A. Latar Belakang Historis HAMKA
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), lahir di Sungai Batang,
Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Ahad, tanggal 16 Februari 1908/13 Muharam
1326 H, di Desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di
Jakarta 24 Juli 1981. Ayahnya bernama Haji Abdul Karim Amrullah bin Syekh Muhammad
Amrullah (gelar Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdullah Saleh.[1] Belakangan ia diberikan
sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata
abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang
dihormati.
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul
Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik
dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara.Beliau lahir pada 17
Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya
ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang
pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada
tahun 1906.[2]
HAMKA memberikan perhatiannya terhadap dinamika dan persoalan
pendidikan Islam. Meskipun dalam bentuk penyajian yang tidak utuh dan spesifik,
pemikirannya tentang komponen pendidikan Islam (meliputi komponen pendidik,
peserta didik, materi, tujuan pendidik, fungsi dan bentuk dalam pendidikan dan
model pendidikan Islam yang ideal). [3]HAMKA pada saat itu
berusaha menangani krisisnya pendidikan yang ada pada saat itu, sehingga HAMKA
menyajikan pendidikan Islam tidak secara konseptual.
HAMKA seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun
Barat.Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki
karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji
Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Husayn Haykal. Melalui bahasa
Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti
Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre,
Karl Marx dan Pierre Loti. HAMKA juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran
dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas
Surjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil
mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.[4]
Pada tahun 1927, ia berangkat menunaikan ibadah haji sambil menjadi
koresponden pada harian “Pelita andalas” di Medan. Sekembalinya dari Makah, ia
tidak langsung ke Minangkabau, namun singgah di kota Medan untuk beberapa
waktu. Di kota inilah ia banyak menulis artikel diberbagai majalah waktu itu.
Atas desakan kakak iparnya A.R.st. Mansur, ia kemudian diajak pulang ke
Padangpanjang untuk memenuhi ayahnya yang lama merindukannya. Sesampainya di
Padangpanjang ia dinikahkan dengan Siti Rahmah binti Endah Sutan pada tanggal 5
April 1929. Dari perkawinannya itu ia di karunia sebelas anak .mereka antara
lain Hisyam (meninggal usia 5 tahun), Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan,
Aliyah, fathiyah, Hilmi Afif, dan shakib. Setelah suami yang pertama meninggal,
ia menikah lagi dengan perempuan asal Cirebon, yaitu Hj. Siti Khadijah.[5]
Ketokohan
HAMKA, dan keluasan ilmu pengetahuannya, serta kepeduliannya terhadap nasib
umat Islam, tidak hanya terkenal di kalangan nasional saja, tetapi juga di
Timur Tengah, dan Malaysia, bahkan Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia,
pernah mengatakan bahwa HAMKA bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi juga
kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.[6]
Hal
ini bisa dilihat dari beberapa penghargaan yang diperolehnya. Pada tahun 1959,
ia mendapat anugrah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Kairo
atas jasa-jasanya dalam mensyiarkan Agama Islam dibelahan dunia dengan
menggunakan bahasa Indonesia yang indah. Kemudian pada 6 juni 1974, kembali ia
mendapat gelar penghormatan dari Universitas Kebangsaan Malasyia pada bidang
kesusastraan, serta gelar Prof. Dr. Moestopo.[7]
Kini,
kenang-kenangan tentang ulama, penyair, sastrawan, bisa ditemui di kampung
halamannya.Ratusan buku karangan HAMKA, semenjak novel fiksi Tenggelamnya Kapal
Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah, sampai kepada buku filsafat
seperti Tasauf Modern dan Falsafah Hidup, bahkan karyanya yang amat fenomenal
Tafsir Al-Azhar yang diselesaikan ketika Buya dipenjara tanpa alasan yang jelas
oleh rezim Soekarno bisa ditemui di museum rumah kelahiran Buya HAMKA tersebut.
Museum yang diresmikan pada 11 November 2001 oleh H. Zainal Bakar, Gubernur
Sumatera Barat tersebut juga menghadirkan berbagai foto yang menggambarkan
perjalanan hidupnya.
B.
