya
paham Islam modernis dikembangkan dan dimasyarakatkan lebih sungguh-sungguh
oleh Harun Nasution melalui Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, lembaga di mana yang bersangkutan sebagai dosen dan orang
nomor satu, yakni sebagai Rektor dari sejak tahun 1971 sampai dengan tahun
1985. Melalui karya-karyanya beliau berusaha menjelaskan apa yang dimaksud
dengan Islam modernis, apa tujuan serta programnya dan sebagainya. Pemikiran
Harun Nasution ini banyak diikuti oleh para mahasiswa di IAIN Jakarta dan
perguruan tinggi lainnya, tempat di mana ia mengabdikan ilmunya. Alumni IAIN
Jakarta seperti Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Atho Mudzhar, Hadi Mulyo, Mansur
Faqih, Azyumardi Azra, Saeful Muzani, Abuddin Nata, Sudirman Teba dan lainnya
adalah murid-murid beliau yang hingga kini tetap komitmen dan mensosialisasikan
paham Islam modernis tersebut.
Pemikiran Islam
modernis lebih lanjut dikembangkan dan dimasyarakatkan dengan penuh agresivitas
oleh Nurcholish Madjid melalui berbagai karyanya. Dalam berbagai karyanya itu
Nurcholish Madjid mengatakan bahwa bagi seorang muslim modernisasi adalah suatu
keharusan-bahkan suatu kewajiban mutlak. Modernisasi adalah perintah dan ajaran
Tuhan.
Ide-ide Islam modernis selanjutnya
diperkenalkan oleh Mukti Ali, Deliar Noer dan Munawir Sjadzali. Dalam bukunya
yang berjudulIslam Dan Sekularisme Di Turki Modern, danAlam Pikiran
Islam Modern Di India Dan Pakistan, Mukti Ali dengan panjang lebar membahas
pemikiran Islam modernis dari tokoh-tokoh Turki seperti Ziya Gokalp (lahir
1875M) dan Kemal Attaturk; dan tokoh dari India dan Pakistan seperti Sayyid
Ahmad Khan, Hali, Mohsinul Mulk, Viqarul Mulk, Syibli, Sayyid Amir Ali, Abul
Kalam Azad, Maulana Muhammad Ali, Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, Liaquat Ali Khan,
dan Maulana Sayid Abul Ala al-Maududi. Menurut Ziya Gokalp, bahwa Islam sejalan
dengan peradaban modern, sekalipun banyak dari orang-orang yang sekurun zaman
dengan dia mempunyai pendapat yang berbeda
4.
Modernisasi
pendidikan Islam di Indonesia
Modernisasi yang mengandung pikiran, aliran,
gerakan, dan usaha untuk mengubah paham,adat istiadat, instituisi lama dan
sebagainya, agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan
keadaan baru yang timbul oleh tujuan ilmu pengetahuan serta teknologi
modern. Modernisasi atau pembaruan juga berarti proses pergeseran sikap dan
mentalitas mental sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan
tuntutan hidup masyarakat kini.[22]
Modernisasi merupakan proses penyesuaian pedidikan Islam dengan kemajuan zaman.
Latar belakang danPola-pola pembaharuan dalam
Islam, khususnya dalam pendidikan mengambil tempat sebagai : 1) golongan yang
berorentasi pada pola pendidikan modern barat, 2) gerakan pembaharuan
pendidikan Islam yang berorentasi pada sumber Islam yang murni dan 3)
pembaharuan pendidikan yang berorentasi pada nasionalisme.[23]
Modernisasi
pendidikan Islam Indonesia masa awalnya dikenalkan oleh bangsa kolonial Belanda
pada awal abad ke-19.[24]
Program yang dilaksanakan oleh kolonial Belanda dengan mendirikan Volkshoolen,
sekolah rakyat, atau sekolah desa ( Nagari) dengan masa belajar selama 3 tahun,
di beberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an. Pada tahun 1871
terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang; dan
menjelang 1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 murid.
