Meretas Permasalahan Islam di Dunia

Teologi dan Mistisisme Era Abbasyiah




A. Latarbelakang

Permasalahan Teologi dan Mistisisme sangat mewarnai perkembangan sejarah islam diEra Abbasyiah. Dimana masing-masing diantaranya membawa peradaban yang berbeda, akan tetapi dibalik perkembangan peradaban tersebut tidak terlepaskan dari konflik internal umat islam, terutama pada masa Bani Abbasyiah demi memperkokoh kekuasaan khalifah pada saat itu.

Konflik terjadi sebenarnya sangat dilatar belakangi oleh unsur politik karena system politik pada Abbasyiah sangat berbeda dengan masa-masa yang sebelumnya sehingga dengan latarbelakang politik itu para penguasa berambisi untuk menerapkan kekuasaannya dengan jalan Teologi yang mengakibatkan terjadi berbagai macam politik pengkafiran dan malapetaka orang-orang shaleh sebagaimana yang terjadi pada Ahmad bin Hambal, Ahmad Al-Khaza’i, Imam Thabari, dan lain-lain.[1]


Disisi lain pengaruh pemikiran diluar islam sangat mempengruhi arah pemikiran umat islam di Era Abbasyiah. Hampir semua keilmuan dipengaruhi oleh yunani, Persia dan india. Dampak dari hal tersebut ajaran islam tidak semurni yang diterapkan pada masa rasulallah, sahabat dan tabi’in. Akibatnya pertikaian demi pertikaian semakin ketat. Terutama dalam mistisisme menjadi perdebatan yang sangat heboh, dampak dari itu hal tersebut para sufi kehilangan nyawanya demi memperkokoh ajarannya.[2]

B. Teologi
1.    Pengertian dan Awal Mula Munculnya Teologi
Teologi, berasal dari kata “Theos” artinya “Tuhan” dan “logos” artinya “Ilmu”, jadi teologi adalah ilmu tentang ketuhanan. Dengan kata lain yang dimaksud dengan teologi adalah pengetahuan tentang Tuhan dan manusia dalam pertaliannya dengan Tuhan, baik disandarkan kepada wahyu (revealed theology) maupun disandarkan pada penyelidikan akal pikiran (rational theology). [4] 

Awal mula munculnya istilah teologi tidak terlepas dari  peristiwa perang Siffin yang berujung dengan Abirtase. Khawarij selaku kelompok yang tidak meenyetujui pelaksanaan Abirtase memberikan fatwa kepada  semua pelaku abirtase sebagai seorang yang menyimpang dari ajaran agama bahkan di anggap kafir karena peristiwa abirtase tidak berdasarkan hukum Allah. Menurut para kalangan khawarij tidak ada aturan yang patut dipatuhi terkecuali Al-Qur’an,  barangsiapa yang memutuskan sesuatu  tidak berdasarkan hukum tuhan berarti ia kafir dan wajib diperangi.  Semboyan yang digunakan oleh khawarij adalah firman Allah La Hukma Illa Allah. Atas semboyan itulah para kalangan Khawarij dengan mudah memmbunuh dan memerangi orang-oang yang tidak sepaham dengan pendapatnya.[5]

Sebagaimana yang dikatakan Harun Nasution peristiwa politik Abirtase telah mendorong timbulnya persoalan-persoalan teologi. Permasalahan yang muncul pada masa itu berupa Bagaimanakah kedudukan pelaku dosa besar, apakah iman itu cukup dengan perkataan atau perbuatan.[6]

Kemudian sebagai respon tehahadap fatwa khawarij munculah kelompok Murji’ah yang menentang pendapat khawarij. Menurut murji’ah pelaku dosa besar masih tetap mukmin selama mengucapkan dua kalimat syahadat. Masalah dosa besar diserahkan kepada Allah, manusia tidak punya hak menghakimi. Selanjutnya kaum murji’ah dibagi menjadi dua golongan, sepeti al-Jahmi’ah, al-Yunusiah,Al-Shalihiah, dan Al-Khasaniah.[7]

