Dalam
rangka mengembangkan jasmani dan rohani
peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga mampu menunaikan
tugasnya sebagaimana yang telah diembankan Allah kepada manusia yaitu sebagai abd
dan khalifah sesuai dengan nilai-nilai islam. Maka pendidik dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada
orang-orang yang bertugas di sekolah, tetapi semua orang terlibat dalam proses
pendidikan anak sejak dalam kandungan hingga ia dewasa, bahkan sampai
meninggal. Pada dasarnya sosok pendidik menurut HAMKA adalah orang tua, guru,[1]
dan masyarakat.
1. Orang
Tua Sebagai Pendidik
Long
Live Education adalah slogan barat yang menggema
dalam dunia pendidikan. Artinya pendidikan harus terus menerus ditempuh untuk
mencapai derajad kemanusian yang sempurna, baik dunia maupun akhirat. Dalam
Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah, nasl, ali, dan nasb. Pembentukan
keluarga bermula dengan terciptanya hubungan suci yang menjalin seorang lelaki
dengan seorang perempuan melalui perkawinan yang halal, memenuhi rukun-rukun
dan syarat sahnya. Oleh sebab itu, kedua suami istri itu merupakan dua unsur
utama dalam keluarga.
Dalam pengertiannya yang sempit,
keluarga merupakan suatu unit sosial yang terdiri dari seorang suami dan istri,
atau dengan kata lain keluarga adalah perkumpulan yang halal antara seorang
lelaki dan seorang perempuan yang bersifat terus menerus di mana yang satu
merasa tenteram dengan yang lain sesuai dengan yang ditentukan oleh agama dan
masyarakat. Dan ketika suami isteri itu dikaruniani seorang anak atau lebih,
maka anak-anak itu menjadi unsur utama ketiga pada keluarga tersebut di samping
dua unsur sebelumnya.[2]
Dalam buku yang berjuudul Lembaga Hidup, HAMKA
membagi tugas dan kewajiban Ayah-Bunda menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a.
Semasa anak
masih menyusu, hendaklah diberi makanan yang sehat.
b.
Seketika
akalnya mulai tumbuh, dia bertanya ini itu. Waktu itu hendaklah ayah-bunda
berusaha membuka akal yang baru tumbuh itu, serta menunjukan contoh-contoh yang
baik.
c.
Zaman dia mulai
besar, akan meningkat dewasa, ketika itu darahnya sedang panas, khayalnya
sedang terbang menerawang. Zaman itu oleh orang ahli dinamai puberteits, zaman
pancaroba. Penjagaan kepada anak-anak waktu, sangatlah penting. Karna zaman
itulah zaman perjuangan. Ayah-bunda yang budiman sudah dapat menentukan kemana
haluan hidup anaknya, lantaran melihat perangainya di waktu zaman pancaroba
itu.
HAMKA juga menegaskan bahwa
kewajiban ibu dan bapak mendidik anak jangan diserahkan kepada gurunya di
sekolah saja. Karena tempo yang
dipakainya di dalam sekolah, tidaklah sepanjang tempo yang dipakainya di rumah.
Tiap-tiap anak mesti mendapat didikan dan pengajaran, yang akan diterimanya di
sekolah hanyalah ajaran, sedang didikan sebahagian besar di dapatnya di rumah.[3]
Berdasarkan tingkatan kewajiban dan tugas orang
tua sebagai pendidik di atas, maka dapat dipahami bahwa orang tua dituntut untuk
memberi makanan yang halal al-thayyibat (halal dan bergizi), sabar, kasih
sayang, meresponi pertumbuhan akal anak melalui cerita-cerita dan contoh-contoh
yang konkret dengan cara bijaksana, sesuai dengan perkembangan emosi seorang
anak, serta menuntunnya untuk mampu memcahkan berbagai persoalan yang sedang
dihadapi. Di sini, tugas kedua orang tua adalah menyalurkan kebutuhan anak
sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan menanamkan sendi-sendi moral Islam.[4]
Penanaman adab dan budi pekerti dalam diri anak
hendaknya dilakukan sedini mungkin. Upaya ini dilakukan dengan cara menanamkan
kebiasaan hidup yang baik. Pada periode ini, pelajaran terhadap materimateri
agama belum begitu dibutuhkan. Adapun yang dibutuhkan adalah didikan
nilai-nilai agama. Setelah anak dapat memahami dan mulai menggunakan akalnya
secara baik, maka materi-materi pelajaran agama baru kemudian diberikan
kepadanya, setahap demi setahap, sesuai dengan perkembangan fisik dan psikis,
serta kemampuan intelektualnya.
