A. Pendahuluan Organisasi Muhammadiyah adalah sebuah wadah sosial Islam tertua dan terbesar di Indonesia yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan dan bercirikan Islam. Jangkauan anggota organisasi ini secara geografis dan etnis sangat luas, bahkan saat ini Muhammadiyah tidak hanya ada di wilayah Indonesia, tetapi juga terdapat di beberapa negara ASEAN, meskipun hubungannya lebih bersifat aspiratif ketimbang instruktif.[1]
Sejak awal berdirinya organisasi ini telah dikonsentrasikan pada gerakan Islam secara substansial dan da’wah amar ma’ruf nahi munkar yang mengandung arti luas yakni mengajak manusia untuk beragama Islam, meluruskan keislaman kaum muslim, serta meningkatkan kualitas kehidupan mereka baik secara intelektual, sosial, ekonomi maupun politik.[2]
Muhammadiyah didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah tahun 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta dengan dilatarbelakangi oleh kondisi umat Islam yang amat mengkhawatirkan pada saat itu. Ada tiga penyakit kronis pada saat itu yang dialami oleh umat Islam, yaitu kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Mengapa ia miskin, karena ia bodoh. Lalu mengapa ia bodoh, karena ia terbelakang. Hal ini merupakan lingkaran yang tak berujung dan bertepi serta tak terputus.
Satu-satunya upaya yang dilakukan untuk memutus lingkaran tersebut adalah dengan mencerdaskan umat. Mencerdaskan umat hanya dapat dilakukan dengan pendidikan. [3]
Gagasan pembaharuan di bidang pendidikan yang menghilangkan dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama pada hakikatnya merupakan terobosan besar dan sangat fundamental karena dengan itu Muhammadiyah ingin menyajikan pendidikan yang utuh, pendidikan yang seimbang yakni pendidikan yang dapat melahirkan manusia utuh dan seimbang kepribadiannya, tidak terbelah menjadi manusia yang berilmu umum saja atau berilmu agama saja.[4]
B. Sejarah berdirihnya Muhammadiyah
Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1898 dan meninggal pada tanggal 25 Pebruari 1923. Ia berangkat dari keluarga diktatis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Aminah, putri KH. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di kraton Yogyakarta.[5]
Latar belakang berdirinya Muhammadiyah didasari oleh empat faktor. Pertama, ketidakbersihan dan campur aduknya kehidupan agama Islam di Indonesia. Kedua, ketidakefisienan lembaga-lembaga islam di Indoneisa. Ketiga, aktifitas misi-misi Katolik dan Protestan. Keempat, sikap acuh tak acuh, malah kadang-kadang sikap merendahkan dari golongan intelegensia terhadap Islam.
Dalam perspektif ini, kelahiran Muhammadiyah didorong oleh kesadaran yang dalam tentang tanggung jawab sosial yang pada saat itu sangat terabaikan. Dengan kata lain, doktrin sosial Islam tidak digumulkan dengan realitas kehidupan umat. Bila diukur dengan semangat zaman waktu itu, Ahmad Dahlan adalah seorang revolusioner. Pada saat orang membesar-besarkan pentingnya ziarah kubur, Ahmad Dahlan malah memberikan fatwa pada tahun 1916 tentang haramnya perbuatan itu. Fatwa ini sangat menggemparkan masyarakat dan para ulama. Ia dituduh sebagai Mu’tazilah, Ingkar Sunnah, Wahabi dan lainnya. Ahmad Dahlan sebagai tokoh kontrovesial sudah lama dikenal masyarakat Yogyakarta. Orang masih ingat peristiwa tahun 1898 pada waktu Ahmad Dahlan membenarkan arah kiblat di Masjid Gedhe Kauman Yogya dengan resiko suraunya yang baru dibangun dihancurkan para penentangnya.
Sudah sejak awal Muhammadiyah merumuskan strategi pemurnian akidah yang dinilai sudah sangat tercemar oleh berbagai sebab, diantaranya karena umat Islam pada umumnya tidak lagi memahami agamanya dari sumber yang autentik. Filter akidah sudah sangat lemah untuk menepis unsur-unsur kepercayaan luar yang merembes ke dalam umat Islam. Di samping itu, pada tataran praktis, Muhammadiyah masa awal ingin menggembirakan orang dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Mengamalkan ajaran agama haruslah membuahkan kesejukan dan kegembiraan bukan kegelisahan.[6]
KH. Ahmad Dahlan memperdalam ilmu agamanya kepada para ulma’ timur tengah. Beliau memperdalam ilmu fiqih kepada kiai Mahfudz Termas, ilmu hadits kepada Mufti Syafi’i, ilmu falaq kepada kiai Asy’ari Bacean. Beliau juga sempat mengadakan dialog dengan para ulama nusantara seperti kiai Nawawi Banten dan kiai Khatib dari Minangkabau yang dialog ini pada akhirnya banyak mengalami dan mendorongnya untuk melakukan reformasi di Indonesia adalah dialognya dengan syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang tokoh modernis dari Mesir.