Pada kelanjutannya pembicaraan teologi semakin kompleks tidak hanya terbatas pada pelaku dosa besar, tapi lebih lanjut berkembang tentang takdir tuhan. Masalah ini berkenaan dengan kedudukan tuhan, tuhan mahakuasa dan maha kehendak mutlak. Kemudian munculah petanyaan apakah manusia sebagai mahkluk ciptaan tuhan begantung kepada kehendak tuhan dalam menentukah hidupnya, dengan artian manusia terikat dengan kehendak tuhan atau sebaliknya manusia mempunyai kebebasan dan diberikan kemerdekaan dalam menjalani proses kehidupan. [8]

Dengan perkembangannya masalah teologi ini munculah dua aliran dalam ilmu kalam yaitu Qadariyah dan jabariah. Qadariyah aliran teologi yang menekankan kepada kebebasan kehendak ( Free Wild and free Act), sebaliknya Jabariyah lebih menekankan kepada keterikatan manusia dengan kehendak tuhan ( fatalism).[9]

2   2. Masuknya Pemikiran Yunani pada Teologi diera Abbasyiah
Pada permulaan abad ke 8 muncullah aliran teologi yang baru yaitu mu’tazilah. Mu’tazilah adalah sebuah aliran teologi yang didirikan oleh Washil bin atha’ dan temannya Amr Ibn ubaid. Kata mu’tazilah sebenarnya ejekan saja bagi orang yang tidak menyukai terhadap teori pikiran Washil akan tetapi pada  lanjutannya  nama mutazilah menjadi sebutan yang tidak bisa dilepaskan dari pemikiran washil dan temannya untuk menyajikan konsep teologi.[10]

Aliran mu’tazilah muncul pada ujung pemerintahan umayyah, akan tetapi perkembangan mu’tazilah masih terbatas sehingga kurang berkecamuk dalam dunia politik pemikiran, teologinyapun masih sangat sederhana. Pada masa Abbasyiah pemikiran Aliran mu’tazilah banyak dipengaruhi oleh pemikiran yunani.[11] Bahkan dapat dikatakan washil Bin Atha’ selaku pendiri Mu’tazilah kurang begitu berperan dalam perkembangan pemikiran mu’tazilah pada selanjutnya.[12]  Itu semua menunjukkan pemikiran yunani sangat berperan besar dalam ilmu kalam.

Awalmula masuknya interaksi pemikiran yunani dengan dunia teologi islam berawal dari penerjemahan karya-karya yunani kedalam bahasa arab. Dimana orang-orang islam setelah generasi al-Kindi lebih tertarik memakai konsep yunani untuk digabungkan dengan teoligi yang mereka miliki. Satu orang yang sangat menonjol adalah Hisyam Ibnu Hakam yang mula-mula tinggal di kufah dan kemudian di baghdat dimana dia berhubungan erat dengan golongan Yahya Barmaki. Pada tahapan selanjutnya Hisyam mempengaruhi  an-Nazzam selaku orang mu’tazilah. Pada saat yang sama di baqhdat dipimpin oleh dirar yang sezaman dengan Hisyam. Paling tidak antara dirar dan hisyam pernah berbantahan dalam pertemuan ruang Yahya Barmaki.[13]

Nampaknya dirar mempunyai pemikiran yang subur tentang batas pemikiran yunani dan teologi islam. Sekitar dua puluh tahun atau tiga puluh tahun kemudian muncul Bisri  Al-Marisi dalam kalangan madzhab hanafi yang terkenal sebagai pembela doktrin kemakhlukan Qur’an. Sebenarnya pencetus pertama keterciptaannya Al-qur’an adalah Al-Ja’ad Ibn Dirham selaku guru marwan Ibn Muhammad yang menyebabkan nyawanya hilang kemudian gagasannya tersebut dilanjutkan oleh Al-Jahm Ibn Shafyan yang kemudian kemudian dimasukan dalam bagian teologi Mu’tazilah.[14]Atas ajaran Dirar yang berkembang dengan pesat tersebut, munculah generasi yang membawa perkembangan pesat para ajaran Mu’tazilah pada kelanjutannya yaitu Abu Hudhail (W. 840 M), An-Nazam, dan  Bisri Ibnu Mu’tamir (w. 825) . Ketiga orang inilah bisa dikatakan hadir bersama orang-orang lain dalam suatu symposium [15]mengenai cinta menurut model Socrates di rumah Yahya Barmaki, dan kemungkinan besar tejadi pada tahun 803. Abu Hudhail, dianggap sebagai pemuka kaum Mu’tazilah dari Bashra, An-Nazaam juga berada di Bashra dan memperlihatkan minatnya lebih besar dari pada Ibnu Hudhail, Bisri Ibnu Mu’tamir adalah pemuka Mu’tazilah di Baqhdat.[16]
Demikian pula Sunni juga tidak terlepaskan dari pemikiran yunani, karena aliran sunni merupakan pecahan dari Mu’tazilah yang serba rasionalis. Pemuka Sunni Al-Asy’ari  pernah mengikuti aliran Mu’tazilah selama 40 tahun, mungkin saja benih-benih pemikiran yunani masih melekat pada pemahaman Asy’ari pada kelanjutannya.

