BAB
I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Nu
selaku organisai Jam’iyah sekaligus
gerakan Diniyah Al-Islamiyah
ditengah-tengah berkecamuknya pemikiran islam dan politik negara islam berusaha
untuk bangkit mengokohkan akidah umtiat islam yang beraliran ahlu sunnah wal
jama’ah. NU sendiri tidak terlepas dari latarbelakang pesantren selaku lembaga pendidikan yang berusaha
mendorong NU untuk bangkit sebagai organisasi yang melawan arus aliran islam
yang beragam. Untuk itu kajian kitab kuning dan aliran bermadzhab menjadi ciri
khas bagi NU.[1]
Perubahan
zaman yang serba dinamis, yang terkadang bersebrangan dengan nilai agama
membuat ulama NU selaku ormas islam untuk memberikan fatwa-fatwa sesuai dengan
keyakinan bermadzhab yang mereka anut dengan berbagai pertimbangan. NU dengan
keyakinan bermadzhabnya mampu menyelesaikan problematika yang terjadi diumat
islam, para imam madzhab yang empat dipandangan ulama indonesia mempunyai
kualifikasi sebagai mujtahid mutlak, dan sangat layak sebagai sandaran umat
islam untuk mengikuti ajaran agama islam terutama yang berkenaan dengan hukum
fiqh. Maka dari itu dengan segala partisipasinya kepada umat, NU berijtihad
untuk menjawab segala tantangan-tantangan dan perkembangan agama melalui
majelis musyawarah bahsu masail.[2]
Dalam rangka membentuk bahsu masail yang
sistematis dan mempunyai struktur yang jelas Ulama’ dan cendekiawan NU mulai berfikir
menyusun metodologi yang tepat untuk memecahkan permasalahan yang aktual. Untuk
menyusun metodologi yang tepat NU perlu melihat dari mana organisasi tersebut
berasal, yaitu dari kalangan pesantren. Maka dari itu dalam menyusun dalam
menyusun metodologi pola bermadzhab merupakan keniscayaan yang tidak bisa
ditinggalkan.
Metodologi yang dipakai NU menjadi
Problematika dikalangan Ormas-Ormas islam yang lain, karena Metologi yang
dipakai NU tidak dipandang sebagai Ijtihad, akan tetapi Taklid kepada Ulama’
secara membabi buta. Sebenarnya warga NU menyadari akan pentingnya Ijtihad
sebagaimana yang dilakukan oleh Imam yang empat (Hanafi, maliki, Syafi’i, dan
Ahmad Bin hambal), akan tetapi kalangan NU berpandangan apa yang dilakukan imam
yang empat sangat berat syarat-syarat yang
harus ditempuh, maka sangatlah
wajar jika dalam keputusan NU dalam bahsu masailnya tidak mengikat ummatnya.
BAB II
Pembahasan
B.
Sejarah
Berdirinya NU
Nahdlatul Ulama disingkat NU, yang
merupakan suatu jam’iyah Diniyah Islamiyah yang berarti Organisasi Keagamaan
Islam. Didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H. NU
mempersatukan solidaritas ulama tradisional dan para pengikut mereka yang
berfaham salah satu dari empat mazhab Fikih. Basis sosial Nu dahulu dan kini
terutama masih berada di pesantren.[3]
Sebagai latar belakang terbentuknya
organisasi NU ini adalah gerakan pembaruan di Mesir dan sebagian Timur Tengah
lainnya dengan munculnya gagasan Pan-Islamisme yang dipelopori Jamaluddin
Al-Afghani untuk mempersatukan seluruh dunia Islam. Sementara di Turki bangkit
gerakan nasionalisme yang kemudian meruntuhkan Khalifah Usmaniyah.[4]
Sementara di Indonesia tumbuh organisasi
sosial kebangsaan dan keagamaan yang bertujuan untuk memajukan kehidupan umat,
seperti Budi Utomo (20 Mei 1908), Syarekat Islam (11 November 1912), dan
kemudian disusul Muhammadiyah (18 Nopember 1912). Hal-hal tersebut telah
membangkitkan semangat beberapa pemuda Islam Indonesia untuk membentuk
organisasi pendidikan dan dakwah, seperti Nahdatul Wathan (Kebangkitan tanah air), dan Taswirul
Afkar (potret pemikiran). Kedua organisasi dirintis bersama oleh Abdul Wahab
Hasbullah dan Mas Mansur organisasi inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya
NU.[5]
Pada saat yang sama, tantangan pembaruan
yang dibawah oleh Muhammad Abduh di Mesir mempengaruhi ulama Indonesia dalam
bentuk Muhammadiyah, yakni organisasi Islam terbesar kedua pada abad ke-20 di
Indonesia. Penghapusan kekhalifahan di Turki dan kejatuhan Hijaz ke tangan Ibn
Sa’ud yang menganut Wahabiyah pada tahun 1924 memicu konflik terbuka dalam
masyarakat Muslim Indonesia. Perubahan-perubahan ini mengganggu sebagian besar
ulama Jawa, termasuk Hasbullah. Dia dan ulama sefaham menyadari serta melakukan
usaha-usaha untuk melawan ancaman bid’ah tersebut serta merupakan kebutuhan
yang mendesak. Hasyim As’ari (1871-1947) Kyai dari pesantren Tebuireng,
Jombang, Jawa Timur, yang merupakan ulama Jawa paling disegani menyetujui
permintaan mereka untuk membentuk NU pada tahun 1926 dan dia menjadi ketua
pertamanya atau ro’is akbar.[6]
Khittah
NU 1926 menyatakan tujuan NU sebagai berikut:
a. Meningkatkan
hubungan antar ulama dari berbagai mazhab sunni
b. Meneliti
kitab-kitab pesantren untuk menentukan kesesuaian dengan ajaran ahlusunnah
wal-jama’ah
c. Meneliti
kitab-kitab di pesantren untuk menentukan kesesuaiannya dengan ajaran
ahlusunnah wal-jama’ah
d. Mendakwahkan
Islam berdasarkan ajaran empat mazhab
e. Mendirikan
Madrasah, mengurus masjid, tempat-tempat ibadah, dan pondok pesantren, mengurus
yatim piatu dan fakir miskin
f. Dan
membentuk organisasi untuk memajukan pertanian, perdagangan, dan industri yang
halal menurut hukum Islam.[7]
C.
