A. Latarbelakang
Permasalahan Teologi dan Mistisisme sangat mewarnai perkembangan sejarah islam diEra
Abbasyiah. Dimana masing-masing diantaranya membawa peradaban yang berbeda, akan
tetapi dibalik perkembangan peradaban tersebut tidak terlepaskan dari konflik
internal umat islam, terutama pada masa Bani Abbasyiah demi memperkokoh
kekuasaan khalifah pada saat itu.
Konflik terjadi
sebenarnya sangat dilatar belakangi oleh unsur politik karena system politik
pada Abbasyiah sangat berbeda dengan masa-masa yang sebelumnya sehingga dengan
latarbelakang politik itu para penguasa berambisi untuk menerapkan kekuasaannya
dengan jalan Teologi yang mengakibatkan terjadi berbagai macam politik
pengkafiran dan malapetaka orang-orang shaleh sebagaimana yang terjadi pada
Ahmad bin Hambal, Ahmad Al-Khaza’i, Imam Thabari, dan lain-lain.[1]
Disisi lain
pengaruh pemikiran diluar islam sangat mempengruhi arah pemikiran umat islam di
Era Abbasyiah. Hampir semua keilmuan dipengaruhi oleh yunani, Persia dan india.
Dampak dari hal tersebut ajaran islam tidak semurni yang diterapkan pada masa rasulallah,
sahabat dan tabi’in. Akibatnya pertikaian demi pertikaian semakin ketat.
Terutama dalam mistisisme menjadi perdebatan yang sangat heboh, dampak dari itu
hal tersebut para sufi kehilangan nyawanya demi memperkokoh ajarannya.[2]
B. Teologi
1.
Pengertian dan Awal Mula Munculnya Teologi
Teologi, berasal dari kata “Theos” artinya “Tuhan” dan
“logos” artinya “Ilmu”, jadi teologi adalah ilmu tentang ketuhanan. Dengan kata
lain yang dimaksud dengan teologi adalah pengetahuan tentang Tuhan dan manusia
dalam pertaliannya dengan Tuhan, baik disandarkan kepada wahyu (revealed
theology) maupun disandarkan pada penyelidikan akal pikiran (rational
theology). [4]
Awal mula munculnya istilah teologi tidak terlepas dari peristiwa perang Siffin yang berujung dengan Abirtase. Khawarij selaku kelompok yang tidak meenyetujui pelaksanaan Abirtase memberikan fatwa kepada semua pelaku abirtase sebagai seorang yang menyimpang dari ajaran agama bahkan di anggap kafir karena peristiwa abirtase tidak berdasarkan hukum Allah. Menurut para kalangan khawarij tidak ada aturan yang patut dipatuhi terkecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang memutuskan sesuatu tidak berdasarkan hukum tuhan berarti ia kafir dan wajib diperangi. Semboyan yang digunakan oleh khawarij adalah firman Allah La Hukma Illa Allah. Atas semboyan itulah para kalangan Khawarij dengan mudah memmbunuh dan memerangi orang-oang yang tidak sepaham dengan pendapatnya.[5]
Sebagaimana
yang dikatakan Harun Nasution peristiwa politik Abirtase telah mendorong
timbulnya persoalan-persoalan teologi. Permasalahan yang muncul pada masa itu
berupa Bagaimanakah kedudukan pelaku dosa besar, apakah iman itu cukup dengan
perkataan atau perbuatan.[6]
Kemudian sebagai
respon tehahadap fatwa khawarij munculah kelompok Murji’ah yang menentang pendapat
khawarij. Menurut murji’ah pelaku dosa besar masih tetap mukmin selama
mengucapkan dua kalimat syahadat. Masalah dosa besar diserahkan kepada Allah, manusia
tidak punya hak menghakimi. Selanjutnya kaum murji’ah dibagi menjadi dua
golongan, sepeti al-Jahmi’ah, al-Yunusiah,Al-Shalihiah, dan Al-Khasaniah.[7]
Pada
kelanjutannya pembicaraan teologi semakin kompleks tidak hanya terbatas pada
pelaku dosa besar, tapi lebih lanjut berkembang tentang takdir tuhan. Masalah
ini berkenaan dengan kedudukan tuhan, tuhan mahakuasa dan maha kehendak mutlak.