3    C. Pertikaian Politik Teologi  diera Abbasyiah
Ketika Abbasyiah melakukan evolusi untuk menumpaskan Dinasti Umayyah, para pejuang Abbasyiah mengadakan pasukan gabungan diantaranya dari kalangan Syi’ah, Khawarij dan Sunni. Pada saat Abbasyiah berhasil mendapatkan kekuasaan dari tangan umayyah, masing-masing pasukan gabungan tersebut mengingikan menyebarkan ajarannya melalui lembaga Negara.

Kaum Syi’ah memperoleh angin ketika di awal pemerintahan 'Abbasiyah dengan diadopsinya paham ini sebagai paham negara dan dihembuskannya kembali paham Imamah oleh penguasa untuk memperoleh dukungan yang luas terhadap pemerintahan mereka. Hal ini berlangsung terus sampai pemerintahan Khalifah al-Mahdi (775-785 M). Dan selama pemerintahan tersebut posisi Sunni benar-benar terjepit. Kemudian sunni bangkit kembali pada kekuasaan Harun Al-Rosyid, dimana Harun Al-Rasyid sangat menentang keterciptaan Al-Qur’an.[17]

Al-Ma’mun selaku penerus khalifah Harun Al-Rasyid mengambil arah yang berbeda. Dalam masalah teologi al-Ma’mun lebih tertarik terhadap Mu’tazilah karena mu’tazilah lebih bersifat rasional sehingga Al-Ma’mun menjadikan Mu’tazilah sebagai Aliran resmi Negara. Harapannya dengan menjadikan Mu’tazilah sebagai aliran resmi Negara riset ilmu pengetahuan akan berkembang dengan pesat.[18]

 Demi memperkokoh  doktrinnya Al-Ma’mun membuat kebijakan untuk meneliti para pejabat Negara seperti Qhadi, Hakim, dan Ulama. Peristiwa ini disebut ini mihnah atau inkuisisi.  Pejabat-pejabat yang tidak sepaham dengan mu’tazilah akan dipecat.[19] Para ulama yang tidak setuju dengan mu’atzilah akan disiksa sebagaimana yang terjadi pada Ahmad Bin hambal. Mu’tasim  (833-843 M) sebagai pengganti Al-Ma’mun melanjutkan kebijakan Al-Ma’mun. ia juga menghukum dan menyiksa para pakar ilmu pengetahuan agama apabila tidak mengdeklarasikan ajaran mu’tazilah. Setelah Mu’tasim meninggal kedudukan khalifah digantikan oleh al-Wathiq(842-847 M), peran Al-Wastiq dalam kebijakan mihnah sama dengan khalifah sebelumnya yaitu melestarikan dan melanjutkan mihnah.[20]

Setelah al-Watsiq meningal kekhalifaan dipegang oleh al-Mutawakil, pada kekahalifa’an Al-Mutawakil inilah  paham Mu’tazilah mulai dijatuhkan dan digantikan dengan kalam Al-Asya’ari dan Al-Maturidi yang di sebut Sunni, sementara paham Mu’tazilah semakin dikucilkan oleh masyarakat bahkan para tokoh dimusuhi. Semua kitab-kitab yang mengadung paham Mu’tazilah disita oleh Negara.[21]

Gerakan sunni yang berada di bawah pimpinan Ahmad bin Hambal (164 242 H / 780 -855 M) makin memperlihatkan pengaruhnya yang bertambah kuat terhadap khalifah al Mutawakkil. Gerakan sunni ini bertujuan “memurnikan” kembali ajaran islam agar terbebas dari campur aduk akal dan filsafat, seperti yang dianut oleh kaum salaf.[22]