LBMNU
(Lajnah Bahsu Masail Nahdlatul Ulama)
Bahsu masail secara harfiah berarti
pembahasan masalah yang dibahas diforum resmi, untuk membicarakan masalah-masalah
agama yang berkembang sesuai dengan kondisi dan perubahan zaman. NU dalam
struktur organisasinya mempunyai lembaga
khusus yang membahasas tentang malalah-masalah keagaman yang disebut LBM (Lajnah-Bahsu
masail). LBM adalah sebuah forum pengkajian hukum Islam milik NU yang
berfungsi untuk melakukan kajian-kajian seputar masalah-masalah keagamaan baik
dari sisi sosial, budaya, politik, teknologi, dan lain-lain
Untuk
mengatahui Asal-usul LBM NU memang bukan
hal yang mudah karena masih minimnya dokumen-dokumen yang
menginformasikan tentang kelahiran dan perkembangan LBM baik latar belakang,
metode, obyek maupun pelaku sejarahnya. Akan tetapi dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga NU. Di sana ditegaskan bahwa adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum
Islam praktis (fiqh) bagi kehidupan sehari-hari mendorong para ulama dan
intelektual NU untuk mencari solusinya dengan melakukan kegiatan kajian-kajian
terkait dengan masalah yang muncul melalui kajian yang dilakukan dalam sebuah
forum diskusi yang disebut ul bahsu masāil,
(kajian berbagai masalah). Kegiatan seperti ini sesungguhnya telah dimulai oleh
para pendahulu NU sejak kongres kali pertama beberapa bulan setelah berdirinya
NU pada 1926.
Sebenarnya Secara historis, forum
bahtsul masa’il sudah ada sebelum NU berdiri. Saat itu sudah ada tradisi
diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang hasilnya
diterbitkan dalam buletin LINO (Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama). Dalam buletin
LINO, selain memuat hasil, bahtsul masa’il juga menjadi ajang diskusi
interaktif jarak jauh antar para ulama. Seorang kiai menulis ditanggapi kiai
lain, begitu seterusnya. [8]Akan
tetapi ciri khas yang paling mendasar di forum Bahsu masail NU adalah mempunyai
struktur yang jelas dalam berdiskusi
untuk memecahkan permasalahan agama.
Untuk itu NU selaku organisasi islam yang dikelola oleh alim ulama dan cendekiawan muslim yang berlatar
belakang dari kalangan pesantren
mempunyai ciri khas kepesantrenan untuk
memecahkan dalam berbagai masalah yaitu
keterikatan dengan paham madzhab. Hal ini berbeda dengan Majelis tarjih
muhammadiyah yang tidak terikat dengan madzhab dalam menyelesaikan permasalahan
agama yang sedang berkembang.
Adapun
LBM secara institusional baru berdiri pada Muktamar XXVIII di Yogyakarta 1989
M. Ketika itu Komisi I (Bahsul Masāil,) merekomendasikan kepada Pengurus
Besar NU untuk membentuk Lajnah Bahsul Masāil,
ad-Diniyyah (lembaga
kajian masalah-masalah keagamaan) sebagai lembaga permanent yang khusus
menangani persoalan-persoalan keagamaan. Rekomendasi tersebut kemudian didukung
oleh forum halaqah (sarasehan) pada tanggal 26-28 Januari 1990
bertempat di Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar, Jombang, Jawa Timur
yang juga merekomendasikan terbentuknya lembaga tersebut dengan harapan dapat
menghimpun para ulama dan intelektual NU untuk melakukan ikhtiyar
jama'i istinbat (penggalian dan penetapan hukum secara kolektif).
Kemudian pada tahun 1990 M. terbentuklah sebuah institusi yang bernama Lajnah
Bahsul Masāil, ad-Diniyyah tersebut berdasarkan Surat
Keputusan PBNU Nomor 30/A.I.05/5/1990.[9] Institusi
tersebut bertugas mengkoordinasikan kegiatan kajian-kajian seputar
masalah-masalah keagamaan yang bersifat fiqih. Kegiatannya meliputi pengumpulan
masalah dari warga sampai dengan menyelenggarakan forum kajian untuk membahas
masalah-masalah yang telah diinventarisasi sebelumnya
Sedangkan topik khusus yang dikaji dalam
LBM NU adalah Masail diniyah. Masail
diniyah LBMNU mempunyai tiga Komisi:
1. Masail Diniyah Waqi’iyah, yakni
permasalahan kekinian yang menyangkut hukum suatu peristiwa. Misal bagaimana
hukum orang Islam meresmikan gereja?
2. Masail Dinniyah Maudhu’iyah, yakni
permasalahan yang menyangkut pemikiran. Misalnya fikrah Nahdliyah, Globalisasi.
3. Masail Diniyah Qanuniyah, penyikapan
terhadap rencana UU yang diajukan pemerintah atau UU peralihan yang baru
disahkan. Komisi ini bertugas mengkaji RUU atau UU baru dari sisi agama, untuk
diajukan kepada pemerintah sebagai bahan masukan dan koreksi.[10]
D.