Latar Belakang
Pendidikan dan Sosial Buya HAMKA
Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan HAMKA
adalah seorang tokoh intelektual Muslim Indonesia. Beliau dikenal dengan
pemikiran-pemikiranya tentang etika (Islam).Konstruksi etika HAMKA dibangun di
atas fondasi tauhid dan filsafat. Menurutnya, motivasi perbuatan moral seorang
mulsim itu bersifat transendental, yakni mencari ridla Allah swt., untuk
kebahagiaan dunia akhirat. Perbuatan moral seorang muslim hendaknya didasari
pandangan dunia tauhid yang melampaui kepentingan pragmatis. Di sinilah tampak
sekali dalam pemikiran etika HAMKA, perpaduan serasi antara bangunan Agama yang
religius dan filsafat yang regional.Maka tidak salah bila pemikiran etika HAMKA
disebut dengan corak etika berbasis rasional-religius.[8]
HAMKA kecil menerima pembelajaran Al-Qur’an langsung dari ayahnya. Kemudian
ayahnya mengajak ke Padang pada umur 6 tahun. Pada usia 7 tahun ia dimasukkan
ke sekolah desa yang hanya diikuti sekitar 3 tahun. Pada malam hari ia menerima
pelajaran Agama secara langsung dari ayahnya. Pada masa belianya, ia juga
senang nonton film, dan karenanya hobinya tersebut ia pernah mengecoh salah
satu gurunya demi untuk menonton Eddie Polo, dan Marie Walcamp. Sehingga nonton
film menjadi salah satu hobinya yang sulit ditinggalkan, namun dari film-film
itulah ia mendapat ispirasi untuk mengarang.[9]
Pendidikan formal dilalui dengan sangat sederhana. Mulai tahun 1916
sampai 1923, ia belajar Agama di lembaga pendidikan Diniyah School di Padang
Panjang, serta Sumatera Thawalib, di Padang Panjang dan di Parabek.[10] Walaupun pernah duduk
dikelas VII, akan tetapi ia tidak mempunyai ijazah. Guru-gurunya saat itu
antara lain Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Muda Abdul Hamid Hakim, Sutan
Marajo, dan Syekh Zainuddin Labay el-Yunusiy.[11]
Pada saat itu materi pembelajaran masih terfokus pada kajian
kitab-kitab klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fikih, dan yang
sejenisnya. Metode hafalan merupakan cara yang paling efektif dalam pelaksanaan
pendidikan pada saat itu. Meskipun materi yang diajarkan adalah materil yang
berbahasa arab, namun materi-materi itu adalah tingkatan yang paling rendah di
Mesir. Pendidikan yang dilaksanakan, juga tidak diiringi dengan belajar secara
maksimal.Akibatnya, banyak diantara tean-temannya yang sangat fasih membaca
kitab. Namun tidak bisa menulis dengan baik.Meskipun tidak puas dengan metode
dan pendekatan yang ada, namun HAMKA tetap mengikutinya. [12]
Sistem pendidikan tradisional yang sedemikian, membuat ia tidak
puas. Akhirnya kegelisahan intelektual yang dialami, membuatnya memutuskan
untuk merantau ke Yogyakarta. Sesampainya disana ia langsung ke Pekalongan dan
tinggal bersama adik dari ayahnya, Ja’far Amrullah di Desa Ngampilan. Bersama dengan pamannya
itu ia kembali mendalami kajian-kajian kitab klasik dengan ulama’ yang hidup
semasanya seperti Ki Bagus Hadi Kusumo (Tafsir), R.M. Soeryopranoto
(Sosiologi), KH. Mas Mansur (Filsafat dan Tarikh Islam), H. Fachruddin, H.O.S.
Tjokroaminoto (Islam dan Sosialisme), Mirza Wali Akhmad Baig, A. Hasan Bandung,
dan terutama A.R. Sutan Mansur.[13]
Meskipun beliau Buya HAMKA memperoleh pengalaman dari A.R. st.