Tapi pengaruh yang begitu kuat tersebut sampai kelewat batas, ekstrim. Sehingga pada tahun 851 M keluar dekrit dari khalifah, yang memerintahkan menghancurkan dan perataan terhadap seluruh bangunan yang dimuliakan kaum Syi’ah. Termasuk makam Hasan dan Husain di Karbala. Dekrti ini membangkitkan reaksi dan ketegangan yang tiada terkira pada masa-masa berikutnya. Tetapi segala tantangan yang menghambat telah disingkirkan.[23]

C. Mistisisme
1. Pengetian dan Perkembangan Mistisisme
Di kalangan para intelektual barat istilah tasawuf sering disebut sebagai “mistisisme” (mysticism). Ada pula yang menyebutnya sufisme. [24] kata sufisme merupakan istilah khusus mistisisme islam, sehingga kata sufisme tidak ada pada mistisme agama-agama lain.[25] 

Tentang pengertian tasawuf sendiri para ahli tasawuf mengalami perbedaan pendapat dalam mendevinisikan Tasawuf, tergantung sudut pandang yang mereka gunakan. Harun nasution mendevisikan tasawuf sebagai tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang islam dapat sedekat mungkin dengan Allah agar memperoleh hubungan kangsung dan disadari dengan tuhan bahwa seorang betul-betul berada di hadirat tuhan.[26]

Jika awal mula munculnya ilmu kalam berawal dari politik  yang membawa dampak teolog. Kemunculan tasawuf (Mistisisme) berawal dari kebutuhan manusia untuk mendekatkan diri kepada tuhan sebagai jalan untuk memperbaiki akhak dan moral. Awal mula munculnya kehidupan  tasawuf  bermula dari Khalwat rasullah di gua Hira’ untuk memikirkan nasib rakyatnya yang berada didalam kesesatan. Kemudian perilaku laku rasulalah yang sangat menjadi tumpuan tauladan para sahabatnya. Dari situlah tasawuf kehidupan semakin berkembang masa demi masa.[27]

Berkembangnya tasawuf tersebut tidak lepas dari motivasi atau desakan oleh keadaan saat itu, terutama pada abad 9 ajaran tasawuf semakin menyebar luas kesetiap penjuru. Dimana pada masa klassik 750-1250 M umat islam telah meraih kejayaan yang sangat luar biasa, tapi moral dan akhlak mereka sangat rusak bahkan diantara mereka telah lalai tugasnya sebagai khalifah Allah. Dengan krisis moral itulah sebagina umat islam menjauhi dari yang menduniawi dan mengkonsentrasikan terhadap pendekatan kepada Allah karena meditasi sebgai jalan yang tepat untuk memperbaiki moral mereka. Tapi tindakan merekatelah melapaui batas, mereka asyik meditasi dan tidak menghiraukan kehidupan soasial, ilmu pengetahuan, dan lain sehingga dari tindakan para sufi tersebut tasawuf dianggap sebab penyebab hancurnya peradaban islam.[28]

Semakin berkembangnnamya tasawuf terutama pada abad 13 M tasawuf membentuk organisasi yang dipimpin oleh para Musrsyid, perkumpulan-perkumpulan organisasi tersebut lebih akrab disebut tarekat setiap tarekat mempunyai nama tersendiri sesuai dengan pendiri tarekat tersebut. Begitu pula dengan ajaran-ajaran tarekat berbeda-beda tergantung dari pengalaman spiritual yang diperoleh para mursyid.

2.  Kecenderungan Mistisisme Era Abbasyiah
Pada abad pertama dan kedua hijriah, ajaran mistisisne cenderung bersifat  asketik (zuhud). Sikap ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah dan tidak mementingkan kehidupan dunia.[29]

Pada abad pertama hijriyah ini ajaran tasawuf dipraktekkan oleh para sahabat, kemudian untuk  abad kedua hijriyah dipraktekan oleh para tabi’in. Tokoh yang sangat popular sebagai seorang Asketik pada masa Tabi’in adalah Hasan Basri (624-728 M)  dengan ajaran  Raja dan Khauf untuk mendekatkan diri kepada Allah, Rabi’atul adawiyah (713-801 M) konsep ajarannya menggunakan pendekatan Mahabbah.[30]