Hirarki dan Sifat Keputusan Bahtsul Masa’il
LBMNU
selayaknya lembaga yang bertugas memperbincangkan masalah-masalah agama
sekaligus mencari solusinya, hanya memberikan fatwa kepada NU. Para kalangan NU
tidak wajib patuh dan tunduk kepada apa yang diputuskan oleh NU. Hasil
keputusan bahsu masail diberbagai tingkat tidak ubahnya hasil dari ijtihad. Ketika
ada warga NU yang patuh terhadap hasil Bahsu masail, maka hal itu hanyalah
ikatan moral saja, bukan ikatan yang harus dipatuhi dan diikuti. Dengan demikian keputusan komisi bahtsul masa'il tersebut, meski telah merupakan
kesepakatan, hanyalah bersifat amar ma'ruf atau menampakkan alternatif yang
dianggap terbaik di antara sekian alternatif yang ada. Sebab, sekali keputusan
menyangkut masalah khilafiyah (yang masih diperselisihkan), NU tetap menghargai
hak seseorang untuk memilih pendapat yang dipilih, terutama jika menyangkut soal ubudiyah, yang notabenya lebih
merupakan urusan pribadi seseorang dengan Tuhannya.
Kemudian
bahsu masail tersebut akan semakin kuat ketika disahkan oleh pengurus syuriah
oleh tingkat pusat.Adapun macam-macam bahsu masail NU berkembang pada saat ini
dibagi menjadi empat macam
1. Tingkat tingkat nasional. berskala muktamar, musyawarah alim ulama, dan
kofrensi besar
2. Tingkat
wilayah, berskala provinsi dan dilaksanakan di tingkat wilayah
3. Tingkat
cabang/ kabupaten dan kecamatan
4. Tingkat
desa. Permasalahan-permasalahan
dilaksanakan dalam rapat forum anggota.[11]
Tingkat
muktamar diselenggarakan 5 tahun sekali yang dihadiri oleh pengurus pusat,
wilayah, cabang,. Seluruh permasalahan diputuskan oleh para ulama-ulama NU yang
berkompeten dibidangnya. Pada tingkat muktamar
tidak hanya memperbincangkan masalah agama saja akan tetapi lebih dari
itu Tingkat muktamar lebih jauh membahas program pengembangan NU,
laporan-laporan pertanggung jawaban NU.[12]
Disamping
muktamar, bahsu masail NU terdiri dari Munas(Musyawarah Nasional) Alim Ulama.
Bahsu masail tingkat Munas dihadiri oleh alim ulama, pengasuh pondok
pesantren yang berkompeten dalam
bidangnya baik pengurus maupun diluar pengurus NU, dimana munas diselenggarakn
oleh pengurus besar Syuriah yang dipimpin oleh Rais Am sebagai pimpinan NU
tertinggi. Adapun pelaksanaan Munas dilaksanakan dalam satu tahun sekali.
Permasalahan-permasalahan yang di bahas dalam Munas dikhususkan untuk
permasalahan agamut yang menyangkut kehidupan umat dan bangsa.[13]
Tingkat
koferensi dihadiri oleh pengurus tingkat pusat atau sekurang-kurangnya separuh
tingkat wilayah. Koferensi ini berguna untuk mengevaluasi dan memonitoring
pelakasanaan keputusan muktamar dan mengkaji perkembangan organisasi NU,
peranannya dalam masyarakat, dan membahas masalah sostial agama.[14]
Adapun permusyawaratan yang lain di
tingkat wilayah/propinsi, daerah/kabupaten dan kota madya, dan majelis wakil
cabang/kecamatan secara berurutan bernama Konferesi Wilayah, Konferensi Cabang,
dan Konferensi Majelis Wakil Cabang. Ketiga-tiganya digelar sekali dalam lima
tahun, dihadiri oleh pengurus pada tingkat masing-masing dan pengurus satu
tingkat di bawahnya, kecuali Konferensi Cabang yang diikuti oleh Pengurus Cabang,
pengurus Wakil Cabang, dan Pengurus Ranting. Agenda utama yang dibahas dalam
forum ini adalah disamping membahas tentang laporan pertanggungjawaban kerja
dari pengurus lama, evaluasi keorganisasian, pemilihan pengurus baru termasuk
program kerja dan tugas-tugas terkait, juga membahas masalah-masalah sosial dan
keagamaan.[15]
Adapun Sifat keputusan LBMNU sebagai
berikut:
1.
Seluruh keputusan bathsul masa’il di lingkungan NU yang
diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini, baik diselenggarakan
dalam struktur organisasi maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajat
dan tidak saling membatalkan.
2.
Suatu hasil keputusan bathsul masa’il dianggap mempunyai
kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriah NU
tanpa harus menunggu Munas Ulama maupun Muktamar.
3.
Sifat keputusan dalam bathsul masa’il tingkat Munas dan
Muktamar adalah:
(a) Mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan/atau,
(b) Diperuntukan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.
(a) Mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan/atau,
(b) Diperuntukan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.
E. Dominasi Fiqh Empat Mazhab dalam Lembaga Bahsul
Masail NU
Dalam
pengkajian fiqh, terutama dalam Bahsu Masail NU menganut aliran bermadzhab,
yaitu mengikuti salah satu dari salah satu imam mujtahid Imam hanafi, maliki,
syafi’i dan hambali. Menurut Hasyim Asy’ari dengan mengikuti pendapat imam
madzhab yang empat akan mendapatkan kemaslahatan bagi umat islam yant tidak
terhitung bagi umat islam, sebab hukum islam tidak akan dapat dipengerti
melalui pengambilan dan pemindahan hukum Al-Ahkam Istimbath. Al-Ahkam
Istimbat untuk mencapai kebenaran harus mengenali pendapat-pendapat
sebelumnya supaya tidak keluar dari
ijma’. Dalam Undang-Undang Dasar NU
disebutkan bahwa barang siapa menyebutkan ilmu yang tidak
menyebutkan sanadnya dia seperti pencuri.[16] Hal
itu menandakan bahwa mengikuti
pendapat-pendapat madzhab sangat penting untuk memutuskan suatu perkara,
terutama untuk mengembangkan pemikiran yang berkaitan dengan ijtihad.
