Meretas Permasalahan Islam di Dunia

Tradisionalisme, Postradisionalisme, Modernisme, dan Postmodernisme dalam Pengembangan Pendidikan Islam Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang
Ketika Islam masuk ke beberapa wilayah Nusantara, telah terdapat berbagai budaya yang telah mapan. Di jawa misalnya, proses pembentukan budaya telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang. Kemampuan budaya tersebut mengakibatkan Islam sebagai pendatang baru haruslah bersentuhan dengan budaya yang telah mapan. Akibatnya di sana-sini terjadilah proses saling menerima dan mengambil, sehingga terbentuklah Islam tradisional, yaitu Islam yang sudah bersentuhan dengan budaya local, dari tradisional itu pula kemudian berkembang menjadi post tradisional
Pada tanggal 7-8 April 1994, Wheaton Theology Conference digelar dengan tema yang segera menarik perhatian –“Christian Apologetics in the Postmodern World: Strategies for the Local Church”. Sesuai dengan temanya, konferensi ini berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan bagaimana gereja menghadapi sebuah ‘budaya baru’ yang dikenal dengan sebutan postmodern.[1] Beragam strategi dirasakan perlu dikembangkan oleh gereja untuk menghadapi ‘gerakan’ baru yang mulai mempengaruhi jaman ini. Namun demikian, pembicaraan mengenai postmodern ini sesungguhnya belumlah merupakan sesuatu yang dianggap penting –sedikitnya bagi masyarakat Indonesia.
Dengan perkembangan teknologi yang sedemikian canggih, masyarakat saat ini masih merasa berada di era modern. Bahkan, mungkin sebagian besar orang berpikir bahwa era modern adalah era terakhir sampai nanti kehidupan di bumi berakhir. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Hidup bergulir, dunia berputar; dan perkembangan teruslah menjadi proses yang tidak berujung. Saat ini, disadari atau tidak, masa modern telah bergerak lebih jauh memasuki era baru yang ditandai dengan perubahan paradigma di berbagai bidang kehidupan.

Berbicara mengenai pergeseran masa dari modern ke postmodern sesungguhnya memang lebih tepat merupakan pembicaraan mengenai pergeseran filsafat hidup modernisme ke postmodernisme. Modernisme dianggap dalam keadaan sekarat –meskipun belum sepenuhnya kehilangan kekuatan— dan sedang dalam proses digantikan oleh postmodernisme.[2]


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Tradisionalisme dan Posttradisionalisme
1.      Tinjauan Tradisionalisme dan Posttradisionalisme
Di bidang pemikiran, Islam tradisional sebenarnya adalah suatu ajaran yang berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara keyakinan telah dipraktekkan oleh komunitas Muslim (Ahlu al Sunnah wa al Jama’ah), memegang dan mengembangkan ajaran fiqh scholastic madzhab empat. Sayyed Hossein Nasr mencatat salah satu kriteria pola keagamaan tradisional adalah digunakannya konsep silsilah; mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada sumber ajaran. Dalam bahasa Fazlur Rahman, kelompok tradisional adalah mereka yang cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh ulama’ terdahulu.
Ketika istilah tradisional ini bersentuhan dengan tradisi Lokal Indonesia maka Dalam konteks diskursus Islam Indonesia, tradisionalisme Islam diidentifikasi sebagai paham  yang, pertama,  sangat  terikat  dengan  pemikiran  Islam  tradisional,  yaitu  pemikiran Islam yang masih terikat kuat dengan pikiran ulama fiqih, hadith, tasawuf, tafsir dan tauhid yang  hidup  antara  abad  ke  tujuh  hingga  abad  ke  tiga  belas[3] . Kedua, sebagian  besar  merekatinggal  di  pedesaan  dengan  pesantren  sebagai  basis  pendidikannya.  Pada  mulanya  mereka menjadi kelompok eksklusif, cenderung mengabaikan masalah dunia karena keterlibatannya dalam  dunia  sufisme  dan  tarekat  bertahan  terhadap  arus  modernisasi  dan  arus  pemikiran santri  kota,  cenderung  mempertahankan  apa  yang  mereka  miliki  dan  ketundukan  kepada kyai  yang hampir-hampir  tanpa batas. Ketiga, keterikatan  terhadap paham Ahlu  al-Sunnah  wa al-Jama‘ah yang  dipahami  secara  khusus.
Dengan  karakter  demikian,  tradisionalisme  Islam  menjadi  sasaran  kritik  gerakan modernisme  Islam[4]  yang  menolak  sama  sekali  produk-produk  intelektual  yang  menjadi landasan  konstruksi tradisionalisme,  sehingga–sampai  tahapan  tertentu–tradisi  pemikiran klasik  ditinggalkan,  dan  yang  dominan  adalah  keterpesonaan  terhadap  berbagai  aliran pemikiran  Barat.  Tendensi  kaum  modernis  yang  menolak  produk  dialektika  Islam  dengan tradisi lokal belakangan ini mengalami titik jenuh yang sebabnya antara lain karena sempitnya wahana  intelektual  yang  hanya  berorientasi  pada  al-Qur’an  dan  Sunnah[5] serta  irrelevansi yang  semakin  nyata-kentara  dengan kultur  keislaman  di  Indonesia.
Dalam  konteks  demikian,  pada  pertengahan  tahun  1990-an  berkembang  wacana pemikiran keislaman yang kembali menghargai khazanah pemikiran Islam klasik. Mula-mula yang menjadi rujukan arus baru dinamika pemikiran keislaman ini adalah pemikiran FazlurRahman[6] yang  diidentifikasi  sebagai neo-modernisme  Islam[7], yang  berusaha  mencari  sintesis progresif  dari  rasionalitas  modernis dengan  tradisi  Islam  klasik.