Point penting
eksprimen Belanda dengan sekolah nagari terhadap system dan kelembagaan
pendidikan Islam adalah tranformasi sebagian surau di Mingkabau menjadi sekolah
nagari model Belanda. Memang berbeda dengan masyarakat muslim jawa umumnya
memberikan respon yang dingin, banyak kalangan masyrakat muslim Minangkabau
memberikan respon yang cukup baik terhadap sekolah desa. Perbedaan respon
masyarakat Muslim Minangkabau dan jawa banyak berkaitan dengan watak cultural
yang relatif berbeda, selain itu juga berkaitan dengan pengalaman histories
yang relatif berbeda baik dalam proses dan perkembangan Islamisasi maupun dalam
berhadapan dengan kekuasaan Belanda.
Selain itu
perubahan atau modernisasi pendidikan Islam datang dari kaum reformis atau
modernis Muslim. Gerakan reformis Muslim yang menemukan momentumnya sejal abad
20 berpendapat, diperlukan reformasi system pendidikan Islam untuk mempu
menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen.
Respon system
pendidikan Islam tradisional seperti suaru ( Minangkabau) dan Pesantren ( Jawa)
terhadap modernisasi pendidikan Islam menurut Karel Steenbrink dalam kontek
surau tradisional menyebutnya sebagai menolak dan mencontoh, dalam kontek
pesantren sebagai menolak sambil mengikuti. Untuk itu , tak bisa lain dalam
pandangan mereka , surau harus mengadopsi pula beberapa unsure pendidikan
modern yang telah diterapkan oleh kaum reformis, khususnya system klasikal dan
penjejangan, tanpa mengubah secara signifikan isi pendidikan surau itu
sendiri.
Selain respon
yang diberikan oleh pesantren di jawa, komunitas pesantren menolak
asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat tertentu mereka pasti
mengikuti langka kaum reformis . karena memiliki manfaat bagi para santri,
seperti system penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas dan system klasikal.
Pesantern yang mengikuti jejak kaum reformis adalah pesanteren Mambahul ‘ulum
di Surakarta, dan di ikuti oleh pesantren Modern Gontor di Ponorogo. Pondok
tersebut memasukan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga
mendorong santrinya untuk memperlajari bahasa Inggris selain bahasa Arab dan
melaksanakan sejumlahkegiatan ekstra kurikuler seperti olah raga, kesenian
dan sebagainya.
Sistem
Pendidikan Islam pada mulanya diadakan di surau-surau dengan tidak
berkelas-kelas dan tiada pula memakai bangku, meja, dan papan tulis, hanya
duduk bersela saja. Kemudian mulialah perubahan sedikit demi sedikit sampai
sekarang. Pendidikan Islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan
papan tulis, ialah Sekolah Adabiah ( Adabiah School) di Padang.[25]
Adabiah School
merupakan madrasah (sekolah agama) yang pertama di Minangkabau, bahkan diseluruh
Indonesia. Madrasah Adabiah didirikan oleh Almarhum Syekh Abdullah Ahmad pada
tahun 1909. Adabiah hidup sebagai madrasah sampai tahun 1914, kemudian diubah
menjadi H.I.S. Adabiah pada tahun 1915 di Minangkabau yang pertama memasukkan
pelajaran Agama dalam rencana pelajarannya. Sekarang Adabiah telah menjadi
sekolah Rakyat dan SMP.