Dengan kedalaman ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaharuan islam, KH. Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan pembaharuan islam ke pelosok-pelosok tanah air sambil berdagang batik. KH. Ahmad Dahlan melakukan tabliah dan diskusi keagamaan sehingga atas desakan para muridnya pada tanggal 18 November 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Disamping aktif di Muhammadiyah beliau juga aktif di partai politik. Seperti Budi Utomo dan Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan utnuk beramal demi kemajuan umat islam dan bangsa.
C. Paradigma pemikiran Muhammadiyah
1. Landasan Filosofis Pendidikan Muhammadiyah
a. Secara ontologis
Manusia memiliki fitrah yang senantiasa mengadakan hubungan vertikal dengan sang Khaliq (Pencipta) sebagai manifestasi dari sikap teosentris manusia yang mengakui ketuhanan Yang Maha Esa. Manusia yang diciptakan adalah manusia yang mampu mengemban tugas-tugasnya di muka bumi (hubungan horizontal), baik sebagai hamba Allah s.w.t. maupun khalifah-Nya. Untuk dapat mewujudkan fungsi kekhalifahannya, maka seseorang harus:[7]
1) Memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan.
2) Bisa melaksanakan tugas/ pekerjaan sesuai dengan ilmu dan keterampilan yang dimiliki.
3) Bisa menemukan jati dirinya sebagai apa atau siapa dirinya itu.
4) Bisa bekerja sama dan berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.
Di sisi lain, seorang khalifah tentunya memiliki pandangan hidup yang setidak-tidaknya dapat diketahui dari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut apa yang harus diperbuat untuk dirinya; apa yang harus diperbuat untuk alam sekitarnya; apa arti lingkungan sosial bagi dirinya dan apa yang diperbuat untuk lingkungan social serta ppa yang harus diperbuat terhadap keturunan atau generasi penerusnya. Maka penyusunan kurikulum pendidikan Muhammadiyah adalah untuk:
1) Mengembangkan potensi peserta didik secara optimal serta interaksinya dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya, tanpa mengabaikan nilai-nilai dan tradisi yang sudah mengakar di masyarakat dan masih relevan untuk dilestarikan.
2) Menumbuh-kembangkan nilai-nilai moral (akhlaq) dalam konteks perkembangan iptek dan perubahan sosial yang ada
3) Menumbuhkembangkan kreatifitas peserta didik.
4) Memperkaya khazanah budaya manusia, dan
5) Menyiapkan peserta didik untuk memiliki kecakapan hidup serta mampu dan berani menghadapi tantangan hidup sesuai dengan zamannya yang dijiwai oleh spirit Islam.
b. Secara epistemologis
Pengembangan Pendidikan Muhammadiyah harus memiliki dasar rasional tertentu, yaitu Apa kompetensi hasil didik? Sebagai apa? Siapa yang membutuhkan hasil didik? dan Bagaimana proses pembelajarannya agar tujuan yang diinginkan terwujud? Agar pendidikan lebih bermakna bagi peserta didik dapat dilakukan dengan menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:[8]
1) Lulusan yang kompeten dalam hal apa yang akan dibentuk melalui program pendidikan?
2) Kemampuan dasar apa dan bagaimana yang harus ditempuh lulusan lembaga pendidikan?
3) Apa indikator-indikator atau bukti-bukti yang menunjukkan bahwa peserta didik sukses dalam mencapai kemampuan dasar dan hasil belajar yang telah ditetapkan?
4) Agar peserta didik dapat mencapai indikator-indikator tersebut di atas, maka hal-hal, masalah-masalah, latihan-latihan dan kegiatan-kegiatan apa saja yang harus dikerjakan oleh mereka dalam proses belajar dan membelajarkan?
5) Apa saja sarana dan sumber belajar, tenaga kependidikan yang seperti apa dan bagaimana, berapa biaya yang diperlukan, dan apa peran dan tanggung jawab pimpinan, unit-unit dan lain-lain untuk mencapai hasil belajar yang diinginkan?
6) Berapa jam/ sks yang diperlukan untuk dapat mencapai hasil belajar atau mewujudkan indikator-indikator hasil belajar tersebut?
c. Secara aksiologis
Pendidikan Muhammadiyah mengarahkan peserta didik pada pengembangan kemampuan menjalankan tugas-tugas atau pekerjaan tertentu. Tugas/ pekerjaan itu bisa berbasis pada:[9]
1) Kebutuhan pemerintah / kebutuhan user / para pengguna jasa hasil didik.
2) Kebutuhan pengembangan akademik atau keilmuan.