Meskipun  neo-modernisme  ber usaha  untuk  memadukan  modernisme  dengan tradisionalisme,  namun–oleh  kalangan  tertentu–dinilai  gagal  keluar  dari  hegemoni modernisme  dan  menjadikan  tradisionalisme  sekadar  ornamen  sejarah  dan  bukan  spirit transformasi  sosial.[8] Dalam  konteks  demikian,  lahir genre baru  pemikiran  Islam  yakni  post tradisionalisme  Islam[9]yang  secara  teoretik  berusaha  menjadikan  unsur  tradisional  tidak sekadar  sebagai  ornamen  sejarah  dan  menjadikan  tradisionalisme  sebagai  basis  untuk melakukan  transformasi  sosial.[10]
2.      Karakter  Dasar  Post  Tradisionalisme  Islam
Post-tradisionalisme Islam diakui sebagai tradisi pemikiran Islam yang khas Indonesia, khususnya  dalam  komunitas  Nahdlatul  Ulama  (NU).  Dalam  konteks  ini  dapat  dinyatakan bahwa  post-tradisionalisme  merupakan  konstruk  intelektualisme  yang  berpijak  pada  (dan dari) kebudayaan lokal Indonesia, bukan tekanan dari luar (proyek “asing”) yang berinterakasi secara  terbuka  dengan  berbagai  jenis  elemen  masyarakat.  Post-tradisionalisme  Islam  tidak hanya  mengakomodasi  pemikiran  liberal  dan  radikal.[11] tetapi  juga  tradisi  pemikiran  sosialis-Marxis,  post-strukturalis,  postmodernis,  gerakan  feminisme,  dan civil  society.  Secara  khusus disebutkan bahwa metodologi pemikiran dan politik post-tradisionalisme Islam dikonstruksi melalui  pemikiran  Muhammad  Abed  al-Jabiri.  Hal  ini  menunjukkan  bahwa  pemikiran  al-Jabiri melalui proyek Naqd al-‘Aql al-‘Arabi mempunyai posisi yang sangat penting, di samping tokoh-tokoh yang telah disebutkan.[12]
Satu  hal  yang  perlu  dicatat  bahwa  gerakan  intelektual  post  tradisionalisme  Islamberangkat  dari  kesadaran  untuk  melakukan  revitalisasi  tradisi,  yaitu  sebuah  upaya  untukmenjadikan tradisi (turath) sebagai basis untuk melakukan transformasi. Dari sinilah komunitaspost-tradisionalisme Islam bertemu dengan pemikir Arab modern seperti Muhammad Abed al-Jabiri  dan  Hassan  Hanafi  yang  mempunyai  apresiasi  tinggi  atas  tradisi  sebagai  basistransformasi.[13]
Komunitas  post-tradisionalisme  Islam  mencoba  untuk  melihat  tradisi  secara kritis,historis, dan objektif. [14] Dalam konteks demikian, wacana post-tradisionalisme Islam sangatdipengaruhi  oleh  semangat perkembangan  pemikiran  Arab  modern yang  diadopsi  sebagaioptik untuk membaca tradisi NU dan pemikiran Islam.[15]Dengan menggunakan optik tradisi sebagaimana telah diuraikan, maka problem post-tradisionalisme  Islam  sebenarnya  adalah  bagaimana  melakukan  pembaharuan  pemikirankeagamaan  yang  harus  mengkritisi  tradisi  di  satu  pihak,  namun  pada  pihak  lain  memilikikebutuhan untuk “tergantung” pada  tradisi sebagai basis transformasi.
3.      Model Pendidikan Agama  Islam dalam  Perspektif  Post-Tradisionalisme
Islam, bagi post-tradisionalisme diposisikan sebagai nilai yang bersifat sakral-universal. Namun  ketika  nilai-nilai  Islam  itu  bersentuhan  dengan  realitas  sosial  budaya,  makaperwujudan  nilai-nilai  yang  kemudian  menjadi  institusi–suatu  nilai  yang  telah  melembaga–tersebut  menjadi  bersifat  partikular-lokal-profan.  Dengan  pemahaman  demikian,  post-tradisionalisme sesungguhnya telah melakukan “kritik nalar” terhadap konstruksi pemahamankeislaman yang selama ini ada dan berkembang dominan dalam kehidupan umat Islam.
Kesadaran demikian, oleh kalangan post-tradisionalisme, berusaha untuk ditubuhkan(dikonkretisasi) melalui basis kurikulum pendidikan agama Islam dalam konstruksi kurikulumyang  sama  sekali  lain  (beda)  dengan  konstruksi  pendidikan  agama  Islam  yang  selama  ini dikembangkan di lembaga-lembaga pendidikan formal resmi selama ini. Perbedaan tersebut dapat  disimak  pada  konstruksi  kurikulum  yang  digagas  oleh  LKiS,  P3M  dan  Desantara sebagai  eksponen  utama  post-tradisionalisme  Islam.
Kritisisme  mengandaikan  dua  hal  sekaligus, pertama, dekonstruksi,  yaitu  melakukan pemutusan  hubungan  epistemologis  terhadap  segala  otoritas  yang  membentuk  tradisi pengetahuan, dalam mana hal ini dilakukan dengan merombak sistem relasi yang baku dan beku,  menjadi  sistem  relasi  yang  cair  dan  berubah-ubah,  dari  yang  mutlak  menjadi  relatif, dari ahistoris menjadi historis, kedua, rekonstruksi yaitu sebuah  pertanggungjawaban untuk memberi  sisi-sisi  masuk  akal (reasonable) dalam  segenap  persoalan.18
Dalam  konteksdekonstruksi dan rekonstruksi inilah, kesadaran bahwa setiap tradisi adalah dibentuk (invented)dan distrukturkan (constructed) menjadi relevan dan penting.
LKiS  sejak  tahun  1997  sampai  sekarang  menyelenggarakan  suatu  program  yang diidentifikasi  dengan “Belajar  Bersama  Islam  Transformatif   dan  Toleran.” Program  ini merupakan  program  pendidikan  alternatif   bagi  kalangan  anak  muda  kritis  sebagai  salah upaya  penguatan civil  society dengan  mengembangkan  wacana  kritisisme  baik  kepada teks keagamaan, tradisi dan sebagainya. Dengan model belajar bersama ini, terbentuk suatu jaringan  kaum  intelektual  muda  progresif  yang  menjadikan  gagasan  dan  wawasan  Islam transformatif   dan  toleran  menjadi  tersebar  luas  ke  berbagai  daerah  dan  kampus-kampus.