Setelah
berdirinya madrasah Adabiah, maka selanjutnya diikuti madrasah lainnya seperti
madras Schol di Sungyang ( daerah Batusangkar) oleh Syekh M.Thaib tahun 1910 M,
Diniah School ( madrasah diniah) oleh Zainuddin Labai Al-Junusi di
Padangpanjang tahun 1915.[26]
Sumatra
Thawalib memberikan pengajaran baik di bidang keagamaan maupun bidang-bidang
lain yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan modern.[27]Sementara
di Jawa, Muhammadiyah adalah yang pertama mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
bergaya modern. Hingga perkembangannya pada 1925, Muhammadiyah telah memiliki
14 madrasah, 8 HIS, sebuah sekolah guru di Yogyakarta dan 32 sekolah dasar 5
tahun[28]
Di antara guru
Agama banyak juga mengarang kitab-kitab untuk madrasah ialah 1)H. Jalaluddin
Thaib, seperti kitab jenjang bahasa arab 1-2, Tingkatan bahasa arab 1-2, Tafsir
Al-Munir 1-2, ( 2) Anku Mudo Abdul hamid Hakim, seperti kitab: Al-Mu’in
Al-Mubin 1-5, As-Sullam, Al-Bayan Tahzibul akhlaq, ( 3) Abdur-Rahim Al-Manafi
seperti kitab : Mahadi ‘ilmu Nahu, Mahadi ilmu Sharaf, Al-Tashil, Lubahul
Fighi, Al-Huda, Asasul adab.[29]
Ulama-ulama
yang mengadakan perubahan dalam pendidikan Islam di Minangkabau adalah 1) syekh
Muhd. Thaib Umar Sungayang, batu sangkar tahun 1874-1920 M. 2) Syekh H.Abdullah
Ahmad, Padang tahun 1878 M-1933M, 3) Syekh H. Abdul karim Amrullah, Maninjau
1879-1945 M, 4) Syekh H.M. Jamil Jambek bukittinggi 1860-1947, 5) dan
lain-lain.[30]
Surau –surau
yang termashur di Minangkabau adalah sebagai berikut ; 1) Surau Tanjung
Sungyang didirikan oleh Syekh H.M Thaib Umar pada tahun 1897 M dan masih hidup
sampai sekarang dengan nama Al-Hidayah dan SMPI, PGA., 2) Surau Parabek,
bukittinggi didirikan oleh Syekh H. Ibrahim Musa pada tahun 1908 M. dan masih
hidup sampai sekarang dengan nama Thawalib, 3) Surau padang Japang didirikan
oleh Syekh H. Abbas Abdullah pada tahun … dan masih hidup sampai sekarang
dengan nama Darul funun Abbasiah, 4) dan lain-lain54.
Tentang keadaan
pendidikan Islam di Minangkabau pada masa beberapa tahun sebelum tahun 1900.
dilukiskan dalam skema pendidikan Islam.Dari
perkembangan di awal abad ke-20, penting ditegaskan, madrasah tampak telah
mengalami beberapa perubahan penting di banding masa sebelumnya. Di sini,
seperti terlihat dari beberapa contoh di atas, madrasah telah berkembang
menjadi satu lembaga pendidikan dengan ciri-ciri yang dikenal kini. Model
madrasah ini didirikan sebagai bagian dari upaya umat untuk mengadopsi sistem
pendidikan modern yang diperkenalkan kolonial, dan pada saat yang sama karena
ketidakpuasan terhadap lembaga pendidikan nasional yang telah berdiri
sebelumnya. Oleh karena itu, gagasan modernisasi dan kemajuan merupakan bagian
inheren dari perkembangan madrasah saat itu. Madrasah merupakan salah satu
perwujudan hasrat muslim untuk melangkah pada dunia baru yang disebut dengan
alam kemajuan. [31]
5.
