Meretas Permasalahan Islam di Dunia

Syarat Guru Agama yang Ideal

Menjadi guru berdasarkan tuntutan hati nurani tidaklah semua orang dapat melakukannya, karena orang harus merelakan sebagian besar dari seluruh hidup dan kehidupannya mengabdi kepada negara dan bangsa guna mendidik anak didik menjadi manusia yang cakap, demokratis, bertanggung jawab atas pembangunan dirinya dan pembangunan bangsa dan negara.

Guru agama adalah pembimbing dan pengaruh yang bijaksana bagi anak didiknya, pencetak para tokoh dan pemimpin umat. Untuk itu para ulama dan tokoh pendidikan telah memformulasi syarat-syarat dan tugas guru agama. Berbagai syarat dan tugas guru agama tersebut diharapkan mencerminkan profil guru agama yang ideal yang diharapkan dalam pandangan Islam.


Menurut H. Mubangid bahwa syarat untuk menjadi pendidik/guru yaitu:
1.      Dia harus orang yang beragama
2.      Mampu bertanggung jawab atas kesejahteraan agama
3.      Dia tidak kalah dengan guru-guru sekolah umum lainnya dalam membentuk warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab atas kesejahteraan bangsa dan tanah air
4.      Dia harus memiliki perasaan panggilan murni (reoping)
5.      Dia harus mengerti ilmu mendidik sebaik-baiknya, sehingga tindakannya dalam mendidik disesuaikan dengan anak didiknya
6.      Dia harus memiliki bahasa yang baik dan menggunakannya sebaik mungkin sehingga dengan bahasa itu anak tertarik kepada pelajarannya, dan dapat menimbulkan perasaan yang halus pada anak
7.      Dia harus mencintai anak didiknya sebab dengan cinta senantiasa mengandung arti menghilangkan kepentingan diri sendiri untuk keperluan orang lain.

Menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati syarat-syarat menjadi guru dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1.      Umur harus dewasa
Agar mampu menjalankan tugas mendidik, pendidik seharusnya dewasa dulu. Batasan dewasa sangat relative, sesuai dengan segi peninjauannya
2.      Harus sehat jasmani dan rohani
Pendidik wajib sehat jasmani dan rohani. Jasmani tidak sehat menghambat jalannya pendidikan, bahkan dapat membahayakan bagi anak didik, misalnya apabila jasmani pendidik mengandung penyakit menular. Apabila dalam hal ini kejiwaan pendidik wajib normal kesehatannya, karena orang yang tidak sehat jiwanya tidak mungkin mampu bertanggung jawab.
3.      Harus mempunyai keahlian atau skill
Syarat mutlak yang menjamin berhasil baik bagi semua cabang pekerjaan adalah kecakapan atau keahlian pada para pelaksana itu. Proses pendidikan pun akan berhasil dengan baik bilamana para pendidik mempunyai keahlian, skill yang baik dan mempunyai kecakapan yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan tugasnya.
4.      Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi
Bagi pendidik kodrati maupun bagi pendidik pembantu tidak ada tuntutan dari luar mengenai kesusilaan dan dedikasi ini, meskipun hal ini penting. Yang harus ada adalah tuntutan dari dalam diri pendidik sendiri, untuk memiliki kesusilaan atau budi pekerti yang baik, dan mempunyai pengabdian yang tinggi. Hal ini adalah sebagai konsekuensi dari rasa tanggung jawabnya, agar mampu menjalankan tugasnya, mampu membimbing anak didik menjadi manusia susila, dan menjadi manusia yang bermoral.[1]  

Ada tokoh lain yang lain mengatakan bahwa syarat menjadi guru adalah bertakwa kepada Allah, berilmu, sehat jasmaniah, berakhlah baik, bertanggung jawab dan berjiwa nasional. Adapun kriteria akhlaq yang dituntut antara lain:

1.      Mencintai jabatannya sebagai guru
2.      ;!--[endif]-->Bersikap adil terhadap semua muridnya
3.      Guru harus wibawa
4.      Guru harus gembira
5.      Berlaku sabar dan tenang
6.      Guru harus bersifat manusiawi
7.      Bekerja sama dengan guru-guru lain
8.      Bekerja sama dengan masyarakat

Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang guru menurut Al-Kanani, yaitu sebagai berikut :
1.      Hendaknya guru senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam segala perkataan dan perbuatan, bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan oleh Allah kepadanya. Karenanya ia tidak boleh mengkhianati amanat itu, melainkan ia tunduk dan merendahkan diri kepada Allah.
2.      Hendaknya guru memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk pemeliharaannya ialah tidak mengajarkannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya, yaitu orang orang yang mencari ilmu untuk kepentingan dunia semata.
3.      Hendaknya guru berzuhud, artinya ia mengambil dari rezeki dunia hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan produk diri dan keluarganya secara sederhana, ia hendaknya tidak tamak terhadap kesenangan dunia, sebab sebagai orang yang berilmu ia lebih tahu ketimbang orang awam bahwa kesenangan itu tidak abadi.
4.      Hendaknya guru tidak berorientasi duniawi dalam menjalankan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta, prestise atau kebanggaan atas orang lain.
5.      Hendaknya guru menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara’. Hendaknya ia juga menjauhi situasi-stuasi yang bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan harga dirinya dimata orang banyak.
6.      Hendaknya guru memelihara syiar-syiar Islam, seperti menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar. Dalam melakukannya itu hendaknya ia bersabar dan tegar dalam menghadapi berbagai celaan dan cobaan.
7.      Guru hendaknya rajin melakukan hal-hal yang disunnahkan oleh agama, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan.
8.      Guru hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang banyak dan menghindarkan diri dari akhlak yang buruk.
9.      Guru hendakanya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hal-hal yang bermanfaat.
10.  Guru hendaknya selalu belajar dan tidak merasa malu untuk menerima ilmu dari orang yang lebih rendah daripadanya, baik kedudukan, keturunan ataupun usianya Said bin Jabir mengingatkan dalam sebuah syair dibawah ini :
11.  Guru hendaknya rajin meneliti, menyusun dan mengarang dengan memperhatikan ketrampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk ilmunya.[2]
Dari beberapa syarat guru yang telah dikemukakan oleh Al-Kanani, beliau telah memberikan batasan-batasan seorang guru yang harus senantiasa insyaf akan pengawasan Allah swt, dan dalam menjalankan tugas dan amanat tersebut hanya karena Allah semata. Di samping itu juga, guru harus bisa memberikan teladan yang baik kepada orang lain dan selalu untuk terus menambah ilmunya dengan melalui belajar atau mengadakan penelitian dalam menambah wawasan pengetahuannya.
Menurut Abdullah Ulwan berpendapat bahwa tugas guru adalah melaksanakan pendidikan ilmiah, karena ilmu mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan kepribadian dan emansipasi harkat manusia. Sebagai pemegang amanat orang tua dan sebagai salah satu pelaksana pendidikan Islam, guru agama tidak hanya bertugas memberikan pendidikan ilmiah saja, tetapi tugas guru agama hendaknya merupakan kelanjutan dan sinkron dengan tugas orang tua yang juga merupakan tugas pendidik muslim pada umumnya, yaitu memberi pendidikan yang berwawasan manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan Islam.
Sedangkan menurut Ahmad Tafsir bahwa tugas guru ada delapan macam diantaranya yaitu:
1.      Wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak didik dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui pergaulan dan lain sebagainya.
2.      Berusaha menolong peserta didik dalam mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan yang buruk agar tidak berkembang.
3.      Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, ketrampilan agar anak didik memilih dengan tepat.
4.      Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui perkembangan anak didik berjalan dengan baik
5.      Memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya.
6.      Guru harus memenuhi karakter murid.
7.      Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahlian, baik dalam bidang yang diajarkannya maupun cara mengajarkannya.
8.      Guru harus mengamalkan ilmu jangan berbuat lawanan dengan ilmu yang diajarkannya.[3] Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 129 dan Al-Imron 79 :
Artinya:
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rosul dari kalangan yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan hikmah serta mensucikan mereka (Q.S. Al-Baqarah: 129).[4]


Artinya:
Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, al-Hikmah, dan kenabin, lalu dia berkata kepada manusia, Hendaklah kamu menjadi hamba-hambaku, bukan hamba-hamba Allah_. Akan tetapi, (hendaknya berkata). Hendaklah menjadi orang-orang robbani (orang yang sepurna ilmu dan takwanya kepada Allah), karena kamu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya_. (Q.S. Ali-Imran 3:79).[5]

Berdasarkan firman Allah di atas Abdurrahman An-Nahlawi menyimpulkan bahwa tugas pokok guru agama dalam pandangan Islam adalah sebagai berikut:
1.      Tugas penyucian, guru agama hendaknya mengembangkan dan membersihkan jiwa anak didik agar dapat mendekatkan diri kepada Allah, menjauhkan diri dari keburukan dan menjaga atau memelihara agar tetap berada pada fitrah-Nya.
2.      Tugas pengajaran, guru agama hendaknya menyampaikan berbagai ilmu pengetahuan dan berbagai keyakinan kepada anak didik agar mereka menerapkan seluruh pengetahuan dan pengalamannya untuk diterjemahkan dalam tingkah laku dan kehidupannya sehari-hari.[6]

Dalam batasan lain tugas pendidik diterjemahkan dapat dijabarkan dalam beberapa pokok pikiran, yaitu:
1.      Sebagai pengajar (instraksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran, melaksanakan program dan yang terakhir adalah mengadakan penelitian terhadap program tersebut.
2.      Sebagai (educator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan kepribadian sempurna (insan kamil)
3.      Sebagai pemimpin (manajerial) yang memimpin mengendahkan diri (baik diri sendiri, peserta didik, maupun masyarakat). Upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrol dan pasifasi program yang dilakukan.