Sedangkan  P3M  mengembangkan  wacana  kerakyatan  dengan  menggunakan  tradisi keagamaan  sebagai  basis  transformasinya.  Tema-tema  yang  diangkat  misalnya fiqh  al-nisa’,fiqh  al-siyasah, Islam  dan  demokrasi, h} alaqah  ideologi-ideologi  besar  dunia,  demokrasi pesantren dan yang paling populer kini adalah program Islam emansipatoris.
Dengan  demikian,  dapat  disimpulkan  bahwa  agenda-agenda  intelektual  yangdirumuskan dalam silabus pendidikan komunitas post-tradisionalisme Islam adalah “wacanasubversif ”,  yang  sangat  diilhami  oleh  denyut  post-modernisme  yang  menolak  adanya sentralisme (decentering) dan segala bentuk hegemoni.22Dengan semangat “subversi akademik”dan kritik nalar inilah, kalangan post-tradisionalisme melancarkan pembaruan pemikirannyayang  sangat  menentukan  terhadap  konstruksi dan  muatan  materi  pendidikan  agama  Islam yang  meliputi  pemaknaan  baru  Aswaja,  Islam  dan  politik  kewarganegaraan,  Islam  dan feminisme, dialog agama untuk keadilan, Islam dan budaya lokal serta pembaruan fikih dan qawa‘id  al-usul. 23
Pemaknaan baru Aswaja (Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah) dilakukan melalui pembongkaran sisi  metodologi  berpikirnya (manhaj  al-fikr) setelah  melalui  penelusuran  sejarah  sehingga ditemukan bahwa Aswaja merupakan manhaj al-fikr yang memegang prinsip moderat (tawassut}),seimbang (tawa zun), dan  berkeadilan (i‘tida l), sehingga  dapat  mengantarkan  pada  sikapkeberagamaan  non  ekstrem (ghayr  al-tat} arruf).24Tentang  problem  Islam  dan  politik kewarganegaraan,  post-tradisionalisme  Islam  ber usaha  melalukan  penguatan  danpemberdayaan civil society melalui penegasan bahwa persoalan politik dipandang bukan sebagai masalah  sekuler  melainkan  merupakan  salah  satu  persoalan  pokok  agama (as}l  min  usul  al-din), dan  bukan  sebagai  salah  satu  cabang  fikih (far‘  min  furu‘  al-fiqh).
Adapun  tentang  Islam  dan  feminisme,  post-tradisionalisme  mengkritisi  ajaran  yangdipahami selama ini. Dalam perspektifnya, agama sering kali dijadikan sebagai alasan dalam proses subordinasi kaum perempuan dalam pelbagai segi kehidupan. Penyifatan-penyifatan peyoratif  terkadang dirujukkan kepada perempuan oleh tafsir agama yang membentang dari persoalan  seksualitas  sampai  peran  politik  perempuan. 25Post-tradisionalisme  Islam menganggap doktrin dan tafsir agama semacam itu sangat merugikan dan mendiskreditkanperempuan, dan karenanya, sangat bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mengakuikesetaraan dan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, post-tradisionalismeIslam mengintrodusir  pentingnya dilakukan pembacaan  ulang terhadap  doktrin, pemikirandan  teks-teks  keagamaan  secara  kritis.[16]
B.  Modernisme dan Post Modernisme 
1.      Modernisme
Secara etimologis modernTom Jacob  mengartikan ‘modern’ sebagai: (1) terbaru, mutakhir; (2) sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan menurut Kant menyebutnya sebagai, ’pencapaian transendentalisasi jauh dari imanensi manusia. Sehingga manusia bisa mencapai tingkat yang paling tinggi. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern.[17]
Di era ini rasio dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki oleh manusia untuk memahami realitas, untuk membangun ilmu pengetahuan dan teknologi, moralitas, dan estetika. Pendek kata, rasio dipandang sebagai kekuatan tunggal yang menentukan segala-galanya.
Pengakuan atas kekuatan rasio dalam segenap aktivitas manusia, berarti pengakuan atas harkat dan martabat manusia. Manusia dengan rasionya, --tentu saja sebagai subjek; pemberi bentuk dan warna pada realitas-- adalah penentu arah perkembangan sejarah. Kenyataannya, modernisme adalah salah satu bentuk dari humanisme. Narasi-narasi besar modernisme yang berasal dari kapitalisme, eksistensialisme, liberalisme, idealisme, tidak bisa lain membuktikan hal itu.[18]
Modernisme juga bisa diartikan sebagai semangat untuk mencari dan menemukan kebenaran asasi, kebenaran esensial, dan kebenaran universial. Rasio manusia dianggapa mampu menyelami kenyataan faktual untuk menemukan hukum-hukum atau dasar-dasar yang esensial dan universal dari kenyataan. 