Pendekatan ini memberikan kesan adanya
pertimbangan tahapan pendidikan yang perlu dilakukan orang tua terhadap seorang
anak atau pendidik terhadap peserta didik. Menurut HAMKA, anak-anak umur 7
tahun hendaklah disuruh sembahyang, umur 10 tahun paksa supaya jangan
ditinggalkannya, sembahyang di awal waktu dengan segera, kalau dapat hendaklah
dengan hati tunduk (thau’an). Kalau hati ragu hendaklah paksa pula hati itu
(karhan). Inilah yang bernama sugesti menurut ilmu jiwa zaman sekarang.
Mudah-mudahan lantaran tiap hari telah diadakan pengaruh demikian, jalan itu
akhirnya akan terbuka juga.[5]
Tetapi apalah hendak dikata, kalau perasaan
agama lemah di dalam hati orang tua sendiri. Anaknya diserahkannya kepada suatu
sekolah. Menurut HAMKA, di sekolah itu yang ada hanya pengajaran, bukan pendidikan.
Kalaupun ada pendidikan, hanyalah pendidikan salah, pendidikan yang
menghilangkan pribadi. Banyak ilmunya tetapi budinya kurang. Kesudahannya
banyaklah kelihatan anak-anak muda yang tidak tentu tujuan hidupnya. Tidak
dapat berkhidmat kepada tanah-air tumpah darahnya. Bagaimana akan dapat
sedangkan bahasa ibunya tidak diketahuinya.[6]
Pendidikan agama ini amat perlu, walaupun pada
sekolah-sekolah yang tidak mengajarkan agama. Karna sebagaimana dikatakan tadi,
pendidikan dan pengajaran adalah hal yang berbeda. HAMKA berpendapat, apa
gunanya bersembunyi, bahwasannya pada masa ini, pun banyak terdapat
sekolah-sekolah yang mengajarkan agama, tetapi tidak mendidikan agama. Maka
keluar pulalah anak-anak muda yang alim ulama, bahasa Arabnya seperti air yang mengalir,
tetapi budinya rendah. Sama sajalah harganya sekolah-sekolah semacam ini dengan
sekolah yang tidak mengajarkan dan mendidikan agama.
Mengutip pendapat Al-Hakim Al-Musta’shim, HAMKA
memberikan rambu-rambu bagi kedua orang tua bagaimana cara melaksanakan
pendidikan terhadap anak, yaitu:
1.
Biasakan anak
cepat bangun dan jangan terlalu banyak tidur. Sebab, dengan banyak tidur akan
membuat anak malas beraktivitas, malas berpikir, dan lamban berkreasi.
2.
Tanamkan
pendidikan akhlak yang mulia dan hidup sederhana sedini mungkin. Sebab, bila
tidak, maka akan sulit untuk mengubah sikap yang telah mengkristal tersebut
kepada sebuah kebaikan.
3.
Membangkitkan
panca indera anak dengan mengoptimalkan fungsi pendengaran dan pengelihatan
melalui memikirkan penciptaan Allah, baik dari segi keindahan maupun keajaiban
serta makna yang terkandung di dalamnya.[7]
4.
Ajari berpola
hidup sederhana, yaitu sederhana dalam mengeluarkan belanja; tidak boros dan
tidak bakhil, sederhana mengeluarkan perkataan; tidak bocor mulut dan bicara
berdasarkan situasi dan kondisi, sederhana mengerjakan pekerjaan, dan sederhana
ketika suka maupun duka.