Dalam segi ajarannyapun pada abad pertama dan kedua ini masih murni menganut konsep-konsep kehidupan rasullah yang bersandar kepada al-Qur’an dan Al-Hadist, memang sewajarnya mempunyai pandangan demikian karena umat islam pada waktu itu tidak berinteraksi dengan peradaban-peradaban dengan Negara-negara lain, sehingga ajaran tasawuf masih murni.[31]

Mulai abad ke-3 dan ke-4 H terdapat dua kecenderungan para tokoh, sehingga mengakibatkan ajaran mistisime terbagi menjadi 2 macam pendekatan, yaitu:
a.         Cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat akhlak yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah Shirah Nabawaiyah  (Tasawuf Sunni). Tasawwuf sunni ialah aliran tasaawuf  yang berusaha memadukan asapek hakekat dan syari’at,  yang senantiasa memelihara sifat kezuhudan dan mengkonsentrasikan pendekatan diri kepada allah, dengan berusaha sungguh-sugguh berpegang teguh terhadap ajaran al-Qur’an, Sunnah dan Shirah para sahabat. Dalam kehidupan sehari-hari para pengamal tasawwuf ini berusaha untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat keduniawian, jabatan, dan menjauhi hal-hal yang  dapat mengganggu kekhusua’an ibadahnya.[32]
Tokoh-tokoh Tasawuf Sunni pada masa itu adalah Haris al- Muhasibi (Basra,165-Baghdad, 243 H). Beliau mengkaji dan mengajarkan disiplin diri (muhasabah). Pembicaraannya yang lebih rinci tentang itu tertuang dalam karyanya ar-Ri’ayat li Huquq Allah (menjaga hak Allah) yang banyak mempengaruhi al-Ghazali dalam menyusun karyanya, Ihya Ulum ad-Din (menghidupkan ilmu agama). Disamping karya tersebut, al-Muhasibi juga menulis Kitab al-Wasaya yang menyajikan ulasan tentang zuhud. Dalam bukunya at-Tawahhum al-Muhasibi menyuguhkan kedahsyatan maut dan hari pembalasan.  Adapun kehalusan dan kemurnian cinta ketuhanan ditulisnya secara artistik di dalam Fasl fi al-Mahabbah (penjelasan tentang konsep cinta).[33]
Pada abad ini tasawuf sunni kurang begitu berkembang, tasawuf sunni mendapat simpati yang besar dari masyarakat sehingga pada saat itu tasawuf falsafi mencapai kejayaan. Tasawuf falsafi yang sangat kontroversi dengan inti-inti ajaran islam yang mengakibatkan vonis-vonis pembunuhan kepada para pemuka tasawuf falsafi, mengakibatkan nilai negativ pada tasawuf itu sendiri. Disamping itu Al-Ghazali berusaha keras untuk menyelamat akidah islam dari gangguan ajaran luar islam, akhirnya pada Abad 5 H tasawuf sunni mencapai kesuksesannya.[34]