Nu memilih
madzhab yang empat karena berlandaskan beberapa alasan, diantaranya
1. Madzhab
yang empat memiiki cara Al-Ahkan
Istimbath tersendiri, yang masing-masing validitas tidak terdapat didalam
madzhab lainnya. Dapat dikatakan bahwa Nu tidak memilih madzhab diluar empat
madzhab, karena madzhab empat dianggap paling kuat secara istimbath hukum
2. Mengikuti
empat madzhab berarti mengikiuti mayoritas madzhab umat islam diindonesia
3. Keempat
imam dari empat madzhab tersebut mempunyai kualifikasi sebagai mujtahid Mutlak
Jika dilihat
dari operasionalnya Ahmad Arifi memberikan tiga alasan, mengapa penganut
madzhab sangat memegang teguh ajaran dari keempat madzhab tersebut. Tiga alasan
tersebut adalah
1. Pemikiran
keempat madzhab telah terkodifikasi secara sistematis sehingga mudah
dipelajarinya
2. Kredebiltas
imam madzhab dan keandalan pemikirannya telah teruji oleh para sejarah
3. Mengikuti
imam mempunyai nilai praktis dan prakmatis. Dengan mengacu dari awl tidak susah
payah memulai dari awal ketika mencari solusi masalah dan menjawab hukum yang
dihadapinya.[17]
Dalam berfiqih, NU sesungguhnya tidak hanya terbatas pada
mengikuti pandangan empat imam mazhab besar tersebut tetapi juga pendapat
ulama-ulama turunannnya yang telah mengembangkan tidak hanya literatur
keputusan hukum agama dalam skala massif ( misalnya sebuah corpusmagnum berjudul al-Majmu’,
komentar atas kitab al-Muhazzab, terdiri dari empat belas jilid
dengan rata-rata 400 halaman perjilidnya), melainkan juga cara-cara untuk
menyusun pemikiran hukum (legal maxim, qawaidul fiqh),
menentukan bentuk akhir keputusan hukum yang akan diambil jika kondisinya dan
persyaratan yang melatarbelakangi sesuatu masalah yang tadinya sudah diputuskan
ternyata telah mengalami perubahan. Di sinilah terletak dinamika perkembangan
hukum Islam melalui fiqh dapat dilakukan, walaupun dalam batasan-batasan yang
tetap masih ketat karena harus tidak boleh keluar dari lingkup bermazhab.[18]
Pada praktiknya NU mempunyai kecenderungan mengikuti mazhab
Syafi'i secara lebih dominan dibanding tiga mazhab yang lain bahkan sering
“tidak konsisten” karena menggunakan pegangan pendapat para ahli fikih
"turunan" imam mazhab, tidak langsung dari sumberutamanya (pendapat
imam mazhab). Hal itu terjadi karena keterbatasan refrensi di luar mazhab
Syafi’i dan kebiasaan para pengkajinya yang mayoritas di lingkungan pesantren
yang diasuh oleh para Kyai yang mengajarkan kitab-kitab syafi’iyyah seperti Fath
al-Qarīb al-Mujīb, Fath al-Mu’īn, Fath al-Wahhāb, Qulyubi ibn ‘Amīrah,
Tuhfah, dan sebagainya. Dalam mazhab Syafi'i misalnya, NU lebih sering
menggunakan pendapat Imam Nawawi[19] atau
Imam Rafi'i dan para ulama syafi’iyyah lainnya seperti
al-Muzani, ar-Ramli, ibn Hajar al-Haitami, Zakariya
al-Anshari dan sebagainya dari pada pendapat Imam Syafi'i sendiri. Dengan
kata lain, NU mengikuti pendapat "syafi'iyyah" ketimbang
"Syafi'i". Hal itu tampak jelas terutama dalam kajian-kajian wāqi’iyyah,
qānūniyyah, dan maudū’iyyah di forum-forum bahsul
masāil, yang merupakan forum ilmiah di
lingkungan NU untuk membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum. [20]
F.
Struktur Fiqh Lajnah Bahtsul Masail
NU
Pola pikir Nu tidak terlepas dari
latar belakang Pesantren, yaitu lembaga pendidikan yang sangat memegang teguh
dan melestarikan tradisi kitab kuning dan pola bermadzhab. Maka dari itu wajar
jika Pesantren disebut NU kecil dan pesantren NU besar, karena pesantren sangat
dominan mempengaruhi pola pikir NU baik
secara tataran sosial,agama, budaya, dan sebagainya. Sebagaimana dikutib oleh
Bibit Suprapto dalam sebuah buku tentang eksistensi, peran dan prospek NU,
Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa NU adalah pesantren besar, kultur NU
adalah kultur pesantren. Begitu juga maju dan mundurnya NU akan berbanding
lurus dengan maju mundurnya pesantren itu sendiri dengan segala aspek yang
terkait di dalamnya yakni ulamanya, pemikirannyadantradisinya. [21]
Sejalan dengan pemahaman mayoritas
ulama NU, bahwa mereka menganut pemahaman sumber islam empat, yaitu al-qur’an,
Al-Sunnah, Ijma’, dan qiyas. Sementara untuk memmahami sumber ajaran yang asli,
NU tidak melakukan Ijtihad secara mandiri sebagaimana yang dilakukan Mujtahid
Mutlak akan tetapi NU lebih cenderung menggunakan pendekatan bermadzhab.
Bermadzhab merupakan pola yang tidak bisa dilepaskan dari budaya NU yang
berlatarkang pesantren.