5.
Melalui
cerita-cerita yang menekankan cinta kasih, ajarkan kepada mereka penting-nya
kehidupan yang harmonis.[8]
6.
Biasakan anak
untuk percaya diri dan tidak menggantungkan diri dengan orang lain, memiliki
kemerdekaan dalam mengeluarkan pendapat, serta bertanggung jawab terhadap
keputusan yang diambilnya. Setidaknya, ada dua pendekatan Islam untuk
menanamkan kepercayaaan diri, yaitu melalui tauhid dan melalui takdir.
Mempercayai tiada kekuatan dan
ketentuan yang final selain aturan Allah. Tidak ada satu makhluk pun yang patut
ditakuti, kecuali Allah. Selama suatu aktivitas tidak bertentangan dengan
ketentuan dan nilainilai Illahi, maka tidak perlu tumbuh kekhawatiran.
Aktivitas yang dilakukan akan lebih dinamis dan sekaligus bernilai ketundukan
kepada zat yang agung. Tumbuhnya kepercayaan pada diri peserta didik akan
menimbulkan daya gerak dan daya pikir secara merdeka.[9]
Ketika
anak menginjak usia dewasa, kedua orang tua dituntut untuk menghargai pendapat
yang dikemukakan anak dan memberikan kemerdekaan kepadanya untuk berkembang,
baik fisik maupun psikis, secara maksimal. Kedua orang tua hendaknya bersikap
arif dan bijaksana dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya. Pendekatan
yang demikian sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak
selanjutnya. Pandangannya ini didasarkan pada realitas sikap-umumnyaorang tua
waktu itu, di mana tatkala menghadapi anak yang nakal, acapkali orang tua
bersikap kasar. Padahal, anak yang demikian itu biasanya pada waktu bersamaan
potensi akalnya ikut berkembang. HAMKA mengungkapkan bahwasannya di zaman
dahulu, menjadi kemegahan seorang ayah kalau anaknya takut kepadanya. Baru saja
dia masuk rumah, kembali daripada pekerjaannya, anak itu lari sebagai kucing
yang bersalah mencuri dendeng. Sebab itu sampai besarnya, ayah dan anak
tidaklah merasai nikmat berayah atau nikmat beranak.118 Hal ini bertentangan
dengan salah satu karakteristik pendidik ideal yang menyebutkan bahwa pendidik
harus mempunyai karakter atau sifat kebapaan, dalam arti harus memposisikan
diri sebagai pelindung yang mencintai muridnya serta selalu memikirkan masa
depan mereka untuk kebaikan anaknya. Tugas kedua orang tua adalah mencontohkan
perilaku dan sikap yang baik, menasehatinya, membimbing dan mengontrol-bukan
membentuk-agar dinamika fitrah anak berkembang secara maksimal, sesuai dengan
nilai ajaran agamanya.[10]
Pandangan
di atas, merupakan reaksi dari praktik pendidikan yang dilakukan kebanyakan
orang tua waktu itu. Pada umumnya, anak tidak memiliki kebebasan untuk
mengeluarkan pendapat dihadapan orang tuannya, maupun dalam menentukan kehendak
gerak hati sesuai dengan cita-citanya. Kedua orang tua seakan berkuasa penuh
dalam menentukan masa depan anak-anaknya. Jika orang tuanya seorang ulama, maka
ia selalu berkeinginan agar anaknya menjadi ulama sebagaimana orang tuanya.
Pola pendidikan yang demikian, sesungguhnya telah ikut mematikan dinamika anak.