Kemudian munculah petanyaan apakah manusia sebagai mahkluk ciptaan tuhan
begantung kepada kehendak tuhan dalam menentukah hidupnya, dengan artian
manusia terikat dengan kehendak tuhan atau sebaliknya manusia mempunyai
kebebasan dan diberikan kemerdekaan dalam menjalani proses kehidupan. [8]
Dengan
perkembangannya masalah teologi ini munculah dua aliran dalam ilmu kalam yaitu
Qadariyah dan jabariah. Qadariyah aliran teologi yang menekankan kepada
kebebasan kehendak ( Free Wild and free Act), sebaliknya
Jabariyah lebih menekankan kepada keterikatan manusia dengan kehendak tuhan ( fatalism).[9]
2 2. Masuknya Pemikiran Yunani pada Teologi diera Abbasyiah
Pada permulaan abad
ke 8 muncullah aliran teologi yang baru yaitu mu’tazilah. Mu’tazilah adalah
sebuah aliran teologi yang didirikan oleh Washil bin atha’ dan temannya Amr Ibn
ubaid. Kata mu’tazilah sebenarnya ejekan saja bagi orang yang tidak menyukai
terhadap teori pikiran Washil akan tetapi pada
lanjutannya nama mutazilah
menjadi sebutan yang tidak bisa dilepaskan dari pemikiran washil dan temannya
untuk menyajikan konsep teologi.[10]
Aliran
mu’tazilah muncul pada ujung pemerintahan umayyah, akan tetapi perkembangan
mu’tazilah masih terbatas sehingga kurang berkecamuk dalam dunia politik
pemikiran, teologinyapun masih sangat sederhana. Pada masa Abbasyiah pemikiran
Aliran mu’tazilah banyak dipengaruhi oleh pemikiran yunani.[11]
Bahkan dapat dikatakan washil Bin Atha’ selaku pendiri Mu’tazilah kurang begitu
berperan dalam perkembangan pemikiran mu’tazilah pada selanjutnya.[12] Itu semua menunjukkan pemikiran yunani sangat
berperan besar dalam ilmu kalam.
Awalmula
masuknya interaksi pemikiran yunani dengan dunia teologi islam berawal dari
penerjemahan karya-karya yunani kedalam bahasa arab. Dimana orang-orang islam
setelah generasi al-Kindi lebih tertarik memakai konsep yunani untuk
digabungkan dengan teoligi yang mereka miliki. Satu orang yang sangat menonjol
adalah Hisyam Ibnu Hakam yang mula-mula tinggal di kufah dan kemudian di
baghdat dimana dia berhubungan erat dengan golongan Yahya Barmaki. Pada tahapan
selanjutnya Hisyam mempengaruhi
an-Nazzam selaku orang mu’tazilah. Pada saat yang sama di baqhdat
dipimpin oleh dirar yang sezaman dengan Hisyam. Paling tidak antara dirar dan
hisyam pernah berbantahan dalam pertemuan ruang Yahya Barmaki.[13]
Nampaknya dirar
mempunyai pemikiran yang subur tentang batas pemikiran yunani dan teologi
islam. Sekitar dua puluh tahun atau tiga puluh tahun kemudian muncul Bisri Al-Marisi dalam kalangan madzhab hanafi yang
terkenal sebagai pembela doktrin kemakhlukan Qur’an. Sebenarnya pencetus
pertama keterciptaannya Al-qur’an adalah Al-Ja’ad Ibn Dirham selaku guru marwan
Ibn Muhammad yang menyebabkan nyawanya hilang kemudian gagasannya tersebut
dilanjutkan oleh Al-Jahm Ibn Shafyan yang kemudian kemudian dimasukan dalam
bagian teologi Mu’tazilah.[14]Atas ajaran Dirar
yang berkembang dengan pesat tersebut, munculah generasi yang membawa
perkembangan pesat para ajaran Mu’tazilah pada kelanjutannya yaitu Abu Hudhail
(W. 840 M), An-Nazam, dan Bisri Ibnu
Mu’tamir (w. 825) . Ketiga orang inilah bisa dikatakan hadir bersama
orang-orang lain dalam suatu symposium [15]mengenai
cinta menurut model Socrates di rumah Yahya Barmaki, dan kemungkinan besar
tejadi pada tahun 803. Abu Hudhail, dianggap sebagai pemuka kaum Mu’tazilah
dari Bashra, An-Nazaam juga berada di Bashra dan memperlihatkan minatnya lebih
besar dari pada Ibnu Hudhail, Bisri Ibnu Mu’tamir adalah pemuka Mu’tazilah di
Baqhdat.[16]
Demikian pula
Sunni juga tidak terlepaskan dari pemikiran yunani, karena aliran sunni
merupakan pecahan dari Mu’tazilah yang serba rasionalis. Pemuka Sunni
Al-Asy’ari pernah mengikuti aliran
Mu’tazilah selama 40 tahun, mungkin saja benih-benih pemikiran yunani masih
melekat pada pemahaman Asy’ari pada kelanjutannya.
