Tinkgat korupsi di indonesia
menduduki tingkat rangking yang tinggi, pada tahun 2012 menduduki di nomor 100
dari 180 negara. Pada elemen lembaga rata-rata melakukan tindakan korupsi
sehingga mengundang banyak ide, solusi dan strategi pihak pemerintahan untuk
menanganinya.
Dalam hal ini NU ( Nadlatul
Ulama) selaku organisasi keislaman yang murni ikut andil menanganinya. Sekitar
bulan september kemarin melalui Musyawarah nasional (Konbes) Alim ulama dan
konferensi Besar Konbes) NU, yang menyatakan memberikan fatwa hukuman mati terhadap
pelaku tindakan korupsi. Fatwa tersebut diresmikan pada Bahtsul Masail Ad-Diniyah
Al-Waqi’iyah pada hari kedua pelaksanaan Munas alim ulama dan Konbes NU di
Pesantren Kempek, Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Kompas, 16/9).
Menurut apa yang dikemukakan oleh
NU bahwa hukuman mati kepada para koruptor akan memberikan efek jera pelakunya,
hukuman mati akan dijatuhkan kepada pelaku koruptor yang melakukan lebih dari
satu kali. Tentunya keputusan tersebut berseberangan dengan HAM dan menimbulkan
banyak kontroversi diantara pihak muslim terutama para pihak politikus.
Saya kira perhatian NU terhadap
kasus para koruptor sangat tepat, mengingat korupsi pada saat ini semakin
besar. Korupsi bukan dianggap persoalan yang luar biasa bahkan dianggap
kebiasaan dikalangan para politik, pendidikan, sosial dan lain. Akibat tindakan
korupsi tersebut rakyat semakin sengsara dan menderita baik dalam segi SDA dan
SDM.
Jika fatwa NU tersebut perlu
diterapkan, maka perlu melalui jalur yang tepat yaitu harus mengajukan undang-undang
kepada pihak pemerintahan tentang hukuman mati terhadap para koruptor. Karena NU
hanya memberikan fatwa bukan berhak memaksa untuk mengikuti aturan-aturan yang
dinyatakan.
Tapi ada yang kurang tepat dalam
fatwa tersebut, yaitu hukuman mati akan dijatuhkan kepada semua pihak tanpa
mengenal besaran tindakan korupsi yang dilakukan. Didalam al-qur’an saja
diberikan syarat untuk mencapai satu nisab.
Tag :
Writing Day