Mansur dan memilik spektrum yang sama
anmu kedua kedua memiliki pandangan yang berbeda. Diantaranya tentang metode
mereka gunakan dalam memahami universalitas Islam. HAMKA cenderung tidak
membatasi diri dalam bidang keIslaman. A.R.s.t. Mansur berorientasi pada
pembelajaran keIslaman dengan menyandarkan pandangannya terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an dan Hadsit. Namun keduanya memiliki retorika yang mampu menarik dari
siapa yang mendengarnya.[14]
Di Yogyakarta beliau sempat
memperoleh pengalaman yang berarti, yaitu dengan melakukan diskusi bersama
teman-temannya yang memiliki wawasan luas dan cendekia. Mereka antara lain
Muhammad Natsir. Disinilah beliau HAMKA mulai berkenalan dengan ide pembaruan
SI dan Muhammadiyah yang dipimpin A.R. st. Mansur. Ide-de modernisasi yang
dihembuskan para pemikir Islam pada saat itu telah banyak mempengaruhi asmosfer
pemikirannya tentang Islam sebagai suatu ajaran yang hidup dan dinamis.[15] Disinilah ia mulai Islam
yang berkembang di minangkabau (statis, tradisonal, dan terseret paham pada
pertikaian khilafah) dengan Islam yang hidup di Yogyakarta (dinamis dan
modern).[16]
Kemudian pada tahun 1925 ia berangkat ke Pekalongan dan tinggal
selama enam bulan bersama iparnya A.R. st. Mansur. Beliau banyak belajar pada
iparnya, baik tentang Islam yang dinamis dan politik disini beliau mulai
berkenalan dengan pemikiran Muhammad Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan
Rosyid Ridha yang berupaya mendobrak kebekuan umat.[17]
Pada bulan 1925, ia pulang ke Maninjau. Sekembali dari Jawa, ia
membawa semangat dan wawasan baru tentang Islam yang dinamis. Adapun buah
tangan berharga dibawanya adalah beberapa buah karya yang memuat pemikiran
ilmuwan waktu itu. Dengan bekal dan pengalaman dan pengetahuan, baik Agama
maupun umum, ia telah berani tampil berpidato di muka umum. Untuk membuka wawasannya,
ia mulai berlangganan pula dengan ide-ide pembaruan dan pergerakan umat Islam
baik Indonesia maupun luar negeri.[18]
Untuk memperkenalkan semangat
modernis tentang wawasan Islam baru tersebut, ia diawali dengan membuka kursus
pidato yang diberi nama “Tabligh Muhammadiyah” pada tahun 1925. Pelaksanaannya
dilakukan sekali seminggu dan mengambil tempat di surau jembatan besi Padang
Panjang. Naskah pidato teman-temannya, banyak ia sendiri membuatnya. Kumpulan
pidato ini kemudian ia cetak dalam sebuah buku dengan judul Khotib al-Ummah.[19] Dari sinilah mulai
terlihat kemampuannya jurnalistik yang membuat beliau mempunyai banyak karya
dalam berbagai bidang.
C.
Latar Belakang
Karir HAMKA
Secara
kronologis, karir HAMKA yang tersirat dalam perjalanan hidupnya adalah sebagai
berikut:
1.
Pada tahun 1927 HAMKA memulai karirnya
sebagai guru Agama di Perkebunan Medan dan guru Agama di Padang Panjang. 96
2.
Pendiri sekolah Tabligh School, yang
kemudian diganti namanya menjadi Kulliyyatul Muballighin (1934-1935).
Tujuan lembaga ini adalah menyiapkan mubaligh yang sanggup melaksanakan dakwah
dan menjadi khatib, mempersiapkan guru sekolah menengah tingkat Tsanawiyyah,
serta membentuk kader-kader pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan masyarakat pada
umumnya.
3.
Ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia
(1947), Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam
Pilihan Raya Umum (1955).
4.
Koresponden pelbagai majalah, seperti Pelita
Andalas (Medan), Seruan Islam (Tanjung Pura), Bintang Islam dan Suara
Muhammadiyah (Yogyakarta), Pemandangan dan Harian Merdeka (Jakarta).
5.
Pembicara Konggres Muhammadiyah ke 19 di Bukit
Tinggi (1930) dan konggres Muhammadiyah ke 20 (1931).
6.
Anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah
di Sumatera Tengah (1934).
7.
Pendiri Majalah al-Mahdi (Makassar, 1934)
8.
Pimpinan majalah Pedoman Masyarakat (Medan,
1936)
9.
Menjabat anggota Syu Sangi Kai atau
Dewan Perwakilan Rakyat pada pemerintahan Jepang (1944).
10. Ketua
konsul Muhammadiyah Sumatera Timur
(1949).
11. Pendiri majalah Panji Masyarakat (1959),
majalah ini dibrendel oleh pemerintah karna dengan tajam mengkritik konsep
demikrasi terpimpin dan memaparkan pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang
telah dilakukan Soekarno. Majalah ini diterbitkan kembali pada pemerintahan
Soeharto.