3 C. Pertikaian Politik
Teologi diera Abbasyiah
Ketika Abbasyiah melakukan evolusi
untuk menumpaskan Dinasti Umayyah, para pejuang Abbasyiah mengadakan pasukan
gabungan diantaranya dari kalangan Syi’ah, Khawarij dan Sunni. Pada saat
Abbasyiah berhasil mendapatkan kekuasaan dari tangan umayyah, masing-masing
pasukan gabungan tersebut mengingikan menyebarkan ajarannya melalui lembaga
Negara.
Kaum
Syi’ah memperoleh angin ketika di awal pemerintahan 'Abbasiyah dengan
diadopsinya paham ini sebagai paham negara dan dihembuskannya kembali paham
Imamah oleh penguasa untuk memperoleh dukungan yang luas terhadap pemerintahan
mereka. Hal ini berlangsung terus sampai pemerintahan Khalifah al-Mahdi
(775-785 M). Dan selama pemerintahan tersebut posisi Sunni benar-benar terjepit.
Kemudian sunni bangkit kembali pada kekuasaan Harun Al-Rosyid, dimana Harun
Al-Rasyid sangat menentang keterciptaan Al-Qur’an.[17]
Al-Ma’mun
selaku penerus khalifah Harun Al-Rasyid mengambil arah yang berbeda. Dalam
masalah teologi al-Ma’mun lebih tertarik terhadap Mu’tazilah karena mu’tazilah
lebih bersifat rasional sehingga Al-Ma’mun menjadikan Mu’tazilah sebagai Aliran
resmi Negara. Harapannya dengan menjadikan Mu’tazilah sebagai aliran resmi
Negara riset ilmu pengetahuan akan berkembang dengan pesat.[18]
Demi memperkokoh doktrinnya Al-Ma’mun membuat kebijakan untuk
meneliti para pejabat Negara seperti Qhadi, Hakim, dan Ulama. Peristiwa ini
disebut ini mihnah atau inkuisisi.
Pejabat-pejabat yang tidak sepaham dengan mu’tazilah akan dipecat.[19]
Para ulama yang tidak setuju dengan mu’atzilah akan disiksa sebagaimana yang
terjadi pada Ahmad Bin hambal. Mu’tasim
(833-843 M) sebagai pengganti Al-Ma’mun melanjutkan kebijakan Al-Ma’mun.
ia juga menghukum dan menyiksa para pakar ilmu pengetahuan agama apabila tidak
mengdeklarasikan ajaran mu’tazilah. Setelah Mu’tasim meninggal kedudukan khalifah
digantikan oleh al-Wathiq(842-847 M), peran Al-Wastiq dalam kebijakan mihnah
sama dengan khalifah sebelumnya yaitu melestarikan dan melanjutkan mihnah.[20]
Setelah al-Watsiq
meningal kekhalifaan dipegang oleh al-Mutawakil, pada kekahalifa’an
Al-Mutawakil inilah paham Mu’tazilah
mulai dijatuhkan dan digantikan dengan kalam Al-Asya’ari dan Al-Maturidi yang
di sebut Sunni, sementara paham Mu’tazilah semakin dikucilkan oleh masyarakat
bahkan para tokoh dimusuhi. Semua kitab-kitab yang mengadung paham Mu’tazilah
disita oleh Negara.[21]
Gerakan sunni
yang berada di bawah pimpinan Ahmad bin Hambal (164 242 H / 780 -855 M) makin
memperlihatkan pengaruhnya yang bertambah kuat terhadap khalifah al Mutawakkil.