b.        Cenderung pada kajian yang bersifat filsafat metafisika (Tasawuf Falsafi).  Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. Rata-rata para tokoh tasawuf falsafi dipengaruhi oleh pemikiran yunani, india, dan Persia yang mengakibatkan mistisisme dalam islam bersifat rasio.[35]
Adanya pemaduan antara filsafat dengan tasawuf  pertama kali di motori oleh para filsuf muslim yang pada saat itu mengalami helenisme pengetahuan. Misalnya filsuf muslim yang terkenal yang membahas tentang Tuhan dengan mengunakan konsep-konsep neo-plotinus ialah Al-Kindi, sehingga masuklah istilah-istilah  Emanasi ( Pemancaran), Illuminasi, ( penerangan), agnosis (pengetahuan religius), ekstase (keadaan diluar kesadaran diri) kedalam ajaran  para sufi. Dan atas pegaruh al-kindi pulalah melahirkan para sufi falsafi seperti Ibnu Arabi, disamping dipengaruhi oleh al-Kindi juga Ibn masyarah, seorang sufi falsasi yang sangat terkenal di Andalusia.[36]
Orang kedua yang mengombinasikan antara teori filsafat dan tasawuf ialah Suhrawardi al-Maqtul yang berkembang di Persia atau Iran. Masih banyak tokoh tasawwuf falsafi yang berkembang di Persia ini sepeti al-Haljj (858-922M) dengan konsep al-Hulul yakni perpaduan antara Mansusia dengan sifat-sifat tuhan. Perkembangan puncak dari tasawuf falsafi, sebenarnya telah dicapai dalam konsepsi al-wahdatul wujud sebagai karya pikir mistik Ibn Arabi (1165-1240M). Sebelum Ibn arabi muncul teorinya seorang sufi penyair dari Mesir Ibn al-Faridh mengembangkan teori yang sama yaitu al-wahdatasa-syuhud.[37]
Tokoh lainnya ialah Sirri as-Saqati, Abu Ali ar-Ruzbar, dan Abu Zaidal-Adami. Disamping itu terdapat pula Abu Said al-Kharraz, al-Junaid al-Bagdadi (wafat289 H) yang paling popular dan mempunyai analisis yang dalam tentang tauhid dan fana Abu Yazid Al-Bustomi (874-947 M) dengan ajaran fana’ Baga’, Al-Jilli (1365-1417 M) dengan ajaran Insan Kamil.[38]
Tasawuf  Falsafi yang mencapai puncak kejayaannya di tangan al-Hallaj. Baru setelah al-Hallaj meninggal pada abad ke-5 H,  Tasawuf Sunni mulai mendapatkan tempat di hati masyarakat. Abad ke-5 H boleh dikatakan sebagai masa kemunduran Tasawuf  Falsafi dan berjayanya Tasawuf Sunni, dengan tokoh-tokohnyaya itu Abu Qasim abdul Karim al-Qusyairi (376-466 H), Abu Ismail Abdullah binMuhammad al-Ansari al-Harawi (396-481 H) dan al-Ghazali (450-478 H).[39]


[1]Muhammed Yunis, Politik Pengkafiran & Malapetaka Kaum Beriman: Sejarah-Politik-Ham, (Pilar Media: Yoqyakarta, 2006),   21
[2] Abdurahman Abdul Khaliq dan Ihsan Ilahi Zhahir, Pemikiran Sufisme,  ( Amzah: Yogyakarta, 2001), 50
[3] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, (Teras: Yogyakarta, 2001), 135

[5] Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Islam, (Rosda: Bandung, 2008), 166.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Islam, Op.Cit, 169
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,  (Raja Grafindo Persada: Jakarta,  2008), 57
[12] W. Montgomery Wati, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Tiara wacana: Joktakarta), 143
[13] Ibid,
[14]  Muhammed Yunis, Politik Pengkafiran & Malapetaka Kaum Beriman: Sejarah-Politik-Ham Op.Cit, 44
[15]  Ibid., 140
[16] W. Montgomery wati, Kejayaan Islam, Op.Cit, 142
[17] Muhammed Yunis, Politik Pengkafiran & Malapetaka Kaum Beriman: Sejarah-Politik-Ham, Op.Cit, 44
[18] Ibid., 46
[19] Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, (Artha rivera: Jakarta, 2009), 85
[20]  Ibid.
[21] Ibid.
[22]  Muhammed Yunis, Politik Pengkafiran & Malapetaka Kaum Beriman: Sejarah-Politik-Ham, Op.Cit, 66
[23] Joesoef Sou’yb, Sejarah daulah Abbasiyah II,( Bulan Bintang: Jakarta, 1977),  14
[24] King Richard,  Agama Orientalisme dan Poskolonialisme, (Yogyakarta: Qalam, 2001), 1
[25] A. Mustafa. Akhlak Tasawuf, (Pustaska Setia: Bandung, 2007), 206
[26] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, bulan Bintang, 1973, hlm. 57-58
[27] Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Islam, Op.Cit, 219
[28] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 285
[29] Rosihan Anwar, Akhlak  Tasawuf, ( Cv Pustaka Setia: Bandung, 2009), 43-50
[30] Ibid.
[31] Abdillah F. Hasan, Ensiklopedia Islam, (PT Ichtiar Baru Ven Hoeve : Jakarta, 2000), 79
[32] Ibid,93
[33] Ibid, 94
[34] Mustafa, Akhlak Tasawuf, ( CV Pustaka Setia: Bandung, 2007), 228
[35] Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Islam, Op.Cit, 167
[36] Abdurahman Abdul Khaliq dan Ihsan Ilahi Zhahir, Pemikiran Sufisme,  Op.Cit, 49
[38]  Abdillah F. Hasan, Ensiklopedia Islam, Op.Cit, 102
[39] Ibid.,103
Tag : Sejarah
Back To Top