12. Memenuhi
undangan pemerintahan Amerika (1952), anggota komisi kebudayaan di Muangthai
(1953), menghadiri peringatan mangkatnya Budha ke-2500 di Burma (1954), di
lantik sebagai pengajar di Universitas Islam Jakarta pada tahun 1957 hingga
tahun 1958, di lantik menjadi Rektor perguruan tinggi Islam dan Profesor
Universitas Mustapo, Jakarta.Menghadiri Konferensi Islam di Lahore (1958),
menghadiri Konferensi Negara-negara Islam di Rabat (1968), Muktamar Masjid di
Makkah (1976), Seminar tentang Islam dan Peradapan di Kuala Lumpur, menghadiri
peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore, dan Konferensi ulama di Kairo
(1977), Badan pertimbangan kebudayaan kementerianPP dan K, Guru besar perguruan
tinggi Islam di Universitas Islam di Makassar.
13. Departemen Agama
pada masa KH Abdul Wahid Hasyim, Penasehat Kementerian Agama, Ketua Dewan
Kurator PTIQ.
14. Imam Masjid
Agung Kebayoran Baru Jakarta, yang kemudian namanya diganti oleh Rektor Universitas
Al-Azhar Mesir, Syaikh Mahmud Syaltut menjadi Masjid Agung Al-Azhar. Dalam
perkembangannya, Al-Azhar adalah pelopor sistem pendidikan Islam modern yang
punya cabang di berbagai kota dan daerah, serta menjadi inspirasi bagi
sekolah-sekolah modern berbasis Islam. Lewat mimbarnya di Al-Azhar, HAMKA
melancarkan kritik-kritiknya terhadap demokrasi terpimpin yang sedang
digalakkan oleh Soekarno Pasca Dekrit Presiden tahun 1959. Karena dianggap
berbahaya, HAMKA pun dipenjarakan Soekarno pada tahun 1964. Ia baru dibebaskan
setelah Soekarno runtuh dan orde baru lahir, tahun 1967. Tapi selama dipenjara
itu, HAMKA berhasil menyelesaikan sebuah karya monumental, Tafsir Al-Azhar 30
juz.
15. Ketua MUI (1975-1981), Buya HAMKA, dipilih
secara aklamasi dan tidak ada calon lain yang diajukan untuk menjabat sebagai
ketua umum dewan pimpinan MUI. Ia dipilih dalam suatu musyawarah, baik oleh
ulama maupun pejabat.[20]Namun
di tengah tugasnya, ia mundur dari jabatannya karna berseberangan prinsip
dengan pemerintah yang ada. Hal ini terjadi ketika menteri Agama, Alamsyah Ratu
Prawiranegara mengeluarkan fatwa diperbolehkannya umat Islam menyertai
peringatan natal bersama umat Nasrani dengan alasan menjaga kerukunan berAgama,
HAMKA secara tegas mengharamkan dan mengecam keputusan tersebut. Meskipun
pemerintah mendesak agar ia menarik fatwanya, ia tetap dalam pendiriannya.
Karena itu, pada tanggal 19 Mei 1981 ia memutuskan untuk melepaskan jabatannya
sebagai ketua MUI.
HAMKA sangat aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan
Muhammadiyah.Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk
melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang.Mulai
tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.Pada tahun
1929, HAMKA mendirikan Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun
kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar.Kemudian beliau
terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh
Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun
1946.Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di
Yogyakarta pada tahun 1950.[21]
Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat
Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti
Ali elantik HAMKA sebagai ketua umum
Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian meletak jabatan pada tahun 1981
karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
D.