POST MODERNISME
postmodernisme
disebut sebagai sebuah
gerakan pencerahan atas pencerahan, oleh karena postmodernisme
sangat gigih dalam melakukan kritikan dan gugatan terhadap
modernisme yang sangat
mendewakan rasio dalam
ilmu pengetahuan yang diyakini akan membawa dan mengarahkan manusia
memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dalam kehidupannya. Namun, yang
terjadi adalah sebaliknya, yakni manusia bukan lagi sebagai subjek dan pelaku
untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi jatuh
terperangkap ke dalam objek dan sasaran
yang dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Amat
tragis dan ironis manusia modernis, Postmodernisme selaku sebuah fase sejarah
ingin secara tuntas mengantisipasi dan
membebaskan manusia dari
segala bentuk cengkeraman zaman
yang tak menyenangkan
inklusif perbudakan terhadap rasionalitas, bendawi
dan lain-lain.[32]
Jika dalam visi modernisme, penalaran (reason)
dipercaya sebagai sumber utama ilmu pengetahuan yang menghasilkan
kebenaran-kebenaran universal, maka dalam visi postmodernisme hal itu justru
dipandang sebagai alat dominasi, sehingga postmodernisme
menyadari bahwa seluruh budaya modernisme yang bersumber pada ilmu pengetahuan
dan teknologi pada titik tertentu tidak mampu menjelaskan kriteria dan ukuran
epistemologi bahwa yang ‘benar’ itu adalah yang real, dan yang real benar itu
adalah ‘rasional’. Meskipun postmodernisme sendiri juga berusaha menggiring
manusia ke dalam sebuah paradoks, yaitu di satu pihak telah membuka cakrawala
dunia yang serba plural yang kaya warna, kaya nuansa, kaya citra, tetapi di
lain pihak, ia menjelma menjadi sebuah dunia yang seakan–akan tanpa terkendali.[33]
Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran
adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi
konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai
implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri.
Hal ini senada dengan definisi dari dikenal sebagai nabi dari postmedernisme.
Dia adalah suara pionir yang menentang rasionalitas, moralitas tradisional,
objektivitas, dan pemikiran-pemikiran Kristen pada umumnya. Nietzsche sche
berkata, “Ada banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh
sebab itu ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada
kebenaran.” [34]
Menurut Romo Tom Jacob, kata ‘postmodern’
setidaknya memiliki dua arti: (1) dapat menjadi nama untuk reaksi terhadap
modernisme, yang dipandang kurang human, dan mau kembali kepada situasi
pra-modernisme dan sering ditemukan dalam fundamentalisme; (2) suatu perlawanan
terhadap yang lampau yang harus diganti dengan sesuatu yang serba baru dan
tidak jarang menjurus ke arah sekularisme.
6.
Prinsip Postmodernisme
Prinsip postmodernisme adalah meleburnya batas
wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya rendah, antara
penampilan dan kenyataan, antara simbol dan realitas, antara universal dan
peripheral dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung tinggi
oleh teori sosial dan filsafat konvensional[35]. Jadi postmodern secara
umum adalah proses dediferensiasi dan munculnya peleburan di segala
bidang.[36] Postmodernisme merupakan intensifikasi
(perluasan konsep) yang dinamis, yang
merupakan upaya terus menerus untuk
mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan, yang menentang dan
tidak percaya pada segala bentuk narasi besar (meta naratif), dan penolakannya terhadap filsafat metafisis,
filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran totalitas, dan lain-lain.
Postmodern dalam bidang filsafat diartikan juga segala bentuk refleksi
kritis atas paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya dan berusaha
untuk menemukan bentuknya yang kontemporer.
7.
Pengaruh
Postmodernisme Dalam Pendidikan
Berdasarkan ciri
menonjol postmodernisme, maka dapat dilacak dimana letak keterpengaruhan
gerakan ini terhadap paradigma pendidikan. Pendidikan pada saat sekarang tidak
lagi dipahami sebagai peneguhan proses transformasi pengetahuan (knowledge)
yang hanya dikuasai oleh sekolah (pendidikan formal). Guru dengan demikian
tidak lagi dipandang sebagai ‘dewa’ dengan segala kemampuannya untuk melakukan
proses pencerdasan masyarakat. Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi
terpusat pada guru. Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang
sempit, yang bernama sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat,
entah itu melalui pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah.[37]
mengatakan bahwa proses pendidikan akan memperoleh keuntungan dari upaya
membebaskan masyarakat yang cendrung mendewakan sekolah, dengan demikian
kegiatan sekolah tidak lebih hanya sebagai pengkhianatan terhadap upaya
pencerahan budi.