2.      Modernisme Dalam Islam
Islam modernis timbul diperiode sejarah Islam yang disebut modern dan mempunyai tujuan untuk membawa umat Islam kepada kemajuan. Sebagai halnya di Barat, di dunia Islam gerakan Islam modernis timbul dalam rangka menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan jalan demikian pemimpin-pemimpin Islam modern mengharapkan akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran, untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.[19]
Islam modernis juga timbul sebagai respon tehadap berbagai keterbelakangan yang dialami oleh umat Islam, seperti keterbelakangan dalam bidang ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik dan lain sebagainya. Keadaan seperti ini dinilai tidak sejalan dengan Islam sebagaimana terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah. Dalam kedua sumber ajaran tersebut, Islam digambarkan sebagai agama yang membawa kepada kemajuan dalam segala bidang, untuk tercipta kemaslahatan umat. Namun dalam kenyataannya umat Islam tidak memperlihatkan sikapnya yang sejalan dengan al-Quran dan al-Sunnah itu. Jika demikian adanya, maka diduga terdapat kekeliruan dan kesalahan dalam memahami al-Quran dan al-Sunnah tersebut, serta adanya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekeliruan tersebut.[20]
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa latar belakang timbulnya Islam modernis adalah sebagai respon kepedulian terhadap upaya mengatasi berbagai keterbelakangan umat Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu mencari sebab-sebab kemunduran dan keterbelakangan tersebut, seperti karena meninggalkan al-Quran dan al-Sunnah, lemahnya persaudaraan, pertikaian politik, sikap pasrah atau jumud serta karena mengikuti bidah, khurafat dan takhayyul. Dengan demikian inti dari munculnya Islam modernis adalah perlunya dibuka kembali pintu ijtihad. Dengan cara demikian, ajaran Islam tidak hanya responsip terhadap berbagai masalah aktual yang muncul ditengah-tengah masyarakat, juga akan terjadi reinterpretasi terhadap al-Quran dan al-Sunnah, revitalisasi terhadap posisi umat Islam, dan reformulasi terhadap berbagai produk pemikiran ulama masa lalu.[21]
3.      Islam modernis di Indonesia
Islam modernis di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak awal abad kedua puluh. Pada tahun 1906 misalnya muncul apa yang disebut kelompok muda di Sumatera Barat, tepatnya di Minangkabau. Mereka itu adalah Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Haji Abdullah Ahmad, dan Syaikh Daud Rasyidi. Kelompok ini mendapat tantangan keras dari kelompok tua yang terdiri dari Syaikh Khatib Ali, Khatib Sayyidina, Syaikh Bayang, Syaikh Seberang, Imam Masjid Ganting, dan Syaikh Abbas. Kelompok Islam modernis yang terdiri dari kaum ulama dan cendikiawan tersebut sering melakukan protes terhadap struktur kekuasaan adat yang tidak memberikan tempat kepada mereka.
Selanjutnya paham Islam modernis dikembangkan dan dimasyarakatkan lebih sungguh-sungguh oleh Harun Nasution melalui Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, lembaga di mana yang bersangkutan sebagai dosen dan orang nomor satu, yakni sebagai Rektor dari sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 1985. Melalui karya-karyanya beliau berusaha menjelaskan apa yang dimaksud dengan Islam modernis, apa tujuan serta programnya dan sebagainya. Pemikiran Harun Nasution ini banyak diikuti oleh para mahasiswa di IAIN Jakarta dan perguruan tinggi lainnya, tempat di mana ia mengabdikan ilmunya. Alumni IAIN Jakarta seperti Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Atho Mudzhar, Hadi Mulyo, Mansur Faqih, Azyumardi Azra, Saeful Muzani, Abuddin Nata, Sudirman Teba dan lainnya adalah murid-murid beliau yang hingga kini tetap komitmen dan mensosialisasikan paham Islam modernis tersebut.
Pemikiran Islam modernis lebih lanjut dikembangkan dan dimasyarakatkan dengan penuh agresivitas oleh Nurcholish Madjid melalui berbagai karyanya. Dalam berbagai karyanya itu Nurcholish Madjid mengatakan bahwa bagi seorang muslim modernisasi adalah suatu keharusan-bahkan suatu kewajiban mutlak. Modernisasi adalah perintah dan ajaran Tuhan.
Ide-ide Islam modernis selanjutnya diperkenalkan oleh Mukti Ali, Deliar Noer dan Munawir Sjadzali. Dalam bukunya yang berjudulIslam Dan Sekularisme Di Turki Modern, danAlam Pikiran Islam Modern Di India Dan Pakistan, Mukti Ali dengan panjang lebar membahas pemikiran Islam modernis dari tokoh-tokoh Turki seperti Ziya Gokalp (lahir 1875M) dan Kemal Attaturk; dan tokoh dari India dan Pakistan seperti Sayyid Ahmad Khan, Hali, Mohsinul Mulk, Viqarul Mulk, Syibli, Sayyid Amir Ali, Abul Kalam Azad, Maulana Muhammad Ali, Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, Liaquat Ali Khan, dan Maulana Sayid Abul Ala al-Maududi. Menurut Ziya Gokalp, bahwa Islam sejalan dengan peradaban modern, sekalipun banyak dari orang-orang yang sekurun zaman dengan dia mempunyai pendapat yang berbeda
4.      Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia
Modernisasi yang mengandung pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham,adat istiadat, instituisi lama dan sebagainya, agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang timbul oleh tujuan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. Modernisasi atau pembaruan juga berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas mental sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masyarakat kini.[22] Modernisasi merupakan proses penyesuaian pedidikan Islam dengan kemajuan zaman.
Latar belakang danPola-pola pembaharuan dalam Islam, khususnya dalam pendidikan mengambil tempat sebagai : 1) golongan yang berorentasi pada pola pendidikan modern barat, 2) gerakan pembaharuan pendidikan Islam yang berorentasi pada sumber Islam yang murni dan 3) pembaharuan pendidikan yang berorentasi pada nasionalisme.[23]
Modernisasi pendidikan Islam Indonesia masa awalnya dikenalkan oleh bangsa kolonial Belanda pada awal abad ke-19.[24] Program yang dilaksanakan oleh kolonial Belanda dengan mendirikan Volkshoolen, sekolah rakyat, atau sekolah desa ( Nagari) dengan masa belajar selama 3 tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an. Pada tahun 1871 terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang; dan menjelang 1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 murid.
Point penting eksprimen Belanda dengan sekolah nagari terhadap system dan kelembagaan pendidikan Islam adalah tranformasi sebagian surau di Mingkabau menjadi sekolah nagari model Belanda. Memang berbeda dengan masyarakat muslim jawa umumnya memberikan respon yang dingin, banyak kalangan masyrakat muslim Minangkabau memberikan respon yang cukup baik terhadap sekolah desa. Perbedaan respon masyarakat Muslim Minangkabau dan jawa banyak berkaitan dengan watak cultural yang relatif berbeda, selain itu juga berkaitan dengan pengalaman histories yang relatif berbeda baik dalam proses dan perkembangan Islamisasi maupun dalam berhadapan dengan kekuasaan Belanda.
Selain itu perubahan atau modernisasi pendidikan Islam datang dari kaum reformis atau modernis Muslim. Gerakan reformis Muslim yang menemukan momentumnya sejal abad 20 berpendapat, diperlukan reformasi system pendidikan Islam untuk mempu menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen.