Latar Belakang HAMKA
dengan Masjid Al-Azhar Jakarta
Upaya untuk menyadarkan masyarakat muslim dari keterbelakangan
tidak pernah berhenti. Upaya tersebut terlihat dari bebagai aktivitasnya di
Masjid Agung al-Azhar.Pada awalnya pembangunan Masjid al-Azhar adalah usaha
Masyumi Jakarta untuk mendirikan Yayasan Pesantren Islam (YPI).Yayasan ini
bertujuan untuk memberikan pindidikan modern pada anak-anak melalaui semacam “Pesantren
Modern” dalam arti seluas-luasnya serta meningkatkan mutu dan melaksanakan
syi’ar Islam. Operasionalisasi rencana pembangunan ini diserahkan pihak yayasan
kepada H. Ghozali Sahlan dan Abdullah Salim, sekaligus mencari figur sentral
dalam perencanaan dan pengembangan YPI. Kedua figur tersebut sama-sama memilih HAMKA
sebagai figur yang tepat untuk melaksanakan misi Yayasan Pesantren Isalam.[22]
Sebagai instusi baru, perkembangan Masjid al-Azhar bukan berarti
tanpa persoalan. Bagi masyarakat Betawi pada era 1950-an dan 1960-an, belum
bisa menerima keberadaan Masjid Modern dan imam orang dari Minang, apalagi
Muhammadiyah. Namun pada sisi lain muncul orang gedongan yang membawa pemikiran
modern yang terkadang agak “nyleneh”. Untuk mengatasi sosial itu, HAMKA
menghadapinya dengan simpatik. Usaha untuk memakmurkan Masjid al-Azhar, ia
memanfaatkan mahasiswa-mahasiswa yang berfikir dinamis. Mereka tinggal dibagian
yang telah disiapkan dibagian masjid.Disini mereka mulai melakukan kegiatan ke Agamaan
dan social, sehingga kemudian menarik simpati masyarakat sekitarnya. Melalui
al-azhar, ia mengembangkan dakwah dengan bentuk baru, diantaranya pada kesempatan
PHBI dan Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) di bawah pimpinan mayor Yunan Helmi
Nasution. Acara pementasan ini dilakukan di area terbuka, sehingga banyak pula
masyarakat yang menyaksikan pementasan tersebut. Model dakwah apresiatif gaya
baru ini mendapat perhatian kaum intelektual muslim dibeberapa kota. Sikap
positif model dakwah ini kemudian telah ikut terlaksananya seminar dakwah umat Islam
di Surabaya pada tanggal 23 Pebruari 1962.[23]
Disamping instusi keAgamaan, masjid al-Azhar ini memiliki beberapa
lembaga sosoal diantaranya:
1.
Lembaga
Pendidikan (Mulai TK Islam sampai perguruan Tinggi)
2.
Badan Pemuda,
secara berkala, badan ini menyelenggarakan pesantren kilat, seminar, diskusi,
olah raga dan kesenian.
3.
Badan
kesehatan. Badan ini menyelenggarakan dua kegiatan yaitu: poliklinik gigi dan
poliklinik umum yang melayani pengobatan para siswa, jemaah masjid, maupun
masyarakat umum.
4.
Akademi,
Kursus, dan Bimbingan masyarakat. Diantara kegiatan badan ini adalah mendirikan
akademi Bahasa Arab, Kursus Agama Islam, membaca Al-qur’an, manasik haji, dan
pendidikan kader muballig.[24]
Meskipun karismanya banyak mengundang decak kagum umat, namun ia
tetap tawadu’ terhadap pujian yang ditunjukkan kepadanya. Di samping sebagai
imam, ia merupakan penanggung jawab Masjid Agung al-Azhar. Amanat ini
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Bersama dengan pengurus lainnya, ia
berupaya melakukan berbagai aktivitas guna menjadikan istitusi ini menjadi
lembaga keAgamaan yang dinamis dan menarik perhatian masyarakat untuk datang ke
Masjid al-Azhar.[25]
Pendekatan ini ia lakukan daam upaya memakmurkan masjid dan
berupaya menjadikannya sebagai sentral kegiatan umat Islam. Di sini juga ia
berupaya menggeser pemahaman umat Islam bahwa masjid hanya diperuntukkan
sebagai ibadah, namun ditangannya masjid tidak hanya menjadi tempat ibadah
saja, namun dikemas dengan kegiatan lainnya yang Islami.[26]
E.
Karya-Karya
Buya HAMKA
Sebagai
seorang yang berpikiran maju, HAMKA tidak hanya merefleksikan kemerdekaan
berpikirnya melalui berbagai mimbar dalam cerama Agama, tetapi ia juga
menuangkannya dalam berbagai macam karyanya berbentuk tulisan. Orientasi
pemikirannya meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, tasawuf,
filsafat, pendidikan Islam, sejarah Islam, fiqh, sastra dan tafsir.Sebagai
penulis yang sangat produktif, HAMKA menulis puluhan buku yang tidak kurang
dari 103 buku. Beberapa di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut:
1. Tasawuf
modern (1983), pada awalnya, karyanya ini merupakan
kumpulan artikel yang dimuat dalam majalah Pedoman Masyarakat antara
tahun 1937-1937. Karena tuntutan masyarakat, kumpulan artikel tersebut kemudian
dibukukan. Dalam karya monumentalnya ini, ia memaparkan pembahasannya ke dalam
XII bab. Buku ini diawali dengan penjelasan mengenai tasawuf. Kemudian secara
berurutan dipaparkannya pula pendapat para ilmuwan tentang makna kebahagiaan,
bahagia dan Agama, bahagia dan utama, kesehatan jiwa dan badan, harta benda dan
bahagia, sifat qonaah, kebahagiaan yang dirasakan rosulullah, hubungan
ridho dengan keindahan alam, tangga bahagia, celaka, dan munajat kepada Allah.