Postmodernisme
yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta deferensiasi adalah bukti
betapa pendidikan harus disebarkan melalui kerja-kerja yang tidak harus
dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitas membuktikan betapa sekolah justru
seringkali memainkan peran dogmatis dan dominannya dalam melakukan transfer
of value (transformasi nilai) serta transfer of knowledge (transformasi
pengetahuan). Peran guru, bahkan juga institusi sekolah seringkali menampilkan
diri dalam batas-batasnya sebagai pembelenggu kreativitas anak didik, anak
didik disekolah sering diperlakukan oleh guru tak ubah sebagai bejana kosong
yang siap diisi tanpa boleh dibantah, pendidikan seperti ini yang dikritik oleh
Freire sebagai model pendidikan “gaya bank” (banking system) .[38]
Sementara pola Sistem Kredit Semester (SKS) bahkan juga ujian akhir nasional
(UAN) sebagai ukuran terakhir kemampuan anak didik adalah representasi bagi
‘penindasan’ yang dilakukan institusi-institusi tersebut terhadap pengembangan
kreativitas anak didik. Beban pelajaran yang sedemikian berat,
meminimilisasikan kemampuan anak didik untuk ‘melakukan’ eksperimentasi’
berdasarkan kemampuannya secara profesional, karena disibukkan dengan
beban-beban yang cukup membelenggu.
Selama ini,
pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali diarahkan pada
penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam perspektif
postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi,
krisis moral, krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek
dengan penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan
persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern.
Rasio
manusia an sich tidak lagi diharapkan dapat memberikan jawaban
atas berbagai problem yang muncul dalam masyarakat modern, sehingga proses
pendidikan hanya diarahkan pada kepentingan rasio atau nalar rasionalitas
justru akan mendatangkan bencana kemanusiaan. Padahal sejak awal diyakini bahwa
pendidikan diselenggarakan sebagai alat untuk memanusiakan manusia. [39]Pengangkatan
harkat dan martabat kemanusian tidak hanya dapat dimainkan oleh nalar rasio
semata, tetapi harus integratif antara nalar rasional dan nalar spiritual.
Dalam konteks
ini tidak berlebihan bila dalam konsep pendidikan nasional pengembangan
kemampuan anak didik juga diarahkan pada tiga kemampuan dasar yaitu kognitif,
afektif serta psikomotorik.[40] Ketidakmampuan
mengembangkan ketiga ranah tersebut akan melahirkan out put pendidikan
yang timpang. Itulah sebabnya, proses pendidikan harus dijalankan untuk
memainkan ketiga ranah tersebut agar tetap berjalan. Kritik postmodernisme atas
situasi masyarakat modern sebenarnya juga merupakan kritik atas proses
pendidikan yang hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang
dimiliki manusia.
Dalam kondisi
yang demikian postmodernisme tampil memberikan berbagai alternatif bagi proses
pendidikan yang harus dijalankan. Kritik mendasar postmodernisme terhadap
modernisme telah memunculkan berbagai tema-tema penting seperti paralogy atau pluralisme [41],deferensiasi atau desentralisasi,
dekontsruksi atau kritik dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan
sebagainya. Tema-tema inilah yang sesungguhnya memberikan peluang baru bagi
munculnya model (paradigma) pendidikan yang perlu diselenggarakan oleh negara
ataupun masyarakat Indonesia.
[1] Timothy R. Philips and Dennis L. Okholm, eds. Christian Apologetics in the
Postmodern World (Downers Grove: InterVarsity, 1995) h, 11.
[2] Kalvin Surya, “Mengenal Postmodernisme
dan Pengaruhnya bagi Kekristenan,” dalam
[http://www.lrii.or.id/Artikel%200christian5.html] 1998.