Dalam berfiqih NU mengikuti salah
satu dari keempat madzhab yang sangat terkenal. Hal ini telah digariskan dalam
pasal 2 Anggaran Dasar NU yang pertama yang lebih dikenal dengan sebutan
statuten 1926.[22]
Namun dalam realisisasinya NU
mengikuti keempat madzhab tidak berjalan secara proposional dalam memutuskan
setiap permasalahan. NU masih terdominasi oleh madzhab syafi’i. Hal ini tampak
dalam teks-teks dasar yang dijadikan rujukan dalam seluruh atau kebanyakan
fatwa NU msih didominasi kitab mazhab Syafi’i, seperti kitab Minhāj
at-Tālibīn karya an-Nawawi, al-Muharrar karya
al-Dimasyqi, Fath al-Mu’īn karya Syamsuddin al-Malibari, I’Ānah
At-Tālibīn karya Sayyid Bakri al-Dimyati, Kanz ar-Rāgibīn karya
Jalaluddin al-Mahalli, Syarh Kanz ar-Rāgibīn karya al-Qalyubi,Tuhfah
al-Muhtāj karya Ibn Hajar al-Haitami, Mugnī al-Muhtāj karya
Syarbini danNihāyah al-eMuhtāj karya ar-Ramli.[23]
Akan tetapi sebagai mana yang dikatakan oleh K.H. Sahal Mahfudz bahwa meskipun
masyarakat indonesia cenderung kepada madzhab Syafi’i pada saat saat tertentu
Nu harus lunak, yaitu beralih kepada
madzhab selain syafi’i guna tidak melawan arus konvensional. Mungkin
kencenderungan kepada imam syafi’i merupakan pola yang terbaik menurut NU, karena masyarakat indonesia
terutama kalangan pesantren sangat kental dengan madzhab syafi’i, selama ini
madzhab syafi’i dianggap paling dominan untuk diterapkan di indonesia.
Sistem pengambilan keputusan hukum
dalam tradisi NU sebagaimana yang diputuskan oleh Munas Bandar Lampung tahun
1992 adalah sebagai berikut: Keputusan bahtsul masa’il di lingkungan NU
dibuat daam rangka bermazhab kepada salah satu mazhab empat yang disepakati dan
mengutamakan bermazhab secara qauli dengan mengutamakan
rujukan dari al-Kutub al-Mu’tabarah.[24]
Dalam
ketentuan umum sebagaimana keputusan Munas Alim-ulama dan Konbes NU di Bandar
Lampung tahun 1992 disebutkan penjelasan beberapa istilah tersebut di atas,
diantaranya :[25]
1. Yang dimaksud dengan al-Kutub
al-Mu’tabarah yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai
dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (rumusan Muktamar
NU ke- 27).
2. Yang dimaksud dengan bermazhab
secara qauli adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi”
dalam lingkup madzhab tertentu.
3. Yang dengan bermazhab secara
manhaji adalah bermazhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah
penetapan hukum yang telah disusun oleh imam mazhab.
4. Yang dimaksud dengan Istinbat adalah
mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan qawa’id usuliyyah dan qawa’id
fiqhiyyah.
5. Yang dimaksud dengan qauli adalah
pendapat imam madzhab
6. Yang dimaksud dengan Wajah adalah
pendapat ulama madzhab.
7. Yang dimaksud dengan Taqrir
Jama’i adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap
satu diantara beberapa qaul dan wajah.
8. Yang dimaksud dengan (Ilhāq
al-Masā’il binażā‘irihā) adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang
belum dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah yang telah dijawab oleh kitab
(menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi. Metode ini mirip dengan
metode al-Qiyas, hanya saja sumber dari metode ilhaq bukan
al-Qur’an dan assunnah melainkan kitab-kitab klasik.[26]
G.
Prosedur Pemecahan Masalah
Pengambilan keputusan LBMNU dibuat
dalam kerangka bermazhab pada salah satu mazhab empat, dengan beberapa metode
diantaranya:
1. Metode Qauli
Metode ini adalah suatu cara istimbat hukum yang digunakan oleh ulama/intelektual NU dalam Lajnah Bahsul Masa’il dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari mazhab empat, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Ketika dijumpai beberapa qaul/wajah (pendapat)dalam satu masalah yang sama, maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat. Pemilihan pendapat tersebut sesuai dengan prosedur berikut:
Metode ini adalah suatu cara istimbat hukum yang digunakan oleh ulama/intelektual NU dalam Lajnah Bahsul Masa’il dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari mazhab empat, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Ketika dijumpai beberapa qaul/wajah (pendapat)dalam satu masalah yang sama, maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat. Pemilihan pendapat tersebut sesuai dengan prosedur berikut:
a. pendapat yang disepakati oleh
al-Syaikhan (Imam An-Nawawi dan Rafi’i);
b. pendapat yang dipegang oleh
al-Nawawi saja;
c. pendapat yang dipegang oleh
al-Rafi’i saja;
d. Pendapat yang didukung oleh
mayoritas ulama;
e. pendapat ulama yang terpandai; dan
1. pendapat ulama yang paling
wara’(berhati-hati terhadap hukum).[27]
Contoh penerapan metode Qauliy adalah keputusan Muktamar I (Surabaya, 21-23 September 1926).
S (soal): Bolehkah menggunakan hasil dari zakat untuk pendirian masjid, madrasah, atau pondok (asrama) karena itu semua termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?
J (jawab): Tidak boleh. Karena yang dimaksud dengan “sabilillah” ialah mereka yang berperang dalam sabilillah. Adapun kutipan Imam al-Qaffal itu adalah da’if (lemah).