Karyanya yang lain yang membicarakan tentang tasawuf adalah ”Tasawuf;
Perkembangan Dan Pemurniaannya”.
Buku
ini adalah gabungan dari dua karya yang pernah ia tulis, yaitu ”Perkembangan
Tasawuf Dari Abad Ke Abaddan ”Mengembalikan Tasawuf Pada Pangkalnya”.
2. Lembaga
Budi (1983). Buku ini ditulis pada tahun 1939 yang
terdiri dari XI bab. peMbicaraannya meliputi; budi yang mulia, sebab budi
menjadi rusak, penyakit budi, budi orang yang memegang pemerintahan,
budi mulia yang seyogyanya dimiliki oleh seorang raja (penguasa), budi
pengusaha, budi saudagar, budi pekerja, budi buku ini juga berisitentang
pemikiran HAMKA terhadap pendidikan Islam, termasuk pendidik.
3. Falsafah
Hidup (1950). Buku ini terdiri atas IX bab. Ia memulai
buku ini dengan pemaparan tentang makna kehidupan. Kemudian pada bab
berikutnya, dijelaskan pula tentang ilmu dan akal dalam berbagai aspek dan
dimensinya. Selanjutnya ia mengetengahkan tentang undang-undang alam atau sunnatullah.
Kemudian tentang adab kesopanan, baik secara vertikal maupun horizontal.
Selanjutnya makna kesederhanaan dan bagaimana cara hidup sederhana menurut Islam.
Ia juga mengomentari makna berani dan fungsinya bagi kehidupan manusia, selanjutnya
tentang keadilan dan berbagai dimensinya, makna persahabatan, serta bagaimana
mencari dan membina persahabatan. Buku ini diakhiri dengan membicarakan Islam
sebagai pembentuk hidup. Buku ini pun merupakan salah satu alat yang HAMKA
gunakan untuk mengekspresikan pemikirannya tentang pendidikan Islam.
4. Lembaga
Hidup (1962). Dalam bukunya ini, ia mengembangkan
pemikirannya dalam XII bab. Buku ini berisi tentang berbagai kewajiban
manusia kepada Allah, kewajiban manusia secara sosial, hak atas harta benda,
kewajiban dalam pandangan seorang muslim, kewajiban dalam keluarga, menuntut
ilmu, bertanah air, Islam dan politik, Al-Qur’an untuk zaman modern, dan
tulisan ini ditutup dengan memaparkan sosok nabi Muhammad. Selain Lembaga Budi
dan Falsafah Hidup, buku ini juga berisi tentang pendidikan secara tersirat.
5. Pelajaran
Agama Islam (1952). Buku ini terbagi dalam IX bab.
Pembahasannya meliputi; manusia dan Agama, dari sudut mana mencari Tuhan,
dan rukun iman.
6. Tafsir
Al-Azhar Juz 1-30. Tafsir Al-Azhar merupakan karyanya yang paling
monumental. Buku ini mulai ditulis pada tahun 1962. Sebagian besar isi
tafsir ini diselesaikan di dalam penjara, yaitu ketika ia menjadi tahanan
antara tahun 1964-1967. Ia memulai penulisan Tafsir Al-Azhar dengan terlebih
dahulu menjelaskan tentang I’jaz Al-Qur’an. Kemudian secara
berturut-turut dijelaskan tentang I’jaz
Al-Qur’an,
isi mukjizat Al-Qur’an, haluan tafsir, alasan penamaan tafsir Al-Azhar, dan
nikmat Illahi. Setelah memperkenalkan dasar-dasar untuk memahami tafsir, ia
baru mengupas tafsirnya secara panjang lebar.
7. Ayahku;
Riwayat Hidup Dr. Haji Amarullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1958).
Buku ini berisi tentang kepribadian dan
sepak terjang ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah atau sering disebut Haji Rosul. HAMKA melukiskan
perjuangan umat pada umumnya dan khususnya perjuangan ayahnya, yang oleh
Belanda diasingkan ke Sukabumi dan akhirnya meninggal dunia di Jakarta tanggal
2 Juni 1945.[27]
8. Kenang-kenangan
Hidup Jilid I-IV (1979). Buku ini merupakan autobiografi
HAMKA.