Dan menjadi Guru Agama Islam menurut Syaiful Bahri Djamarah harus memenuhi beberapa persyaratan di bawah ini:
1.      Taqwa kepada Allah SWT
Guru sesuai dengan tujuan Ilmu Pendidikan Islam, tidak mungkin mendidik anak didik agar bertaqwa kepada Allah SWT, jika ia sendiri tidak bertaqwa kepada-Nya, sebab ia adalah teladan bagi anak didiknya sebagaimana Rasulullah menjadi teladan bagi umatnya. Sejauh mana seorang guru mampu memberi teladan yang baik kepada semua anak didiknya, sejauh itu pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka menjadi penerus bangsa yang baik dan mulia. 
2.      Berilmu
Ijazah bukan semata-mata secarik kertas, tetapi suatu bukti bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan tertentu yang diperlukannya untuk suatu jabatan. Gurupun harus mempunyai ijazah agar ia diperbolehkan mengajar, kecuali dalam keadaan darurat, misalnya jumlah anak didik sangat meningkat sedang jumlah guru jauh dari mencukupi, maka terpaksa menyimpang untuk sementara yakni menerima guru yang belum berijazah. Tetapi dalam keadaan normal ada patokan bahwa makin tinggi pendidikan guru makin baik pendidikan dan pada gilirannya makin tinggi pula derajat masyarakat.
3.      Sehat Jasmani
Kesehatan jasmani keraplah dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk menjadi guru. Guru yang mengidap penyakit menular, umpamanya sangat membahayakan kesehatan anak didiknya. Di samping itu guru yang berpenyakit tidak akan bergairah mengajar. Kita kenal ucapan Mensana In Corporesano_, yang artinya dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat terkandung jiwa yang sehat. Walaupun pepatah itu tidak benar secara keseluruhan, akan tetapi kesehatan badan sangat mempengaruhi semangat bekerja. Guru yang sakit-sakitan kerap kali terpaksa absen dan tentunya merugikan anak didik.
4.      Berkelakuan Baik
Budi pekerti guru sangat penting dalam pendidikan watak anak didik. Guru harus menjadi tauladan, karena anak-anak bersifat suka meniru. Diantara tujuan pendidikan yaitu membentuk akhlak yang mulia pada diri pribadi anak didik dan ini hanya mungkin bisa dilakukan jika pribadi guru berakhlak mulia. Guru yang tidak berakhlak mulia tidak mungkin dipercaya untuk mendidik. Yang dimaksud dengan akhlak mulia dalam ilmu pendidikan Islam adalah akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti dicontohkan pendidik utama Nabi Muhammad saw :

 Diantara akhlak mulia guru tersebut adalah mencintai jabatannya sebagai guru, bersikap adil terhadap semua anak didiknya, berlaku sabar dan tenang, berwibawa, gembira, bersifat manusiawi, bekerja sama dengan guru yang lain serta bekerja sama dengan masyarakat_.[7]   
 
Maka secara sederhana tugas guru adalah mengarahkan dan membimbing para murid agar semakin meningkatkan pengetahuannya, semakin mahir ketrampilannya dan semakin terbina dan berkembang potensinya. Dalam hubungannya ini, ada sebagian ahli yang mengatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang mampu melaksanakan inspiring teaching, yaitu guru yang melalui kegiatan mengajarnya mampu mengilhami murid-muridnya. Melalui kegiatan mengajar yang dilakukan oleh seorang guru, mampu mendorong para siswa mampu mengemukakan gagasan-gagasan yang besar dari murid-muridnya.[8]

Dengan demikian tampaklah bahwa secara umum guru bertugas dan bertanggung jawab secara rasul, yaitu mengantarkan murid dan menjadikannya manusia terdidik yang mampu menjalankan tugas-tugas Ketuhanan. Ia tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran, tetapi bertanggung jawab pula memberikan wawasan kepada murid agar menjadi manusia yang mampu mengkaji keterbelakangan, mengggali ilmu pengetahuan dan menciptakan lingkungan yang menarik dan menyenangkan. Dengan demikian sebagai proses memanusiakan manusia, menurut adanya kesamaan arah dari seluruh unsur yang ada termasuk unsur pendidikannya.



[1] Drs, Hj. Nuruhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 1998, Hal. 76


[2] Heri Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999, Hal. 99-101


[4] Departemen Agama RI, Op.Cit., Hal 240.
[5] Ibid. Hal. 89.
[6] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, Hal. 44
[7] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Rhineka Cipta, Jakarta, Hal. 32-34
[8] Mukhtar Bukhari, Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan, Ikip Muhammadiyah Pers, Jakarta, 1994, Hal. 36

Tag : Pendidikan
Back To Top