Keterangan: dari kitab Rahmatul Ummah dan Tafsir al-Munir Juz I
Dan mereka sepakat atas tidak bolehnya mengeluarkan (harta zakat) untuk mendirikan masjid atau mengafani (membungkus) mayat (rahmatul ummah)
Dan al-Qaffal mengutip dari sebagian fuqaha’, bahwa mereka memperbolehkan membelanjakan harta zakat untuk semua segi kebaikan, seperti mengafani mayat, membangun benteng dan memakmurkan masjid, karena firman Allah Swt. Fi sabilillah (dijalan Allah) itu mencakup semuanya (Tafsir al-Munir)
Jadi secara ringkas dapat dismpulkan bahwa metode yang digunakan Lajnah Bahtsul Masa’il adalah dengan mengacu pada bunyi teks (qaul) dari kitab-kitab mazhab empat, dan karenanya disebut metode qauliy yang dalam tataran ijtihad dapat disamakan dengan metode bayaniy. Akibatnya proses baths al-masa’il ini mirip dengan apa yang terjadi dalam gudang tempat persediaan beragam kebutuhan hidup masyarakat.
2. Metode Ilhaqi
Apabila metode qauliy tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu’tabar, maka dilakukan Metode Ilhaq (menyamakan hukum suatu masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan masalah serupa yang ada dalam kitab). Prosedur yang ketiga ini dilakukan dengan mengikuti logika analogi dalam metode al-qiyās. Prosedur ini sering disebut sebagai metode “al-qiyās” khas Nahdlatul Ulama.
Contoh penerapan metode ilhaqiy adalah yang diputuskan pada Muktamar II (Surabaya, 9-11 Oktober 1927) mengenai hukum jual-beli petasan.
S (soal): Sahkah jual beli petasan (mercon-jw) untuk merayakan hari Raya atau Penganten dan lain sebagaina?
J (jawab): Jual-beli tersebut hukumnya sah! Karena ada maksud baik, ialah: adanya perasaan gembira menggembirakan hati dengan suara petasan itu.
Keterangan dalam kitab:
1) I’anah at-Talibin juz III / 121- 122:
“Adapun membelanjakan harta untuk bersedekah, aspek-aspek kebaikan, makanan, pakaian dan hadiah I yang tidak sesuai dengannya, maka tidak termasuk tindakan sia-sia. (Pendapatnya: tidak termasuk tindakan sia-sia) artinya menurut pendapat yang terkuat, karena di dalamnya mengandung tujuan yang benar, yaitu mendapatkan pahala bersenang-senang. Oleh karenanya dikatakan: dalam hal keabikan tidak ada yang dinamakan israf dan tidak ada kebaikan dalam israf”.
2) Al-Bajuriy / 652-654 bab perdagangan:
“Menjual sesuatu yang dapat dilihat artinya dapat dihadirkan (maka diprbolehkan) jika memenuhi syarat, yaitu barang yang dijual itu suci, dapat dimanfaatkan, dapat diserahkan dan dimiliki oleh pembeli“.
Dari segi argumentasi yang mengacu pada kitab-kitab rujukan, tidak ada rujukan yang menyebutkan secara jelas mengenai hukum jual beli petasan, yang ada hanyalah uraian singkat mengenai hukum bolehnya. Mentasarufkan harta untuk kebaikan dan kesenangan, sahnya menjual benda-benda yang dapat dihadirkan asal suci dan bermanfaat.
Apabila metode qauliy tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu’tabar, maka dilakukan Metode Ilhaq (menyamakan hukum suatu masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan masalah serupa yang ada dalam kitab). Prosedur yang ketiga ini dilakukan dengan mengikuti logika analogi dalam metode al-qiyās. Prosedur ini sering disebut sebagai metode “al-qiyās” khas Nahdlatul Ulama.
Contoh penerapan metode ilhaqiy adalah yang diputuskan pada Muktamar II (Surabaya, 9-11 Oktober 1927) mengenai hukum jual-beli petasan.
S (soal): Sahkah jual beli petasan (mercon-jw) untuk merayakan hari Raya atau Penganten dan lain sebagaina?
J (jawab): Jual-beli tersebut hukumnya sah! Karena ada maksud baik, ialah: adanya perasaan gembira menggembirakan hati dengan suara petasan itu.
Keterangan dalam kitab:
1) I’anah at-Talibin juz III / 121- 122:
“Adapun membelanjakan harta untuk bersedekah, aspek-aspek kebaikan, makanan, pakaian dan hadiah I yang tidak sesuai dengannya, maka tidak termasuk tindakan sia-sia. (Pendapatnya: tidak termasuk tindakan sia-sia) artinya menurut pendapat yang terkuat, karena di dalamnya mengandung tujuan yang benar, yaitu mendapatkan pahala bersenang-senang. Oleh karenanya dikatakan: dalam hal keabikan tidak ada yang dinamakan israf dan tidak ada kebaikan dalam israf”.
2) Al-Bajuriy / 652-654 bab perdagangan:
“Menjual sesuatu yang dapat dilihat artinya dapat dihadirkan (maka diprbolehkan) jika memenuhi syarat, yaitu barang yang dijual itu suci, dapat dimanfaatkan, dapat diserahkan dan dimiliki oleh pembeli“.
Dari segi argumentasi yang mengacu pada kitab-kitab rujukan, tidak ada rujukan yang menyebutkan secara jelas mengenai hukum jual beli petasan, yang ada hanyalah uraian singkat mengenai hukum bolehnya. Mentasarufkan harta untuk kebaikan dan kesenangan, sahnya menjual benda-benda yang dapat dihadirkan asal suci dan bermanfaat.
3. Metode Manhaji/istimbat
Metode manhaji/istimbat adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam mazhab.
Metode manhaji/istimbat adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam mazhab.