Akibatnya, anak senantiasa tergantung dan berada di bawah bayang-bayang
kehendak orang tua. Praktik yang demikian telah berlangsung sejak sekian lama,
terutama di Minangkabau. Sementara itu, ada pula sebagian orang tua yang merasa
lepas tanggung jawab mendidik anak bila sudah ditangani seorang guru. Mereka
bersikap masa bodoh dan hanya ”dilepas unggaskan” kepada guru, tanpa mau ikut
serta membina kepribadian anak-anaknya.[11]
Menurutnya,
model pemikiran umat, terutama kedua orang tua yang demikian seyogyanya
dihilangkan. Kedua orang tua hendaknya memiliki visi baru tentang pendidikan
anak-anaknya. Kedua orang tua seyogyanya memberikan kebebasan (kemerdekaan)
berpikir kepada anak untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Seorang anak hendaknya dididik dan diasuh menurut bakat, kemampuan, serta
sesuai dengan tuntutan sosial dan perkembangan zamannya. Di sini, kedudukan dan
fungsi orang tua bukan membentuk anak sesuai dengan keinginannya, akan tetapi
menuntun dan mengontrol agar kebebasan dan dinamika potensi yang dimiliki anak
mampu terealisasi secara maksimal, sesuai dengan nilai-nilai ajaran agamanya.
Memberikan
kebebasan berpikir pada anak merupakan alat untuk membangun peradapan yang
lebih maju. Kebebasan berpikir menyebabkan setiap peserta didik lebih bergairah
untuk senantiasa meningkatkan mobilitas kreasinya dan melakukan serangkaian
eksperimen, sehingga melahirkan berbagai bentuk kebudayaan yang bisa
dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup umat
manusia. Tatkala kebebasan berpikir manusia terikat oleh sebuah tirani
yang embelenggu dinamika akalnya, maka pada waktu yang bersamaan, umat manusia
akan terpuruk pada kehidupan yang statis dan terbelakang. Kebebasan berpikir
dan menyatakan pikiran, pada akhirnya menimbulkan keberanian menentang yang
munkar, yaitu segala sesuatu yang salah dan tidak diterima oleh perikemanusiaan
yang sehat.[12]
Oleh karena itu, setiap komponen pendidikan hendaknya memberikan nuansa
kebebasan berpikir kepada peserta didik untuk bisa berkreasi dan mengeluarkan
pendapatnya secara lugas, jujur, dan bertanggung jawan. Pendekatan ini sangat
mendukung bagi perkembangan intelektualitas peserta didik itu sendiri.[13]
Selain
pandangan pendekatan di atas, bentuk pembinaan intelektual anak yang perlu
mendapat perhatian orang tua adalah menghadirkan sarana yang menunjang
pendidikan; diantaranya menyediakan perpustakaan, baik di lingkungan rumah
tangga, seklah maupun masyarakat. Tersedianya perpustakaan akan membiasakan
peserta didik untuk mengenal sumber informasi dan menunjang daya baca seorang
anak. Dengan sikap dan tersedianya sarana yang demikian ini, seorang anak akan
terbiasa menelusuri sumber ilmu pengetahuan. Pada awalnya, mungkin anak hanya
sekedar mengamati buku, kemudian membaca dan akhirnya menjadikan buku sebagai
bagian dari aktivitasnya sehari-hari. Bila kedua orang tua memiliki visi baru
terhadap model pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, akan sangat membantu
pelaksanaan pendidikan di sekolah yang menjadi tanggung jawab guru.[14]
Tanggung
jawab orang tua terhadap anaknya dalam mendidik disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya yaitu: Pertama, karena kodrat, yaitu karna orang tua
ditakdirkan menjadi orang tua anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua
orang tua, yaitu orang yang berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan
anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga.[15]
Islam
mengajarkan bahwa pendidik pertama dan utama yang paling bertanggungjawab
terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik adalah orang tua. Islam
memerintahkan kedua orang tua untuk mendidik diri dan keluarganya, terutama
anak-anaknya, agar mereka terhindar dari azab yang pedih. Firman Allah yang
artinya:
keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan- Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”. (Q. S. At Tahrim/ 66:6).
Ayat
di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah
dengan orang tua yang menjadi pendidik utamanya. Ayat di atas walau secara
redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah), tetapi itu bukan berarti hanya
tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan lelaki (ayah dan
ibu) sebagaimana ayat-ayat yang serupa (misalnya ayat yang memerintahkan
berpuasa) yang juga tertuju kepada lelaki dan perempuan. Ini menunjukan bahwa
kedua orang tua bertanggung jawab kepada anak-anak dan pasangan masing-masing
sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya.