[3] Kaum
tradisionalis lebih senang mengikuti pendapat ulama-ulama besar di masa silam
daripada mengambil
kesimpulan sendiri
berdasar al-Qur’an dan hadith. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren:
Studi tentang
Pandangan Hidup
Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982), 1.
[4] Modernisme
dalam bahasa Arab sering diistilahkan dengan tajdid yang artinya pembaruan.
Dalam konteks gerakan,
kata pembaruan
mengacu pada gerakan pemurnian yang berlangsung sebelum abad ke-19. Sedangkan modernisme
digunakan untuk
menjelaskan gerakan pembaruan
yang muncul sejak
abad ke-19 yang
bertujuan untuk
menyesuaikan
ajaran Islam dengan pemikiran modern. Dengan demikian, gerakan modernisme Islam
dapat
dipahami
sebagai gerakan yang muncul pada periode sejarah Islam modern dengan
mengadaptasi ajaran Islam
kepada
pemikiran dan kelembagaan modern. Di Indonesia, modernisme Islam berawal dari
pembaruan pemikiran
keagamaan
(teologi), kelembagaan atau institusi, aspek sosial, pendidikan dan politik.
Lihat Nia Kurnia dan
Amelia Fauzia,
“Gerakan Modernisme,” dalam ed. Taufik Abdullah et al., Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam (Asia
Tenggara), jil.
5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), 349-350. Dalam bahasa Fazlur Rahman, gerakan pemikiran
keagamaan
modernisme ini disebut dengan istilah modernisme Islam klasik
[5] Azyumardi Azra
menyebutkan bahwa titik jenuh itu terjadi karena mengalami keterputusan
intelektual karena
membuang
khazanah intelektual yang muncul pada periode taqlid. Khazanah intelektual kaum
modernis–dalam
pandangan
Azra-terbatas pada generasi sahabat (salaf
al-salih}), melompat ke (sedikit)
Ibn Taymiyah, kemudian
mengadopsi
pemikiran pembaru mulai abad ke-17 seperti Shah Wali Allah, Muhammad bin ‘Abd
al-Wahhab,
Jamal al-Din
al-Afghani, Muh}ammad ‘Abduh
dan Rashid Rida.
Lihat Azyumardi Azra,
“Mengkaji Ulang
Modernisme
Muhammadiyah,” Kompas, 9 Nopember 1990.
[6] Dalam
perspektif Fazlur Rahman, meskipun semangat modernisme klasik telah benar,
namun mereka setidaknya
memiliki dua
kelemahan mendasar. Pertama, tidak mengurai secara tuntas metode yang secara
semi implisit
terletak dalam
menangani masalah-masalah khusus dan implikasi prinsip-prinsip dasarnya. Kedua,
tidak dapat
dihindari mereka
mengesankan sebagai agen
westernisasi. Lihat Rumadi, Post
Tradisionalisme Islam: Wacana
Intelektualisme
dalam Komunitas NU (Jakarta: Ditjen Diktis, 2007), 14.
[7] Bahasan lebih
jauh mengenai neo-modernisme Islam periksa Fazlur Rahman, Neo-Modernisme Islam:
Metode dan
Alternatif, ed.
Taufik Adnan Amal (Bandung: Mizan, 1989). Lihat juga Greg Barton, Gagasan Islam
Liberal di
Indonesia:
Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan
Abdurrahman Wahid, terj.
Nanang Tahqiq
(Jakarta: Paramadina, 1999).
[8] Rumadi, Post
Tradisionalisme, 15
[9] Dalam
diskursus akademik, istilah post tradisionalisme ini dipandang tidak lazim,
karena belum dijumpai dalam
kamus, juga
belum ada ilmuwan yang menggunakan istilah ini. Bahkan menurut Khamami Zada,
justru lahir di
Indonesia, yang
disuarakan oleh gerakan kritis generasi muda dari kalangan Islam
tradisional. Periksa Khamami
Zada, “Mencari
Wajah Post Tradisionalisme Islam”, Tashwirul Afkar, No. 9 (2000), 2-5.