Bagi ulama
NU, term ini lebih dikonotasikan pada (istikhrāj al-hukmu min
an-nas) (mengeluarkan hukum dari teks-teks
primer; al-Qur’an dan as-Sunnah) yang dilakukan oleh mujtahid mutlak, yang
menurut ulama NU sangat berat untuk dilakukan ulama sekarang dengan segala
keterbatasannya baik dalam ilmu pokok yaitu penguasaan ilmu tentang al-Qur’an
dan assunnah maupun ilmu bantu yaitu penguasaan dalam bidang bahasa Arab dan
sebagainya. Untuk itu sebagai gantinya adalah istilah ukm)ittifāq
al-h (kesepakatan
hukum).[28]
Menurut
Sahal Mahfud, istinbat hukum langsung dari sumber primer yang cenderung
kepada pengertian ijtihad mutlaq, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan
karena keterbatasan-keterbatasan yang memang disadari terutama dalam ilmu-ilmu
penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara
jika ijtihad dilakukan dalam batas mazhab yang lebih praktis, dapat
dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat
kitab-kitab fiqh sesuai dengan terminologinya yang baku.[29]
Istinbat hukum diartikan bukan untuk
memgambil hukum secara langsung dari sumber hukum yang asli yakni al-Qur’an dan
as-Sunnah, tetapi melakukan tatbiq (penerapan) secara dinamis terhadap Nas-nas
(teks-teks) yang telah dielaborasi ulama fiqh periode klasik dan menengah
kepada persoalan waqi’iyyah (kasuistik) yang dicari hukumnya.
Secara definitif, NU memberikan definisi istinbāt hukum
sebagai suatu upaya mengeluarkan hukum syara’ denganal-qawā’id fiqhiyyah
dan al-qawā’id al-usūliyyah (Islamic legal teory) baik
berupa adillah ijmāliyyah (dalil global), adillah
tafsīliyyah (dalil terperinci) maupun adillah
al-ahkām (dalil hukum). Dengan demikian produk hukum yang dihasilkan
merupakan hasil ijtihad ulama atas nas-nas al-Qur’an dan assunnah yang sesuai
dengan prinsip-prinsip ijtihad yang di gunakan para mujtahid (tempo dulu.
Penggunaan
kaidah fiqhiyyah di kalangan NU, nampaknya dilatarbelakangi
oleh konsep bermazhab dalam mengembangkan hukum Islam, yang menjadi pilihan
bagi NU di masa awal. Pilihan ini dilatarbelakangi oleh
situasi masyarakat Indonesia yang telah menganut mazhab Syafi’i
secara kultural. Dengan demikian, apa yang dipilih NU adalah akumulasi pendapat
masyarakat dalam memahami dan mengamalkan hukum Islam yang dielaborasi
dari teks al-Qur’an dan assunnah. Akumulasi tersebut selanjutnya terformat
dalam konsep bermazhab, dengan cara mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi
dalam lingkungan mazhab tertentu, yakni berupa aqwal(pendapat-pendapat)
hasil ekplorasi hukum yang dilakukan oleh seorang mujtahid, sekaligus
menggunakan manhaj (metode) tersebut, bila memang diperlukan.[30]
Contoh penerapan metode manhajiy/istimbat adalah keputusan kongres / Muktamar I (1926):
S (soal): Dapat pahalakah sodaqoh kepada mayat?
J (jawab): Dapat!
Keterangan dalam kitab al-Bukhoriy bab “janazah” dan kitab al-muhadzdzab bab “wasiyat”:
Ibnu abbas meriwayatkan bahwasanya ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw: sungguh ibuku telah meninggal, apakah dia dapat memperoleh manfaat apabila saya bersedekah untuknya? Maka beliau menjawab: ya, dapat. Dia berkata: sungguh saya mempunyai keranjang buah, maka kuperskaiskan kepadamu bahwasanya saya menyedekahkannya untuk dia.
Keputusan diatas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy karena langsung merujuk pada hadits yang merupakan dalil yang dipergunakan oleh keempat imam mazhab setelah al-Qur’an.
Contoh penerapan metode manhajiy/istimbat adalah keputusan kongres / Muktamar I (1926):
S (soal): Dapat pahalakah sodaqoh kepada mayat?
J (jawab): Dapat!
Keterangan dalam kitab al-Bukhoriy bab “janazah” dan kitab al-muhadzdzab bab “wasiyat”:
Ibnu abbas meriwayatkan bahwasanya ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw: sungguh ibuku telah meninggal, apakah dia dapat memperoleh manfaat apabila saya bersedekah untuknya? Maka beliau menjawab: ya, dapat. Dia berkata: sungguh saya mempunyai keranjang buah, maka kuperskaiskan kepadamu bahwasanya saya menyedekahkannya untuk dia.
Keputusan diatas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy karena langsung merujuk pada hadits yang merupakan dalil yang dipergunakan oleh keempat imam mazhab setelah al-Qur’an.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Lajnah
Bahsu masail NU tidak terlepas dari latar belakang pesantren yang memegang
teguh tradisi bermadzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) dan
berlandaskan ahlusunnah wal jama’ah. Akan tetapi dalam operasionalnya mengikuti
madzhab yang empat berjalan secara tidak proposionnal, NU lebih cenderung
dengan fiqh Imam syafi’i.
Hasil
keputusan LBMNU telah dinyatakan oleh sahal Mahfud, bahwa LBMNU hanyalah
majelis yang memberkan fatwa kepada warga NU. Warga NU tidak wajib patuh
terhadap hasil keputusan LBMNU, pengikutan terhadap hasil Keputusan LBMNU
hanyalah bentuk moral bukan taklifi. Dalam memutuskan
masalah tidak menggali dari sumber aslinya Al-Qur’an dan Hadist, karena dirasa
sangat sulit untuk memenuhi kualifikasi Mujtahid mutlak sebagaimana yang
dilakukan oleh Imam madzhab yang empat. Ualntuk itu LBMNU mennggunakan beberapa
metode yang dianggap valid untuk memutuskan permasalahan agama. Ada tiga metode
yang dipakai LBMNU, yaitu
1.