Gerakan sunni ini bertujuan “memurnikan” kembali ajaran islam agar terbebas
dari campur aduk akal dan filsafat, seperti yang dianut oleh kaum salaf.[22]
Tapi pengaruh
yang begitu kuat tersebut sampai kelewat batas, ekstrim. Sehingga pada
tahun 851 M keluar dekrit dari khalifah, yang memerintahkan menghancurkan dan
perataan terhadap seluruh bangunan yang dimuliakan kaum Syi’ah. Termasuk makam
Hasan dan Husain di Karbala. Dekrti ini membangkitkan reaksi dan ketegangan yang
tiada terkira pada masa-masa berikutnya. Tetapi segala tantangan yang
menghambat telah disingkirkan.[23]
C. Mistisisme
1. Pengetian dan
Perkembangan Mistisisme
Di kalangan para intelektual barat istilah
tasawuf sering disebut sebagai “mistisisme” (mysticism). Ada
pula yang menyebutnya sufisme. [24]
kata sufisme merupakan istilah khusus mistisisme islam, sehingga kata
sufisme tidak ada pada mistisme agama-agama lain.[25]
Tentang pengertian tasawuf sendiri para ahli
tasawuf mengalami perbedaan pendapat dalam mendevinisikan Tasawuf, tergantung
sudut pandang yang mereka gunakan. Harun nasution mendevisikan tasawuf sebagai
tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang islam
dapat sedekat mungkin dengan Allah agar memperoleh hubungan kangsung dan
disadari dengan tuhan bahwa seorang betul-betul berada di hadirat tuhan.[26]
Jika awal mula munculnya ilmu kalam berawal
dari politik yang membawa dampak teolog.
Kemunculan tasawuf (Mistisisme) berawal dari kebutuhan manusia untuk
mendekatkan diri kepada tuhan sebagai jalan untuk memperbaiki akhak dan moral.
Awal mula munculnya kehidupan tasawuf
bermula dari Khalwat rasullah di gua Hira’ untuk memikirkan nasib
rakyatnya yang berada didalam kesesatan. Kemudian perilaku laku rasulalah yang
sangat menjadi tumpuan tauladan para sahabatnya. Dari situlah tasawuf kehidupan
semakin berkembang masa demi masa.[27]
Berkembangnya tasawuf tersebut tidak lepas dari
motivasi atau desakan oleh keadaan saat itu, terutama pada abad 9 ajaran
tasawuf semakin menyebar luas kesetiap penjuru. Dimana pada masa klassik 750-1250
M umat islam telah meraih kejayaan yang sangat luar biasa, tapi moral dan
akhlak mereka sangat rusak bahkan diantara mereka telah lalai tugasnya sebagai
khalifah Allah. Dengan krisis moral itulah sebagina umat islam menjauhi dari
yang menduniawi dan mengkonsentrasikan terhadap pendekatan kepada Allah karena
meditasi sebgai jalan yang tepat untuk memperbaiki moral mereka. Tapi tindakan
merekatelah melapaui batas, mereka asyik meditasi dan tidak menghiraukan
kehidupan soasial, ilmu pengetahuan, dan lain sehingga dari tindakan para sufi
tersebut tasawuf dianggap sebab penyebab hancurnya peradaban islam.[28]
Semakin berkembangnnamya tasawuf terutama pada
abad 13 M tasawuf membentuk organisasi yang dipimpin oleh para Musrsyid,
perkumpulan-perkumpulan organisasi tersebut lebih akrab disebut tarekat setiap
tarekat mempunyai nama tersendiri sesuai dengan pendiri tarekat tersebut.
Begitu pula dengan ajaran-ajaran tarekat berbeda-beda tergantung dari
pengalaman spiritual yang diperoleh para mursyid.
2. Kecenderungan Mistisisme Era Abbasyiah
Pada abad pertama dan kedua
hijriah, ajaran mistisisne cenderung bersifat asketik (zuhud). Sikap ini banyak dipandang
sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini dari kalangan muslim yang
lebih memusatkan dirinya pada ibadah dan tidak mementingkan kehidupan dunia.[29]
Pada abad pertama hijriyah ini
ajaran tasawuf dipraktekkan oleh para sahabat, kemudian untuk abad kedua hijriyah dipraktekan oleh para
tabi’in. Tokoh yang sangat popular sebagai seorang Asketik pada masa Tabi’in
adalah Hasan Basri (624-728 M) dengan ajaran Raja dan Khauf untuk mendekatkan
diri kepada Allah, Rabi’atul adawiyah (713-801 M) konsep ajarannya menggunakan
pendekatan Mahabbah.[30]
Dalam segi ajarannyapun pada abad pertama dan
kedua ini masih murni menganut konsep-konsep kehidupan rasullah yang bersandar
kepada al-Qur’an dan Al-Hadist, memang sewajarnya mempunyai pandangan demikian
karena umat islam pada waktu itu tidak berinteraksi dengan peradaban-peradaban
dengan Negara-negara lain, sehingga ajaran tasawuf masih murni.[31]
Mulai abad ke-3
dan ke-4 H terdapat dua kecenderungan para tokoh, sehingga
mengakibatkan ajaran mistisime terbagi menjadi 2 macam pendekatan, yaitu:
a.
Cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat
akhlak yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah Shirah Nabawaiyah (Tasawuf Sunni). Tasawwuf sunni ialah aliran
tasaawuf yang berusaha memadukan asapek hakekat dan syari’at, yang
senantiasa memelihara sifat kezuhudan dan mengkonsentrasikan pendekatan diri
kepada allah, dengan berusaha sungguh-sugguh berpegang teguh terhadap ajaran
al-Qur’an, Sunnah dan Shirah para sahabat. Dalam kehidupan sehari-hari para
pengamal tasawwuf ini berusaha untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat
keduniawian, jabatan, dan menjauhi hal-hal yang dapat mengganggu
kekhusua’an ibadahnya.[32]
Tokoh-tokoh
Tasawuf Sunni pada masa itu adalah Haris al- Muhasibi (Basra,165-Baghdad, 243
H). Beliau mengkaji dan mengajarkan disiplin diri (muhasabah). Pembicaraannya
yang lebih rinci tentang itu tertuang dalam karyanya ar-Ri’ayat li Huquq Allah (menjaga hak Allah) yang banyak
mempengaruhi al-Ghazali dalam menyusun karyanya, Ihya Ulum ad-Din (menghidupkan
ilmu agama). Disamping karya
tersebut, al-Muhasibi juga menulis Kitab al-Wasaya yang menyajikan ulasan tentang
zuhud. Dalam bukunya at-Tawahhum al-Muhasibi menyuguhkan kedahsyatan maut
dan hari pembalasan. Adapun
kehalusan dan kemurnian cinta ketuhanan ditulisnya
secara artistik di dalam Fasl fi al-Mahabbah (penjelasan tentang konsep cinta).[33]
Pada abad ini
tasawuf sunni kurang begitu berkembang, tasawuf sunni mendapat simpati yang
besar dari masyarakat sehingga pada saat itu tasawuf falsafi mencapai kejayaan.
Tasawuf falsafi yang sangat kontroversi dengan inti-inti ajaran islam yang
mengakibatkan vonis-vonis pembunuhan kepada para pemuka tasawuf falsafi,
mengakibatkan nilai negativ pada tasawuf itu sendiri. Disamping itu Al-Ghazali
berusaha keras untuk menyelamat akidah islam dari gangguan ajaran luar islam,
akhirnya pada Abad 5 H tasawuf sunni mencapai kesuksesannya.[34]
b.
Cenderung
pada kajian yang bersifat filsafat metafisika (Tasawuf Falsafi). Secara garis besar tasawuf falsafi adalah
tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis
dalam pengungkapannya yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang
telah mempengaruhi para tokohnya. Rata-rata para tokoh tasawuf falsafi dipengaruhi oleh pemikiran
yunani, india, dan Persia yang mengakibatkan mistisisme dalam islam bersifat
rasio.[35]
Adanya pemaduan antara filsafat dengan tasawuf pertama kali di motori oleh para filsuf muslim
yang pada saat itu mengalami helenisme pengetahuan. Misalnya filsuf muslim yang
terkenal yang membahas tentang Tuhan dengan mengunakan konsep-konsep
neo-plotinus ialah Al-Kindi, sehingga masuklah istilah-istilah Emanasi ( Pemancaran), Illuminasi,
( penerangan), agnosis (pengetahuan religius), ekstase (keadaan
diluar kesadaran diri) kedalam ajaran para sufi. Dan atas pegaruh al-kindi pulalah
melahirkan para sufi falsafi seperti Ibnu Arabi, disamping dipengaruhi oleh
al-Kindi juga Ibn masyarah, seorang sufi falsasi yang sangat terkenal di
Andalusia.[36]
Orang kedua yang mengombinasikan antara teori
filsafat dan tasawuf ialah Suhrawardi al-Maqtul yang berkembang di Persia atau
Iran. Masih banyak tokoh tasawwuf falsafi yang berkembang di Persia ini sepeti
al-Haljj (858-922M) dengan