Pemeliharaan
terhadap diri dan keluarga dapat dilakukan dengan cara meneladani Nabi dan
memberikan bimbingan dan didikan agar terhindar dari api neraka yang bahan
bakarnya terdiri dari manusia kafir dan batu-batu yang pernah dijadikan berhala
dengan penyiksaan yang
dilakukanmalaikat-malaikat yang kasar hati dan perlakuannya sesuai
dengan kadar dosa dan kesalahan masing-masing penghuni neraka.[16]
2. Guru
Menurut
pandangan HAMKA, sebagaimana yang tertulis di salah satu karyanya yang berjudul
Lembaga Budi; guru yang mendapat sukses di dalam pekerjaannya dan mendidik
muridnya mencapai kemajuan, ialah guru yang tidak hanya mencukupkan ilmunya
dari sekolah guru saja, tetapi diperluasnya pengalaman, dan bacaan. Senantiasa
teguh hubungannya dengan kemajuan moderen dan luas pergaulannya, baik dengan
wali murid atau dengan sesama guru, sehingga bisa menambah ilmu tentang soal
pendidikan. Rapat hubungannya dengan orang-orang tua dan golongan muda supaya
dia sanggup mempertalikan zaman lama dengan zaman baru, dan dapat disisihkannya
mana yang baik dan masih relevan. Hal ini menunjukan bahwa seorang pendidik,
dalam hal ini guru akan dapat menjalankan proses pembelajaran yang efektif jika
hubungannya dengan peserta didiknya berjalan secara harmonis. Untuk terciptanya
hubungan yang harmonis, seorang pendidik dituntut untuk memiliki sejumlah ilmu
yang akan diajarkan, memiliki integritas kepribadian, mempergunakan berbagai
metode pembelajaran, dan memahami diferensiasi (kepribadian maupun sosial)
peserta didik, baikmental, spiritual, intelektual, maupun agama yang diyakini
berikut dengan berbagai pendekatannya. Ada empat konsep yang perlu diperhatikan
oleh seorang pendidik, yaitu: Pertama, mengembangkan potensi (fitrah) peserta
didik. Kedua, mengembangkan pengajaran yang bersifat verbalistik. Ketiga,
mencatat seluruh aktivitas peserta didik sebagai pedoman untuk melakukan
pembinaan dan proses pendidikan selanjutnya. Keempat, memformulasi kondisi yang
kondusif dalam mengembangkan sistem pendidikan secara efektif dan efesien,
serta meminimalisasi faktor-faktor yang dapat menghambat pencapaian tujuan
pendidikan Islam.
Agar
supaya pendekatan di atas bisa terlaksana dengan baik, maka menurut HAMKA
seorang pendidik dituntut terlebih dahulu mengetahui tugas dan tanggung
jawabnya, yaitu berupaya membantu dalam rangka membimbing peserta didiknya
untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan menguasai
keterampilan yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun masyarakat luas. Untuk
terciptanya kondisi yang demikian, maka seorang pendidik dituntut untuk
terlebih dahulu memperluas pengalaman dan wawasan keilmuannya, memperhalus budi
pekertinya, bijaksana, pemaaf, tenang dalam memberikan pengajaran, tidak cepat
bosan dalam memberikan pelajaran terutama terhadap materi pelajaran yang
kurangdimengerti oleh sebagian peserta didik, serta memerhatikan kondisi baik
fisik maupun psikis peserta didik.[17]
HAMKA
berpendapat bahwa didikan di sekolah yang dilakukan oleh guru sangat
berbertalian dengan didikan di rumah oleh kedua orang tuanya. Hendaklah ada
kontak yang baik di antara orang tua murid dengan guru. Kadang-kadang datang
mendatangi, ziarah menziarahi, selidik menyelidiki tentang tabiat anak yang
dalam didikan itu. Tentu saja di dalam didikan secara Islam, akan mudah
melakukan ini. Sebab kalau rumah guru berdekatan dengan rumah orang tua murid,
sekurangnya sekali sehari, diantara Maghrib dan Isya, guru dan orang tua murid
itu akan bertemu di surau. Dan kalau rumahnya berjauhan, akan bertemu di
Jum’at. Kesempurnaan didikan anak itu dapat dibicarakan dengan baik.