Respon system pendidikan Islam tradisional seperti suaru ( Minangkabau) dan Pesantren ( Jawa) terhadap modernisasi pendidikan Islam menurut Karel Steenbrink dalam kontek surau tradisional menyebutnya sebagai menolak dan mencontoh, dalam kontek pesantren sebagai menolak sambil mengikuti. Untuk itu , tak bisa lain dalam pandangan mereka , surau harus mengadopsi pula beberapa unsure pendidikan modern yang telah diterapkan oleh kaum reformis, khususnya system klasikal dan penjejangan, tanpa mengubah secara signifikan isi pendidikan surau itu sendiri.
Selain respon yang diberikan oleh pesantren di jawa, komunitas pesantren menolak asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat tertentu mereka pasti mengikuti langka kaum reformis . karena memiliki manfaat bagi para santri, seperti system penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas dan system klasikal. Pesantern yang mengikuti jejak kaum reformis adalah pesanteren Mambahul ‘ulum di Surakarta, dan di ikuti oleh pesantren Modern Gontor di Ponorogo. Pondok tersebut memasukan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga mendorong santrinya untuk memperlajari bahasa Inggris selain bahasa Arab dan melaksanakan sejumlahkegiatan ekstra kurikuler seperti olah raga, kesenian dan sebagainya.
Sistem Pendidikan Islam pada mulanya diadakan di surau-surau dengan tidak berkelas-kelas dan tiada pula memakai bangku, meja, dan papan tulis, hanya duduk bersela saja. Kemudian mulialah perubahan sedikit demi sedikit sampai sekarang. Pendidikan Islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis, ialah Sekolah Adabiah ( Adabiah School) di Padang.[25]
Adabiah School merupakan madrasah (sekolah agama) yang pertama di Minangkabau, bahkan diseluruh Indonesia. Madrasah Adabiah didirikan oleh Almarhum Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Adabiah hidup sebagai madrasah sampai tahun 1914, kemudian diubah menjadi H.I.S. Adabiah pada tahun 1915 di Minangkabau yang pertama memasukkan pelajaran Agama dalam rencana pelajarannya. Sekarang Adabiah telah menjadi sekolah Rakyat dan SMP.
Setelah berdirinya madrasah Adabiah, maka selanjutnya diikuti madrasah lainnya seperti madras Schol di Sungyang ( daerah Batusangkar) oleh Syekh M.Thaib tahun 1910 M, Diniah School ( madrasah diniah) oleh Zainuddin Labai Al-Junusi di Padangpanjang tahun 1915.[26]
Sumatra Thawalib memberikan pengajaran baik di bidang keagamaan maupun bidang-bidang lain yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan modern.[27]Sementara di Jawa, Muhammadiyah adalah yang pertama mendirikan lembaga-lembaga pendidikan bergaya modern. Hingga perkembangannya pada 1925, Muhammadiyah telah memiliki 14 madrasah, 8 HIS, sebuah sekolah guru di Yogyakarta dan 32 sekolah dasar 5 tahun[28]
Di antara guru Agama banyak juga mengarang kitab-kitab untuk madrasah ialah 1)H. Jalaluddin Thaib, seperti kitab jenjang bahasa arab 1-2, Tingkatan bahasa arab 1-2, Tafsir Al-Munir 1-2, ( 2) Anku Mudo Abdul hamid Hakim, seperti kitab: Al-Mu’in Al-Mubin 1-5, As-Sullam, Al-Bayan Tahzibul akhlaq, ( 3) Abdur-Rahim Al-Manafi seperti kitab : Mahadi ‘ilmu Nahu, Mahadi ilmu Sharaf, Al-Tashil, Lubahul Fighi, Al-Huda, Asasul adab.[29]
Ulama-ulama yang mengadakan perubahan dalam pendidikan Islam di Minangkabau adalah 1) syekh Muhd. Thaib Umar Sungayang, batu sangkar tahun 1874-1920 M. 2) Syekh H.Abdullah Ahmad, Padang tahun 1878 M-1933M, 3) Syekh H. Abdul karim Amrullah, Maninjau 1879-1945 M, 4) Syekh H.M. Jamil Jambek bukittinggi 1860-1947, 5) dan lain-lain.[30]
Surau –surau yang termashur di Minangkabau adalah sebagai berikut ; 1) Surau Tanjung Sungyang didirikan oleh Syekh H.M Thaib Umar pada tahun 1897 M dan masih hidup sampai sekarang dengan nama Al-Hidayah dan SMPI, PGA., 2) Surau Parabek, bukittinggi didirikan oleh Syekh H. Ibrahim Musa pada tahun 1908 M. dan masih hidup sampai sekarang dengan nama Thawalib, 3) Surau padang Japang didirikan oleh Syekh H. Abbas Abdullah pada tahun … dan masih hidup sampai sekarang dengan nama Darul funun Abbasiah, 4) dan lain-lain54.