[10]
ost-Tradisionalisme Islam ini,
sebagaimana diidentifikasi dalam
disertasi Rumadi, tumbuh
subur pada
pemahaman
keagamaan generasi muda kritis kalangan Nahdlatul Ulama (NU), yang pada satu
sisi berusaha agar
akses mereka
terhadap dinamika kehidupan modern terbuka lebar, namun pada sisi lain, mereka
tetap berobsesi
untuk tidak
tercerabut pada dinamika akar tradisionalitasny
[11] Seperti
pemikiran Hassan Hanafi, Mahmoud
Mohammed Thaha, Abdullahi Ahmed al-Na’im, Arkoun, Nasr
Hamid Abu Zayd,
Mohammed Syahrour dan Khalil Abd
al-Karim.
[12] Terdapat
argumentasi yang dapat digunakan untuk mempertanggungjawabkan hal ini:
Pertama-tama Muhammad
Abid al-Jabiri
dikenal dengan proyek metodologis “Kritik Nalar Arab”-nya. Ada dua hal yang ditawarkan
proyek
kritik
tersebut: kritik nalar epistemologis dan kritik nalar politik. Kritik nalar
epistemologis disebut juga “nalar
spekulatif ”,
mengambil bentuk arkeologi yang meneliti persoalan cara-cara dan mekanis
mereproduksi pengetahuan
yang berlaku di
kalangan umat Islam hingga kini. Yang ditelaah misalnya bagaimana us}u> l
al-fiqh membentuk pola
pikir umat
Islam dengan metodologi qiya>s-nya (analogi) yang cenderung mengarah pada
sakralisasi, bukan hanya
pada soal
hukum-hukum agama, tapi juga dalam segenap spektrum kebudayaan manusia, mulai
dari bahasa,
sastra,
teologi, filsafat, hingga politik (misalnya kalau berbicara tentang sosialisme
yang “Islami”). Sementara
kritik nalar
politik, yang dikenal dalam kategori “nalar praktis”, menekankan sebuah praksis,
dengan fokus kritik
kepada
cara-cara berkuasa dan menguasai. Yang dibedah misalnya adalah persoalan
keterkaitan munculnya disiplin
siyasah shar‘iyyah atau fiqh al-siyasah dengan strategi
militeristik kekuasaan khalifah
untuk menundukkan
masyarakatnya”.
Ahmad Baso, “Pengantar penerjemah: Post Tradisionalisme sebagai Kritik Islam,
Kontribusi
Metodologis
Kritik Nalar Muhammed Abed al-Jabiri,” dalam Muhammad Abed al-Jabiri, Post
Tradisionalisme
Islam
(Yogyakarta: LKiS, 2000), 33
[13] Abdurrahman, Moeslim,
Semarak Islam Semarak Demokrasi? Cet I. (Pustaka
Firdaus: Jakarta, 1996), h. 67
[14] Atas dasar itu
mereka selalu menaruh curiga atas berbagai narasi besar, baik yang diproduksi
melalui tradisi,
ideologi,
maupun teks suci. Bagi komunitas ini, narasi besar hanya ingin melakukan
monopoli atas kebenaran.
Ideologi-ideologi
besar dunia, bahkam juga tafsir
dominan atas agama sebenarnya juga ingin memonopoli
kebenaran. Atas
dasar itu, mereka menolak segala bentuk penunggalan itu, karena “penunggalan”
tidak akan
mampu
menyelesaikan persoalan. Sampai di sini, catatan Marzuki Wahid atas “Manifesto
Perang Kebudayaan”
Kaum Muda NU
2015 di Malang 2001 sangat menarik untuk disimak. Dalam dokumen tersebut,
disebutkan
target gerakan
kaum muda NU antara lain: 1) rebut kepemimpinan moral dan intelektual di segala
lini gerakan
kemasyarakatan, 2)
konsisten di jalur
politik ekstra parlementer
berbasis multikulturalisme dengan
tetap
menghormati
“orang lain” sebagai warga negara, lengkap dengan tradisi dan kebudayaannya
sendiri, dan 3)
menyiapkan
secara serius paradigma economical society dan membangun basis ekonomi mandiri
demi penciptaan
civil society.