9. Islam
dan Adat Minangkabau (1984). Buku ini merupakan
kritikannya terhadap adat dan mentalitas masyarakatnya yang dianggapnya
tak sesuai dengan perkembangan zaman.
10.
Sejarah umat Islam Jilid
I-IV (1975). Buku ini merupakan upaya
untuk memaparkan secara rinci sejarah umat Islam, yaitu mulai dari Islam
era awal, kemajuan, dan kemunduran Islam pada abad pertengahan. Ia pun juga
menjelaskan tentang sejarah masuk dan perkembangan Islam di Indonesia.
11. Studi
Islam (1976), membicarakan tentang aspek politik dan kenegaraan
Islam. Pembicaraannya meliputi; syari’at Islam, studi Islam, dan perbandingan
antara hak-hak azasi manusia deklarasi PBB dan Islam.
12. Kedudukan
Perempuan dalam Islam (1973). Buku membahas
tentang perempuan sebagai makhluk Allah yang dimuliakan keberadaannya.[28]
13. Si
Sabariyah (1926), buku roman pertamanya yang ia tulis dalam bahasa
Minangkabau. Roman; Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1979), Di
Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Merantau Ke
Deli (1977), Terusir, Keadilan Illahi, Di Dalam Lembah
Kehidupan, Salahnya Sendiri, Tuan Direktur, Angkatan baru, Cahaya Baru, Cermin
Kehidupan.
14. Revolusi
pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Negara Islam,
Sesudah Naskah Renville, Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Dari Lembah
Cita-Cita, Merdeka, Islam Dan Demokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat, Menunggu
Beduk Berbunyi.
15. Di
Tepi Sungai Nyl,
16. Di
Tepi Sungai Daljah, (1950).
17. Mandi
Cahaya Di Tanah Suci,
18. Empat
Bulan Di Amerika, (2 jilid) 1953
19. Artikel
Lepas; Persatuan Islam, Bukti Yang Tepat, Majalah Tentara,Majalah Al-Mahdi,
Semangat Islam, Menara, Ortodox DanModernisme, Muhammadiyah di Minangkabau,
Lembaga Fatwa,Tajdid dan Mujadid, dan lain-lain.
20. Bohong
di Dunia. 1952.
21. Lembaga
Hikmat (1953).
22. Khotibul Ummah (3jilid)
ditulis dalam bahasa Arab.
23. Pembela Islam (sejarah Sayyidina
Abu Bakar Shidiq) (1929).
24. Adat dan Minangkabau dan Agama Islam (1929).
25. Ringkasan Tariks Umat Islam (1929).
26. kepentingan melakukan tabligh (1929).
27. Hikmat isra’ mi’raj (1930).
28. Arkanul islam(1930).
29. Laila Majnun (1932).
30. Mati Mangandung Malu (1934).
31. Di Bawah Lingkungan Ka’bah (1936).
32. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937).
33. Pedoman Mubaligh Islam (1937).
34. Tuan Direktur (1939).
35. Dijemput Mamaknya (1939).
36. Keadilan ilahi (1939).
37. Merantau ke deli (1940).
38. Terusir (1940).
39. Margaretta gautheir (terjemahan) 1940.
40. Majalah Semangat Islam (zaman jepang) (1943).
41. Majalaj Menara (1946).
42. Negara Islam (1946).
43. Islam dan Demokrasi (1946).
44. Revolusi Agama (1946).
45. Merdeka (1946).
46. Adat Menangkabau Mengalami Revolusi (1946).
47. Dibangtingkan Ombak Masyarakat (1946).
48. Didalam Lembah Cita Cita (1946).
49. Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman (1946).
50. Sesudah Naskah Renville (1947).
51. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret (1946).
52. Menunggu Beduk Berbunyi (1949).
53. Cemburu (1949).
54. Pribadi (1950).
55. Mandi Cahaya Ditanah Suci (1950).
56. Ditepi Sungai Dajlah (1950).
57. 1001 Soal Soal Hidup (1950).
58. Falsafah Ideologi Islam (1950).
59. Keadilan Sosial dalam Islam, (1950).
60. 1001 Persoalan Hidup, kumpulan
karangan dari pedoman masyarakat (1950).