Tentang keadaan pendidikan Islam di Minangkabau pada masa beberapa tahun sebelum tahun 1900. dilukiskan dalam skema pendidikan Islam.Dari perkembangan di awal abad ke-20, penting ditegaskan, madrasah tampak telah mengalami beberapa perubahan penting di banding masa sebelumnya. Di sini, seperti terlihat dari beberapa contoh di atas, madrasah telah berkembang menjadi satu lembaga pendidikan dengan ciri-ciri yang dikenal kini. Model madrasah ini didirikan sebagai bagian dari upaya umat untuk mengadopsi sistem pendidikan modern yang diperkenalkan kolonial, dan pada saat yang sama karena ketidakpuasan terhadap lembaga pendidikan nasional yang telah berdiri sebelumnya. Oleh karena itu, gagasan modernisasi dan kemajuan merupakan bagian inheren dari perkembangan madrasah saat itu. Madrasah merupakan salah satu perwujudan hasrat muslim untuk melangkah pada dunia baru yang disebut dengan alam kemajuan. [31]
5.      POST MODERNISME
postmodernisme disebut  sebagai  sebuah  gerakan  pencerahan  atas pencerahan, oleh karena postmodernisme sangat gigih dalam melakukan kritikan dan gugatan  terhadap  modernisme  yang  sangat  mendewakan  rasio  dalam  ilmu pengetahuan yang diyakini akan membawa dan mengarahkan manusia memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dalam kehidupannya. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, yakni manusia bukan lagi sebagai subjek dan pelaku untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi jatuh terperangkap ke dalam objek dan sasaran  yang dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Amat tragis dan ironis manusia modernis, Postmodernisme selaku sebuah fase sejarah ingin secara  tuntas  mengantisipasi  dan  membebaskan  manusia  dari  segala  bentuk cengkeraman  zaman  yang  tak  menyenangkan  inklusif  perbudakan  terhadap rasionalitas,  bendawi  dan  lain-lain.[32]
Jika dalam visi modernisme, penalaran (reason) dipercaya sebagai sumber utama ilmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran-kebenaran universal, maka dalam visi postmodernisme hal itu justru dipandang sebagai alat dominasi, sehingga postmodernisme menyadari bahwa seluruh budaya modernisme yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi pada titik tertentu tidak mampu menjelaskan kriteria dan ukuran epistemologi bahwa yang ‘benar’ itu adalah yang real, dan yang real benar itu adalah ‘rasional’. Meskipun postmodernisme sendiri juga berusaha menggiring manusia ke dalam sebuah paradoks, yaitu di satu pihak telah membuka cakrawala dunia yang serba plural yang kaya warna, kaya nuansa, kaya citra, tetapi di lain pihak, ia menjelma menjadi sebuah dunia yang seakan–akan tanpa terkendali.[33]
Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri. Hal ini senada dengan definisi dari dikenal sebagai nabi dari postmedernisme. Dia adalah suara pionir yang menentang rasionalitas, moralitas tradisional, objektivitas, dan pemikiran-pemikiran Kristen pada umumnya. Nietzsche sche berkata, “Ada banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.” [34]                
Menurut Romo Tom Jacob, kata ‘postmodern’ setidaknya memiliki dua arti: (1) dapat menjadi nama untuk reaksi terhadap modernisme, yang dipandang kurang human, dan mau kembali kepada situasi pra-modernisme dan sering ditemukan dalam fundamentalisme; (2) suatu perlawanan terhadap yang lampau yang harus diganti dengan sesuatu yang serba baru dan tidak jarang menjurus ke arah sekularisme. 
6.      Prinsip Postmodernisme
Prinsip  postmodernisme adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya rendah, antara penampilan dan kenyataan, antara simbol dan realitas, antara universal dan peripheral dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat konvensional[35]. Jadi postmodern secara umum adalah proses dediferensiasi dan munculnya peleburan di segala bidang.[36] Postmodernisme merupakan intensifikasi (perluasan konsep)  yang dinamis, yang merupakan upaya  terus menerus untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan, yang menentang dan tidak percaya pada segala bentuk narasi besar (meta naratif), dan penolakannya terhadap filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran totalitas, dan lain-lain. Postmodern dalam bidang filsafat diartikan juga segala bentuk refleksi kritis atas paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya dan berusaha untuk menemukan bentuknya yang kontemporer.
7.      Pengaruh Postmodernisme Dalam Pendidikan
Berdasarkan ciri menonjol postmodernisme, maka dapat dilacak dimana letak keterpengaruhan gerakan ini terhadap paradigma pendidikan. Pendidikan pada saat sekarang tidak lagi dipahami sebagai peneguhan proses transformasi pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah (pendidikan formal). Guru dengan demikian tidak lagi dipandang sebagai ‘dewa’ dengan segala kemampuannya untuk melakukan proses pencerdasan masyarakat. Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada guru. Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang sempit, yang bernama sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat, entah itu melalui pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah.[37] mengatakan bahwa proses pendidikan akan memperoleh keuntungan dari upaya membebaskan masyarakat yang cendrung mendewakan sekolah, dengan demikian kegiatan sekolah tidak lebih hanya sebagai pengkhianatan terhadap upaya pencerahan budi.
Postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta deferensiasi adalah bukti betapa pendidikan harus disebarkan melalui kerja-kerja yang tidak harus dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitas membuktikan betapa sekolah justru seringkali memainkan peran dogmatis dan dominannya dalam melakukan transfer of value (transformasi nilai) serta transfer of knowledge (transformasi pengetahuan). Peran guru, bahkan juga institusi sekolah seringkali menampilkan diri dalam batas-batasnya sebagai pembelenggu kreativitas anak didik, anak didik disekolah sering diperlakukan oleh guru tak ubah sebagai bejana kosong yang siap diisi tanpa boleh dibantah, pendidikan seperti ini yang dikritik oleh Freire sebagai model pendidikan “gaya bank” (banking system) .[38] Sementara pola Sistem Kredit Semester (SKS) bahkan juga ujian akhir nasional (UAN) sebagai ukuran terakhir kemampuan anak didik adalah representasi bagi ‘penindasan’ yang dilakukan institusi-institusi tersebut terhadap pengembangan kreativitas anak didik. Beban pelajaran yang sedemikian berat, meminimilisasikan kemampuan anak didik untuk ‘melakukan’ eksperimentasi’ berdasarkan kemampuannya secara profesional, karena disibukkan dengan beban-beban yang cukup membelenggu.
Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali diarahkan pada penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam perspektif postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral, krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek dengan penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern.
Rasio manusia an sich tidak lagi diharapkan dapat memberikan jawaban atas berbagai problem yang muncul dalam masyarakat modern, sehingga proses pendidikan hanya diarahkan pada kepentingan rasio atau nalar rasionalitas justru akan mendatangkan bencana kemanusiaan. Padahal sejak awal diyakini bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai alat untuk memanusiakan manusia. [39]Pengangkatan harkat dan martabat kemanusian tidak hanya dapat dimainkan oleh nalar rasio semata, tetapi harus integratif antara nalar rasional dan nalar spiritual.
Dalam konteks ini tidak berlebihan bila dalam konsep pendidikan nasional pengembangan kemampuan anak didik juga diarahkan pada tiga kemampuan dasar yaitu kognitif, afektif serta psikomotorik.[40] Ketidakmampuan mengembangkan ketiga ranah tersebut akan melahirkan out put pendidikan yang timpang. Itulah sebabnya, proses pendidikan harus dijalankan untuk memainkan ketiga ranah tersebut agar tetap berjalan. Kritik postmodernisme atas situasi masyarakat modern sebenarnya juga merupakan kritik atas proses pendidikan yang hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang dimiliki manusia.