Lihat Marzuki Wahid, “Post-Tradisionalisme Islam,” 17
[15] Mereka tidak
segan-segan mengkritik tradisinya, bahkan doktrin keagamaan yang selama ini
diterima secara taken
for granted.
Doktrin teologi Aswaja yang bertahun-tahun mulai mereka pertanyakan, baik
doktrinnya itu sendiri
maupun
kemampuan dan relevansinya dengan perkembangan zaman, sehingga digagas teologi
kemanusiaan
yang lebih
transformatif. Dalam bidang fikih mereka juga menggagas kontekstualisasi fikih
dan kitab kuning,
sehingga
melahirkan fikih rakyat, fikih perburuan, fikih ijtima yah (sosial), fikih
politik yang berorientasi rakyat, dan
sebagainya.
[16] Alisyahbana,
Iskandar (ed), Perubahan, Pembaharuan dari Kesadaran Menghadapi
Abad XXI, (Dian Rakyat
: Jakarta:, 1988), h. 76
[17] M. Amin
Abdullah, Falsafah Kalam di Era
Postmodernisme, Cet. I, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta
, 1995,) h. 89
[18] Ibid,
[19] A. Rahman Getteng, Pendidikan Islam
dalam Pembangunan, (Ujungpandang:
Yayasan al Ahkam, 1977), h. 91
[20] Ibid,
[21] Ibid
[22] Azyurmadi, Pendidikan Islam, Tradisi
dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, Jakarta : Logos 1990,h. 121
[23] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam
pada periode klasik dan Pertengahan, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2004, h.88
[24] Azyumardi,
Ibid, h. 198
[27] Deliar Noor, Gerakan…, h. 50-58. Untuk
pembahasan komprehensif tentang kasus Sumatera Thawalib, lihat Burhanuddin
Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam : Kasus Sumatra Thawalib (Yogyakarta
: Tiara Wacana, 1990).
[28] Deliar Noor, Gerakan…, h. 84-95. Lebih jelasnya
lihat Alfian, “Islamic Modernism in Indonesian Politics : The Muhammadiyah
during the Colonial Period”, Ph. D. Thesis, University of Wisconsin, Madison,
1969
[32] Norris, Christopher Membongkar teori
dekonstruksi Jaques Derrida, Terjemahan. Inyiak Ridwan Muzir.( Ar-Ruzz: Yogyakarta, 2003), h. 344
[33] Pilliang, Amir Yasraf, Posrealitas: Realitas
kebudayaan dalam era posmetafisika. Jalasutra: Yogyakarta,
2004) h. 358
[34] Pauline Marie Roesnou, Post-modernism and
the social science: Insights inroads, and intrusions. Rinceton University
Press: Priceton, 1992), h. 31
[37] Illich Ivan,. Bebaskan masyarakat dari
belenggu sekolah. Terjemahan, Sonny Keraf. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2003). H-33-34
[38] Paulo Freire, politik
pendidikan: kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan, Agung Prihantoro dan
Fuad Arif Fudiyartanto, (Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 2002), h. 28
[39] Mulyasa, E.. Kurikulum berbasis
kompetensi konsep, karakteristik, dan implementasi. Rosdakarya: Bandung
2003) h. 7
[40]
Paul Suparnol, “Relevansi
dan reorintasi pendidikan di Indonesia”, dalam, Basis, No.
01-02 Tahun ke 50, Januari-Februari, 2001, h. 43
[41] Santoso, Listiyono, “Postmodernisme: Kritik
Atas Epistemologi Modern, dalam, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2003) h. 331
Tag :
Pendidikan