Orang
tua yang pandai sangat menolong guru. Jika tugas mendidik hanya dilimpahkan
kepada guru maka hasil akan tidak maksimal. Pengaruh keadaan sekeliling,
pengaruh pekerjaan, kepandaian dan pendidikan orang tua di zaman dahulu, pun
besar kepada anaknya. ”Air itu turun dari cucuran atap, demikian kata pepatah.
Hal itu dapat dibuktikan; jika ayahnya bodoh, sontok pikirannya, hal itupun
menurun kepada anaknya, demikian juga jika ayahnya orang pintar, maka
kepintaran itu akan turun kepada anaknya. Di sinilah gunanya guru.[18]
HAMKA sangat optimis bahwa meskipun
anak yang berasal dari gen atau keturunan orang bodoh dan terbelakang atau
bahkan anak haram sekalipun bisa menjadi pandai dan maju jika diajar dan
dididik oleh guru yang baik.
Adapun
criteria pendidik yang baik, menurut HAMKA harus memenuhi syarat sekaligus
kewajiban sebagai seorang pendidik, yaitu;
1.
Berlaku adil
dan obyektif pada setiap peserta didiknya.
2.
Memelihara
martabatnya dengan akhlak al-karimah, berpenampilan menarik, berpakaian rapi,
dan menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela. Sikap yang demikian akan
menjadi contoh yang efektif untuk diteladani peserta didiknya.
3.
Menyampaikan
seluruh ilmu yang dimiliki, tanpa ada yang ditutuptutupi. Berikan kepada
peserta didik ilmu pengetahuan dan nasihat yang berguna bagi bekal kehidupannya
di tengah-tengah masyarakat.
4.
Hormati
keberadaan peserta didik sebagai manusia yang dinamis dengan memberikan kemerdekaan
kepada mereka untuk berpikir, berkreasi, berpendapat, dan menemukan berbagai
kesimpulan lain.
5.
Memberikan ilmu
pengetahuan sesuai dengan tempat dan waktu, sesuai dengan kemampuan intelektual
dan perkembangan jiwa mereka.[19]
6.
Tidak menjadikan upah atau gaji sebagai alasan
utama dalam mengajar peserta didik. Menurut HAMKA, tidaklah salah bekerja untuk
mencari upah. Tetapi bila usaha itu sudah cari upah semata-mata, sehingga tidak
ada lagi rasa tanggung jawab kepada baik atau buruknya pekerjaan, alamat
semuanya akan rusak dan akhirnya celaka. Orang yang bekerja hanya semata-mata
memandang upah, tidaklah dapat dipercaya. Dia membaguskan pekerjaan dan
membereskan buah tangannya bukan karna ingin kebagusan, tetapi karna ingin
upah. Jika upah sudah diturunkan, pekerjaannya sudah dibatalkanya, sehingga
mutunya menjadi mundur.[20]
7.
Menanamkan
keberanian budi dalam diri peserta didik. Keberanian budi, ialah berani
menyatakan suatu perkara yang diyakini sendiri kebenarannya; tidak takut gagal,
salah ataupun dicela orang lain. Untuk menanamkan bibit-bibit keberanian kepada
anak-anak, maka ahli pendidik di benua Eropa dan Amerika, mendapat beberapa
jalan; yaitu:
a)
Menguatkan
pelajaran senam (sport), sehingga badan dan fikirannya sehat.
b)
Mengajarkan dan
menceritakan riwayat orang-orang yang berani, yakni para pahlawan bangsa dan
pejuang-pejuang Islam. Biasakan berterus terang bercakap-cakap.
c)
Tidak percaya
kepada khurafat.