3) Kebutuhan lembaga pendidikan itu sendiri, dan
4) Kebutuhan peserta didik itu sendiri.
2. Paradigma Pendidikan Muhammadiyah
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umatt.[10] Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan KH. Ahmad Dahlan ini meliputi :
a. Tujuan Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. [11]Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agma sama sekali. Akibat dialisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
b. Materi pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:[12] 1) Pendidikan moral, akhalq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2) Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
3) Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
c. Model Mengajar
Di dalam menyampaikan pelajaran agama KH. Ahma dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi konekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
1) Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
2) Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
3) Hubungan guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
3. Analisis Paradigma Pendidikan pada Gerakan Muhammadiyah
Melihat pemikiran pendidikan pada gerakan Muhammadiyah saat itu memang telah mengadakan integrasi antara ilmu agama dengan ilmu umum, Ahmad Dahlan telah mampu mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu umum, di sekolah-sekolah umum. Melihat perkembangan yang seperti itu dan menoleh pada suatu konteks modernitas yang saat ini terjadi maka perlu adanya sebuah inovasi dalam bentuk pengembangan sebuah lembaga pendidikan Muhammadiyah agar tidak kolot dan ketinggalan jaman. Seperti yang kita ketahui lembaga pendidikan yang dibawah naungan organisasi Muhammadiyah sangatlah banyak mengalami penurunan baik pada pendidik ataupun peserta didiknya. Oleh karena itu harus mampu menyeimbangkan dengan tuntutan perkembangan zaman saat ini seperti mengajarkan IPTEK kepada pendidik dan peserta didiknya. Menyelenggarakan studi atau kajian tentang arah baru model pendidikan Muhammadiyah termasuk kurikulum dan perangkat-perangkatnya.
a. Menyelenggarakan studi atau kajian tentang standar profesionalisme guru dan lulusan atau kompetensi peserta didik
b. Menyelenggarakan diklat MBS bagi penyelenggara sekolah
c. Mengembangkan TI bagi proses dan pengelolaan pendidikan.
d. Menyelenggarakan tugas belejar dan diklat bagi guru dalam rangka meningkatkan kualitas, kualifikasi dan profesionalisme guru.
e. Dengan desentralisasi pendidikan, dimungkingkan menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga lain dalam rangka meningkatkan mutu sekolah, namun demikian harus relevan dengan kondisi global dan kebutuhan daerah serta merata pada masyarakat setempat.
Berdasarkan uraian sebagaimana terdapat pada pembahasan diatas bahwa berbagai inovasi dalam pendidikan Muhammadiyah bukanlah sesuatu hal yag mustahil tetapi harus terus dikembangkan dan diberikan apresiasi yang setingi-tingginya, selama inovasi tersebut tidak melanggar undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku serta dalam rangka memperbaiki model-model pendidikan yang ada. Dalam pengembangannya, implementasi dari berbagai inovasi dibutuhkan kajian yang serius dan mendalam agar siapapun yang terlibat dalam pendidikan maupun masyarakat Indonesia akan memperoleh keuntungan dari inovasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Azyumardi Azra, Muhammadiyah dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, dalam Ulumul Al-Quran, Nomor 2 Vol. VI, 1995
[2] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Muhammadiyah dan High Politik, dalam Ulumul Quran, Nomor 2 Vol. VII, 1995, h. 5.
[3] http://lukmancoroners.blogspot.com/2010/06/Filsafat-Pendidikan-Muhammadiyah.html, diakses tanggal 23 November 2012, pukul 12:29.
[4] http://solomoncell.wordpress.com/2012/06/04/Pendidikan-Muhammadiyah/, diakses tanggal 23 November 2012, pukul 12:29.
[5] Samsul Nizar, MA, Filsafat Pendidikan Islam : Pendidikan Historis, Teoritis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) hlm. 100.
[6] Delias Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm 85.
[7]http://muhammadiyahkabtegal.org/index.php?option=com_content&view=article&id=5:Melacak-Paradigma-Pendidikan-Muhammadiyah-&catid=17:kemuhammadiyahan&Itemid=53, diakses pada tanggal 15 november 2012 pukul 13.20.
[8]http://muhammadiyahkabtegal.org/index.php?option=com_content&view=article&id=5:Melacak-Paradigma-Pendidikan-Muhammadiyah-&catid=17:kemuhammadiyahan&Itemid=53, diakses pada tanggal 15 november 2012 pukul 13.20.
[9]http://muhammadiyahkabtegal.org/index.php?option=com_content&view=article&id=5:Melacak-Paradigma-Pendidikan-Muhammadiyah-&catid=17:kemuhammadiyahan&Itemid=53, diakses pada tanggal 15 november 2012 pukul 13.20.
[10] Samsul Nizar, Op cit, hal 107.
[11] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2006), 306.
[12] Samsul Nizar, Ibid,