konsep al-Hulul yakni perpaduan antara Mansusia dengan sifat-sifat tuhan. Perkembangan
puncak dari tasawuf falsafi, sebenarnya telah dicapai dalam konsepsi
al-wahdatul wujud sebagai karya pikir mistik Ibn Arabi (1165-1240M). Sebelum Ibn arabi muncul teorinya seorang
sufi penyair dari Mesir Ibn al-Faridh mengembangkan teori yang sama yaitu
al-wahdatasa-syuhud.[37]
Tokoh lainnya ialah Sirri as-Saqati, Abu Ali ar-Ruzbar, dan Abu
Zaidal-Adami. Disamping itu terdapat pula Abu Said al-Kharraz, al-Junaid
al-Bagdadi (wafat289 H) yang paling popular dan mempunyai analisis yang dalam
tentang tauhid dan fana Abu Yazid Al-Bustomi
(874-947 M) dengan ajaran fana’ Baga’, Al-Jilli (1365-1417 M) dengan
ajaran Insan Kamil.[38]
Tasawuf Falsafi yang mencapai puncak kejayaannya di
tangan al-Hallaj. Baru setelah al-Hallaj meninggal pada abad ke-5 H, Tasawuf Sunni mulai
mendapatkan tempat di hati masyarakat. Abad ke-5 H boleh dikatakan sebagai masa
kemunduran Tasawuf Falsafi dan
berjayanya Tasawuf Sunni, dengan tokoh-tokohnyaya itu Abu Qasim abdul Karim
al-Qusyairi (376-466 H), Abu Ismail Abdullah binMuhammad al-Ansari al-Harawi
(396-481 H) dan al-Ghazali (450-478 H).[39]
[1]Muhammed Yunis,
Politik Pengkafiran & Malapetaka Kaum Beriman: Sejarah-Politik-Ham,
(Pilar Media: Yoqyakarta, 2006), 21
[2]
Abdurahman
Abdul Khaliq dan Ihsan Ilahi Zhahir, Pemikiran Sufisme, ( Amzah: Yogyakarta, 2001), 50
[3]
Imam Fuadi, Sejarah
Peradaban Islam, (Teras: Yogyakarta, 2001), 135
[5] Supiana dan
Karman, Materi Pendidikan Islam, (Rosda: Bandung, 2008), 166.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Supiana dan
Karman, Materi Pendidikan Islam, Op.Cit, 169
[11] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2008), 57
[12] W. Montgomery
Wati, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Tiara
wacana: Joktakarta), 143
[13] Ibid,
[14] Muhammed Yunis, Politik Pengkafiran &
Malapetaka Kaum Beriman: Sejarah-Politik-Ham Op.Cit, 44
[15] Ibid., 140
[16] W. Montgomery
wati, Kejayaan Islam, Op.Cit, 142
[17] Muhammed
Yunis, Politik Pengkafiran & Malapetaka Kaum Beriman:
Sejarah-Politik-Ham, Op.Cit, 44
[18]
Ibid.,
46
[19] Fahsin M.
Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, (Artha rivera: Jakarta, 2009), 85
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Muhammed Yunis, Politik Pengkafiran &
Malapetaka Kaum Beriman: Sejarah-Politik-Ham, Op.Cit, 66
[25]
A. Mustafa. Akhlak Tasawuf, (Pustaska Setia: Bandung, 2007), 206
[26] Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, bulan Bintang,
1973, hlm. 57-58
[27] Supiana dan
Karman, Materi Pendidikan Islam, Op.Cit, 219
[28] Abudin Nata, Metodologi
Studi Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 285
[29] Rosihan Anwar,
Akhlak Tasawuf, ( Cv Pustaka
Setia: Bandung, 2009), 43-50
[30] Ibid.
[31] Abdillah F.
Hasan, Ensiklopedia Islam, (PT Ichtiar Baru Ven Hoeve : Jakarta, 2000),
79
[32] Ibid,93
[34] Mustafa, Akhlak
Tasawuf, ( CV Pustaka Setia: Bandung, 2007), 228
[35] Supiana dan
Karman, Materi Pendidikan Islam, Op.Cit, 167
[36] Abdurahman
Abdul Khaliq dan Ihsan Ilahi Zhahir, Pemikiran Sufisme, Op.Cit, 49
[37] http://rokimgd.wordpress.com/2011/03/30/tasawuf-sunni-vs-falsafi/ diakses pada
09-11-2012 Pukul 23.30 WIB
[38] Abdillah F. Hasan, Ensiklopedia Islam,
Op.Cit, 102
[39] Ibid.,103
Tag :
Sejarah