Dalam kondisi yang demikian postmodernisme tampil memberikan berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan. Kritik mendasar postmodernisme terhadap modernisme telah memunculkan berbagai tema-tema penting seperti paralogy atau pluralisme [41],deferensiasi atau desentralisasi, dekontsruksi atau kritik dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan sebagainya. Tema-tema inilah yang sesungguhnya memberikan peluang baru bagi munculnya model (paradigma) pendidikan yang perlu diselenggarakan oleh negara ataupun masyarakat Indonesia.


[1] Timothy R. Philips and Dennis L. Okholm, eds. Christian Apologetics in the Postmodern World (Downers Grove: InterVarsity, 1995) h, 11.
[2] Kalvin Surya, “Mengenal Postmodernisme dan Pengaruhnya bagi Kekristenan,” dalam [http://www.lrii.or.id/Artikel%200christian5.html] 1998.
[3] Kaum tradisionalis lebih senang mengikuti pendapat ulama-ulama besar di masa silam daripada mengambil
kesimpulan sendiri berdasar al-Qur’an dan hadith. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang
Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982), 1.
[4] Modernisme dalam bahasa Arab sering diistilahkan dengan tajdid yang artinya pembaruan. Dalam konteks gerakan,
kata pembaruan mengacu pada gerakan pemurnian yang berlangsung sebelum  abad ke-19. Sedangkan modernisme
digunakan  untuk  menjelaskan  gerakan  pembaruan  yang  muncul  sejak  abad  ke-19  yang  bertujuan  untuk
menyesuaikan ajaran Islam dengan pemikiran modern. Dengan demikian, gerakan modernisme Islam dapat
dipahami sebagai gerakan yang muncul pada periode sejarah Islam modern dengan mengadaptasi ajaran Islam
kepada pemikiran dan kelembagaan modern. Di Indonesia, modernisme Islam berawal dari pembaruan pemikiran
keagamaan (teologi), kelembagaan atau institusi, aspek sosial, pendidikan dan politik. Lihat Nia Kurnia dan
Amelia Fauzia, “Gerakan Modernisme,” dalam ed. Taufik Abdullah et al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Asia
Tenggara), jil. 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), 349-350.  Dalam bahasa Fazlur Rahman, gerakan pemikiran
keagamaan modernisme ini disebut dengan istilah modernisme Islam klasik
[5] Azyumardi Azra menyebutkan bahwa titik jenuh itu terjadi karena mengalami keterputusan intelektual karena
membuang khazanah intelektual yang muncul pada periode taqlid. Khazanah intelektual kaum modernis–dalam
pandangan Azra-terbatas pada generasi sahabat (salaf  al-salih}), melompat  ke (sedikit) Ibn Taymiyah, kemudian
mengadopsi pemikiran pembaru mulai abad ke-17 seperti Shah Wali Allah, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab,
Jamal  al-Din  al-Afghani,  Muh}ammad  ‘Abduh  dan  Rashid  Rida.  Lihat  Azyumardi  Azra,  “Mengkaji  Ulang
Modernisme Muhammadiyah,” Kompas, 9 Nopember 1990.
[6] Dalam perspektif Fazlur Rahman, meskipun semangat modernisme klasik telah benar, namun mereka setidaknya
memiliki dua kelemahan mendasar. Pertama, tidak mengurai secara tuntas metode yang secara semi implisit
terletak dalam menangani masalah-masalah khusus dan implikasi prinsip-prinsip dasarnya. Kedua, tidak dapat
dihindari  mereka  mengesankan  sebagai  agen  westernisasi.  Lihat  Rumadi, Post  Tradisionalisme  Islam:  Wacana
Intelektualisme dalam Komunitas NU (Jakarta: Ditjen Diktis, 2007), 14.
[7] Bahasan lebih jauh mengenai neo-modernisme Islam periksa Fazlur Rahman, Neo-Modernisme Islam: Metode dan
Alternatif, ed. Taufik Adnan Amal (Bandung: Mizan, 1989). Lihat juga Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di
Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, terj.
Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999).

[8] Rumadi, Post Tradisionalisme, 15
[9] Dalam diskursus akademik, istilah post tradisionalisme ini dipandang tidak lazim, karena belum dijumpai dalam
kamus, juga belum ada ilmuwan yang menggunakan istilah ini. Bahkan menurut Khamami Zada, justru lahir di
Indonesia, yang disuarakan oleh gerakan kritis generasi muda dari kalangan Islam tradisional.  Periksa Khamami
Zada, “Mencari Wajah Post Tradisionalisme Islam”, Tashwirul Afkar, No. 9 (2000), 2-5.
[10] ost-Tradisionalisme  Islam  ini,  sebagaimana  diidentifikasi  dalam  disertasi  Rumadi,  tumbuh  subur  pada
pemahaman keagamaan generasi muda kritis kalangan Nahdlatul Ulama (NU), yang pada satu sisi berusaha agar
akses mereka terhadap dinamika kehidupan modern terbuka lebar, namun pada sisi lain, mereka tetap berobsesi
untuk tidak tercerabut pada dinamika akar tradisionalitasny
[11] Seperti pemikiran  Hassan Hanafi, Mahmoud Mohammed Thaha, Abdullahi Ahmed al-Na’im, Arkoun, Nasr
Hamid Abu Zayd, Mohammed Syahrour dan  Khalil Abd al-Karim.