61. Urat Tunggang Pancasila, (1952).
62. Pengaruh ajaran muhammad abduh di indonesia, pidado di cairo (1958) untuk meraih gelar Doctor Honoris Causa.
63. Soal Jawab (1960), disalin
dari karangan-karangan majalah gema islami.
64. Pandangan Hidup Muslim (1960).
65. Dari Perbendaharan Lama (1963).
66. Ekspansi Ideologi
(al-Ghaznul fikri) (1963).
67. Sayid Jamaluddin al-Afgani (1965).
68. Hak Asai Manusia dipandang dari Segi Islam (1968).
69. Fakta dan Khayal Tuaku Rao (1970).
70. Cita-Cita dalam Kenegaraan dalam Ajaran Islam (1968).
71. Islam dan Kebatinan (1972).
72. Himpunan Khutbah-Khutbah (1974).
73. Do’a Do’a Rasulullah SAW (1974).
74. Sejarah Islam di Sumatera
(1974).
[1] Abdul Haris, Etika
HAMKA Konstruksi Etika Berbasis Rasional Religius, (Yogyakarta: LKIS,
2010), hlm.ix.
[2] Ahmad Hakim
dan M. Thalhah, Politik, hlm.25.
[3] Syamsul Nizar,
Memperbincangkan, hlm.4
[4]
http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah
[5] Samsul Nizar, Membincangkan,
hlm.29
[6]M. Yunan, Ensiklopedi
Muhammadiyah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 136
[7]Samsul Nizar, memperbincangkan.,hlm.
44.
[8] HAMKA, kenang-kenangan
Hidup, jilid 1 (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hlm.9
[9]Meskipun dengan
berbagai adegan tontonan film yang beranekaragam yang terdiri dari nyanyian,
dansa, dan tiga perempuan telanjang, semuanya itu tidak membuat hatinya goyah.
Bahkan dari film-film itu ia mengambil hikmah dan pelajaran, bahwa film-film
yang sedemikian itu mempunyai mutu yang sangat rendah, sebab mereka hanya
menonjolkan seksuaitas dan tanpa seni yang bermutu. Untuk itu ia meminta
pemuda-pemuda untuk tidak menonton film tersebut, sebab ia menyebabkan penyakit
dan kebobrokan jiwa, terutama bila tidak dibarengi dengan keimanan yang kokoh.
Lihat, HAMKA, Kenang-kenangan Hidup, jilid 2 (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), hlm.113-5.
[10] HAMKA, Tasawuf
Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), hlm. xv
[11] Aminuddin
Rasyad, Hj. Rahmah el-Yunusiyah dan Zainuddin Labay; Dua Tokoh Pembaharu
Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Pengurus Perguruan Diniyah Putri Padang
panjang, 1991), hlm.185-195
[12] HAMKA, Kenang:
jilid 1, hlm.57
[13] Samsul Nizar, Mempertimbangkan,
hlm.22-24.
[14] HAMKA, Islam
dan Adat Minangkabau (Jakarta: Panjimas, 1984), hlm. 197.
[15] Damam
Rahardjo, Intelektual Intelegensia Dan Perilaku Bangsa. (Bandung: Mizan,
1996), hlm.202
[16] HAMKA, kenang-kenangan hidup 1, hlm.
101
[18] Abdurrahman Wahid,
Benarkah HAMKA Seorang Besar, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm.34.
[19] HAMKA, Kenang-Kenangan
Hidup 1..., hlm. 18
[20]HAMKA, Hamka di Mata Hati Umat,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 55.
[21] Ahmad Hakim,
M. Thalhah, Politik Bermoral Agama Tafsir Politik HAMKA..., hlm.31
[22] Nasir Tamar, HAMKA
di Mata Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), hlm.241
[23] Azumardi Azra,
Kenang-Kenangan Hidup, Jilid 1, hlm.
15
[24] Dewan redaksi
Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, jilid 1, hlm.206
[25] Azyumardi
Azra, Kenang-Kenangan Hidup, Jilid
1, hlm.20
[26] Rusydi, Pribadi
dan Martabat HAMKA, (Jakarta: Panjimas, 1983) hlm. 111
[27]Mif Baihaqi, Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan: Dari Abendanon Hingga Imam Zarkasyi, (Bandung: Nuansa,
2007), hlm. 62
[28]Samsul Nizar, memperbincangkan
Dinamika....,hlm. 47-57
[29] Badiatul
Roziqin dkk, 101, hlm. 191.
Tag :
HAMKA