Metode qouly
Sebuah
metode yang berguna untuk menjawab masalah-masalah agama melalui teks-teks
kitab madzhab
2.
Metode Ilhaqi
Metode
ini digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang tidak ada dalam
kitab dengan menyamakan suatu kasus yang sudah ada dalam kitab. Prosedur
demikian memakai penalaran analogi atau Qiyas.
3.
Metode manhaji
Metode
ini digunakan untuk menjawab permasalahan yang tidak ada dalam kitab madzhab
dan tidak ada satu qiyas yang mampu permasalahan tersebut. Metode manhaji
dengan memakai prosedur Qawaid dan ushul Fiqh yang disusun oleh imam madzhab
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin,
Ahmad, Pergulatan Pemikiran Fiqih dalam
Nahdlatul Ulama “Analisis Paradigma
atas Nalar Fiqh Tradisi” (Yagyakarta: PPs UIN Yogyakarta, 2007).
Jamil,
M. Muhsin dkk., Nalar Islam Nusantara, Studi Islam Ala Muhammadiyah, Al
Irsyad, Persis, dan NU (Dirdiktis Dirjend Pendis: Jakarta, 2007).
Haidar, M. Ali, Nahdlatul
Ulama dan Islam Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik. (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1998).
Fadeli, Soeleiman dan. Subhan, Moh , Antologi NU,( Surabaya:
Khalista,2008).
Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, NU
Online
Harits, Busyairi, Islam NU (Pengawal Trasisi Sunni Indonesia), (Surabaya: Khalista, 2010)
Masyhur
Amin, Ismail S. Ahmad, Dialog Pemikiran Islam & Realitas Empirik, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar , 1993).
Suprapto,
Bibit, Nahdlatul Ulama, Eksistensi, Peran dan ProspeknyaFakta dan
Aanalisa tentang Kehidupan NU (LP. Ma’arif Cabang Malang, 1987).
Wahid,
Abdurrahman, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, ,
2000).
Masyhuri,
A. Aziz, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama NU, (Surabaya:
Dinamika Press Group, 1977), hlm. 365.
Mahfudz, Muhammad
Ahmad Sahal, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994).
M.
B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia:Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial,
(Jakarta : Teraju:, 2002).
Zahra, Ahmad, Tradisi
Intelektual NU (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004)
Anas Burhanuddin, “Biografi Imam
Nawawi”, Posted on 30 September 2013 diwww.abuzubair.wordpres.com
[1] Kholid Mawardi, Mahzab Sosial
Keagamaan NU, (Stain Purwokerto: Yogyakarta, 2006), h.13
[2] Ibid, h. 15
[3] Ahmad Zahra, Tradisi Intelektual NU (LKiS Yogyakarta:
Yogyakarta, 2004), h. 5
[4] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia
Pendekatan Fikih dalam Politik. (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta,
1998). 41-42
[5] Ibid, 43
[6] Ibid, 45.
[7] Einar Martahan Sitompul, NU dan
Pancasila, NU Online
[8]
Oleh: K.H Sahal mahfudz dalam http://rmijepara.blogspot.com/2011/07/bahsul-masail-dan-istinbath-hukum-dalam.html
28-09-2013 pukul 15.00 WIB
[10] Soeleiman Fadeli dan Moh.
Subhan, Antologi NU,(Khalista:
Surabaya,2008), h. 77
[12]
Einar
Martahan Sitompul, NU dan Pancasila
: Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama Bab XX Permusyawaratan Tingkat
Nasional Pasal 72 di NU Online
[13] Ibid, pasal 74
[14] Ibid, Pasal 75
[15] Ibid, bab xxi-xxii
[16] M. Muhsin
Jamil dkk., Nalar Islam Nusantara, Studi Islam Ala Muhammadiyah, Al
Irsyad, Persis, dan NU (Jakarta: Dirdiktis Dirjend Pendis, 2007), hlm.
363
[17] Ahmad
Arifi, Pergulatan Pemikiran Fiqih dalam
Nahdlatul Ulama “Analisis Paradigma atas Nalar Fiqh
Tradisi” (Yagyakarta: PPs UIN Yogyakarta, 2007), h. 156.
[19] Anas
Burhanuddin, “Biografi Imam Nawawi”, Posted on 30 September
2013 diwww.abuzubair.wordpres.com
[21] Bibit
Suprapto, Nahdlatul Ulama, Eksistensi, Peran dan ProspeknyaFakta dan
Aanalisa tentang Kehidupan NU (LP. Ma’arif Cabang Malang, 1987),
h. 22
[22] A. Malik Madany, Pola
Penetapan Hukum Islam Nahdlatul Ulama, Antara
Fakta dan Cita, dalam
M. Masyhur Amin, Ismail S. Ahmad (eds.), Dialog Pemikiran Islam &
Realitas Empirik, (Pustaka Pelajar :Yogyakarta, 1993), h. 163.
[23] M. B.
Hooker, Islam Mazhab Indonesia:Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial,
(Teraju: Jakarta, 2002), h. 88.
[24] A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar
dan Munas Ulama NU, (Surabaya: Dinamika Press Group, 1977), hlm. 365.
[27] Busyairi Harits, Islam NU (Pengawal Trasisi Sunni
Indonesia), (Khalista: Surabaya, 2010), h.59-61
[28] Imam Yahya, Akar
Sejarah Bahtsul Masa’il: Penjelasan Singkat, dalam M. Imdadun Rahmad
(ed.), Kritik Nalar Fiqih NU, h. 4.
Tag :
NU