[12] Terdapat argumentasi yang dapat digunakan untuk mempertanggungjawabkan hal ini: Pertama-tama Muhammad
Abid al-Jabiri dikenal dengan proyek metodologis “Kritik Nalar Arab”-nya. Ada dua hal yang ditawarkan proyek
kritik tersebut: kritik nalar epistemologis dan kritik nalar politik. Kritik nalar epistemologis disebut juga “nalar
spekulatif ”, mengambil bentuk arkeologi yang meneliti persoalan cara-cara dan mekanis mereproduksi pengetahuan
yang berlaku di kalangan umat Islam hingga kini. Yang ditelaah misalnya bagaimana us}u> l al-fiqh membentuk pola
pikir umat Islam dengan metodologi qiya>s-nya (analogi) yang cenderung mengarah pada sakralisasi, bukan hanya
pada soal hukum-hukum agama, tapi juga dalam segenap spektrum kebudayaan manusia, mulai dari bahasa,
sastra, teologi, filsafat, hingga politik (misalnya kalau berbicara tentang sosialisme yang “Islami”). Sementara
kritik nalar politik, yang dikenal dalam kategori “nalar praktis”, menekankan sebuah praksis, dengan fokus kritik
kepada cara-cara berkuasa dan menguasai. Yang dibedah misalnya adalah persoalan keterkaitan munculnya disiplin
siyasah  shar‘iyyah atau fiqh  al-siyasah dengan  strategi  militeristik  kekuasaan  khalifah  untuk  menundukkan
masyarakatnya”. Ahmad Baso, “Pengantar penerjemah: Post Tradisionalisme sebagai Kritik Islam, Kontribusi
Metodologis Kritik Nalar Muhammed Abed al-Jabiri,” dalam Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme
Islam (Yogyakarta: LKiS, 2000), 33
[13] Abdurrahman, Moeslim, Semarak Islam Semarak Demokrasi? Cet I. (Pustaka
Firdaus: Jakarta, 1996), h. 67
[14] Atas dasar itu mereka selalu menaruh curiga atas berbagai narasi besar, baik yang diproduksi melalui tradisi,
ideologi, maupun teks suci. Bagi komunitas ini, narasi besar hanya ingin melakukan monopoli atas kebenaran.
Ideologi-ideologi besar dunia,  bahkam juga tafsir dominan  atas agama sebenarnya juga  ingin memonopoli
kebenaran. Atas dasar itu, mereka menolak segala bentuk penunggalan itu, karena “penunggalan” tidak akan
mampu menyelesaikan persoalan. Sampai di sini, catatan Marzuki Wahid atas “Manifesto Perang Kebudayaan”
Kaum Muda NU 2015 di Malang 2001 sangat menarik untuk disimak. Dalam dokumen tersebut, disebutkan
target gerakan kaum muda NU antara lain: 1) rebut kepemimpinan moral dan intelektual di segala lini gerakan
kemasyarakatan,  2)  konsisten  di  jalur  politik  ekstra  parlementer  berbasis  multikulturalisme  dengan  tetap
menghormati “orang lain” sebagai warga negara, lengkap dengan tradisi dan kebudayaannya sendiri, dan 3)
menyiapkan secara serius paradigma economical society dan membangun basis ekonomi mandiri demi penciptaan
civil society. Lihat Marzuki Wahid, “Post-Tradisionalisme Islam,” 17
[15] Mereka tidak segan-segan mengkritik tradisinya, bahkan doktrin keagamaan yang selama ini diterima secara taken
for granted. Doktrin teologi Aswaja yang bertahun-tahun mulai mereka pertanyakan, baik doktrinnya itu sendiri
maupun kemampuan dan relevansinya dengan perkembangan zaman, sehingga digagas teologi kemanusiaan
yang lebih transformatif. Dalam bidang fikih mereka juga menggagas kontekstualisasi fikih dan kitab kuning,
sehingga melahirkan fikih rakyat, fikih perburuan, fikih ijtima yah (sosial), fikih politik yang berorientasi rakyat, dan
sebagainya.
[16] Alisyahbana, Iskandar (ed), Perubahan, Pembaharuan dari Kesadaran Menghadapi
Abad XXI, (Dian Rakyat : Jakarta:, 1988), h. 76
[17] M. Amin Abdullah,  Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Cet. I, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta
, 1995,) h. 89
[18] Ibid,
[19] A.  Rahman Getteng, Pendidikan  Islam  dalam  Pembangunan,  (Ujungpandang:
Yayasan al Ahkam, 1977), h. 91
[20] Ibid,
[21] Ibid
[22] Azyurmadi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, Jakarta : Logos 1990,h. 121
[23] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada periode klasik dan Pertengahan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, h.88
[24] Azyumardi, Ibid,  h. 198
[25] Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1984), Hal 63
[26] Mahmud Yunus,Ibid  hal 50
[27] Deliar Noor, Gerakan…, h. 50-58. Untuk pembahasan komprehensif tentang kasus Sumatera Thawalib, lihat Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam : Kasus Sumatra Thawalib (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990).
[28] Deliar Noor, Gerakan…, h. 84-95. Lebih jelasnya lihat Alfian, “Islamic Modernism in Indonesian Politics : The Muhammadiyah during the Colonial Period”, Ph. D. Thesis, University of Wisconsin, Madison, 1969
[29] Mahmud Yunus, Ibid,hal 67
[30]  Ibid,hal 59
[31] Mahmud Yunus, Ibid,hal 50

[32] Norris, Christopher  Membongkar teori dekonstruksi Jaques Derrida, Terjemahan. Inyiak Ridwan Muzir.(  Ar-Ruzz: Yogyakarta, 2003), h. 344

[33] Pilliang, Amir Yasraf, Posrealitas: Realitas kebudayaan dalam era posmetafisika. Jalasutra: Yogyakarta, 2004) h. 358
[34] Pauline Marie Roesnou, Post-modernism and the social science: Insights inroads, and intrusions. Rinceton University Press: Priceton, 1992), h. 31



[37] Illich Ivan,. Bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah. Terjemahan, Sonny Keraf. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003). H-33-34
[38]  Paulo Freire,  politik pendidikan: kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan, Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto,  (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2002), h. 28

[39] Mulyasa, E.. Kurikulum berbasis kompetensi konsep, karakteristik, dan implementasi. Rosdakarya: Bandung 2003) h. 7
[40] Paul Suparnol, “Relevansi dan reorintasi pendidikan di Indonesia”, dalam, Basis, No. 01-02 Tahun ke 50, Januari-Februari, 2001, h. 43

[41] Santoso, Listiyono, “Postmodernisme: Kritik Atas Epistemologi Modern, dalam, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003) h. 331


Tag : Pendidikan
Back To Top