d)
Memperkaya akal
dengan ilmu yang memberi faedah.[21]
Agar ilmu melekat di hati peserta
didik, HAMKA mencontohkan Engku M. Syafei (Alm), pendidik yang masyhur di Kayu
Tanam. HAMKA bercerita:
Pada
suatu hari datanglah murid-murid kepada Engku M. Syafei (Alm) meminta supaya
hari itu diajarkan pelajaran Ilmu Bumi Ekonomi.Ketika itu mereka sedang berada
di halaman sekolah, bukan di dalam kelas. Waktu itu sajalah Engku M. Syafei
memperlakukan permintaan itu sambil berdiri. Diberinya keterangan tentang
kekayaan dan kesuburan tanah air, buah-buahan yang bisa tumbuh dan hasil yang
dapat dibawanya kepada putera bumi itu sendiri, kalau mereka
bersungguh-sungguh. Disuruhnya murid-muridnya itu menentang puncak Gunung
Singgalang bahwa di sana ada kekayaan yang tidak tepermanai. Lalu disuruhnya
pula mendengarkan bunyi aliran air di Batang Anai yang hebat dahsyat, lalu
dinyatakannya pula faedah yang dapat diambil darinya. Sehingga termenunglah
murid-murid itu dan lekat di hati mereka keterangan gurunya. Pelajaran seperti
itu jauh lebih besar bekasnya kepada jiwa mereka, dari jika disuruh duduk
berbaris menghadapi bangku.[22]
Hal
ini mengindikasikan bahwa suatu ilmu tidaklah lekat di dalam hati dan jiwa,
tidaklah terpasang kepada diri kalau tidak diamalkan, dibiasakan, dan
dicobakan.[23]
3. Masyarakat
Peserta didik merupakan makhluk sosial yang
tidak bisa hidup tanpa berinteraksi dan membutuhkan bantuan orang lain yang ada
di sekitarnya. Sifat dasar ini membuat interdependensi antar peserta didik
dengan manusia lain dalam komunitasnya tak bisa dihindarkan. ksistensinya saling bekerja sama dan saling
memengaruhi antara satu dengan yang lain. Melalui bentuk komunitas masyarakat
yang harmonis, menegakkan nilai akhlak, dan hidup sesuai dengan nilai-nilai
ajaran agama, akan dapat mewujudkan tatanan kehidupan yang tentram. Kondisi dan
model masyarakat yang demikian, merupakan prototipe masyarakat ideal bagi
terlaksananya pendidikan yang efektif dan dinamis. Oleh karna itu, dalam
memformulasi sistim pendidikan, diperlukan pendekatan psikologis-sosiologis.
Pendekatan yang dilakukan hendaknya mengakomodir dan menyeleksi sistim nilai
sosial (adat) dimana pendidikan itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan
pendekatan ini pendidikan akan mampu memainkan perannya sebagai agent of
changedan agent of social culture. HAMKA menyebut peserta didik sebagai bunga
masyarakat yang kelak akan mekar atau akan menjadi tubuh dari masyarakat, oleh
karna itu tiap anggota masyarakat bertanggung jawab menjaga dan melindunginya
dari segala sesuatu yang dapat menghambat kemajuan kecerdasannya.[24]
Menurut HAMKA, akhlak peserta didik dapat
dikatakan sebagai cerminan dari bentuk akhlak masyarakat di mana ia berada. Hal
ini karena kehidupan setiap anggota masyarakat dalam sebuah komunitas sosial,
merupakan miniatur kebudayaan yang akan dilihat dan kemudian dicontoh oleh
setiap peserta didik. Eksistensi masyarakat merupakan laboratorium dan sumber
makro yang penuh alternatif bagi memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.
Setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap
terlaksananya proses pendidikan yang efektif. Kesemua unsur yang ada hendaknya senantiasa
bekerja samasecara timbal balik sebagai alat sosial-kontrol bagi pendidikan.[25]
HAMKA menegaskan bahwa, eksistensi adat dalam
sebuah komunitas sosial dan kebijakan politik negara, cukup berpengaruh bagi
proses perkembangan kepribadian peserta didik pada masa selanjutnya. Oleh
karena itu, seluruh sistim sosial di mana peserta didik itu berada hendaknya
bersifat kondusif dan proporsional bagi menopang perkembangan dinamika fitrah
yang dimiliki setiap anak didik. Masyarakat maupun negara seyogyanya melihat
adat dan kebijaksanaan pemerintah sebagai sesuatu yang fleksibel, serta
menghargai setiap pendapat sebagai sebuah keberagaman. Sikap yang demikian akan
menumbuhkan dinamika berpikir kritis dan menghargai kemerdekaan yang dimiliki
setiap orang, tanpa menyinggung kemerdekaan yang lain.
Masyarakat juga dituntut memiliki kepedulian
sekaligus mengontrol (social control) terhadap perkembangan pendidikan peserta
didik. Kepedulian tersebut bukan hanya bersifat moril maupun materiil, akan
tetapi wujud aksi nyata, seperti mengembangkan, majelis-majelis keilmuwan dalam
komunitasnya. Keikutsertaan seluruh anggota masyarakat yang demikian akan
membantu upaya pendidikan, terutama dalam memperhalus akhlak dan merespon
dinamika fitrah peserta didik secara optimal. Prototipe masyarakat yang
demikian, sesungguhnya marupakan prototipe masyarakat madani (civil society)
sebagaimana yang diidam-idamkan dewasa ini.[26]
Untuk menciptakan peserta didik yang memiliki
kepribadian paripurna, ketiga sosok pendidik di atas hendaknya bekerja sama
secara harmonis dan integral. Bila hal itu tidak dilakukan, maka pelaksanaan
pendidikan yang ideal hanya akan tinggal sebuah hipotesis. Peran ketiga
pendidik di atas memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pembentukkan
kepribadian peserta didik. Namun demikian, tidak bisa dikelompokkan secara
linear faktor mana yang lebih besar pengaruhnya, karna saling mendukung dan
menguatkan.
Agar pendidikan bersifat interaktif, maka
menurut HAMKA seorang pendidik hendaknya ’berbuat’ sebagaimana layaknya sikap
dan tingkah laku anak yang sedang dihadapinya. Dengan pendekatan tersebut, anak
akan merasa dekat dengan orang yang mendidiknya. Proses ini merupakan
pendekatan yang strategis dalam upaya mencapai tujuan pendidikan yang
diinginkan. Dalam hal ini, ia mengutip pendekatan yang dilakukan Rasulullah
terhadap Hasan dan Husein. Dalam melaksanakan misi pendidikannya, rosulullah
bahkan tidak segan-segan bermain kuda-kudaan dengan cucu-cucunya. Oleh karena
itu, seorang pendidik hendaknya mampu memformulasi bentuk pendekatan pendidikan
yang bersifat persuasif terhadap peserta didik, sesuai dengan
tingkat perkembangan intelektual dan emosional.
[1] Hamka,
Filsafat Hidup, hal-203
[2]Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,
(Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995) Cet-3, hlm. 346
[4]Muhammad Ali
Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, (Bandung,
Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 174
[7]Mahmud, Abdul
Wahab Fayid, Pendidikan Dalam Al-Quran, (Semarang: CV
Wicaksana, 1986), hlm. 22-25
[10]Abdurrahman
an-Nahlawi, Ushul Al-Tarbiyat Al-Islamiyat Wa Asalibuha, (Damsyik, Dar
al-Fikr, 1983), hlm. 139.
[16]M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Quran,(Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Volume 14, Cet-5, hlm. 326-327.
[17] Hamka, Lembaga
Hidup, Hal-211
[18] Hamka, Lembaga
Hidup, Hal-225-226
[19] Samsul Nizar,
Memperbincangkan, hal 172
[20] Hamka, Filsafat
Hidup, Hal-172
[21] Hamk,Filsafat
Hidup, Hal-209-211
[22] Hamka, Lembaga
Budi, Hal-71
[25]Ramayulis, Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), Cet-1, hlm.
274-275.
Tag :
HAMKA