Tulisan ini melanjutkan postingan blog saya sebelumnya yang membahas tentang Al-Hallaj dan Ajarannya. Saya rasa tidak cukup berhenti membahas tentang biografi Al-Hallaj dan Ajaran Al-hallaj saja, masih ada yang sangat penting untuk dibahas secara mendalam yaitu tentang kematian Al-Hallaj itu sendiri.
Dalam kalangan sufi maupun fiosof klaim kafir menjadi sebuah budaya yang menghebohkan dalam pemikiran umat Islam.
Terkadang klaim kafir tersebut membawa kepada hukuman mati, karena kokohnya dalam mempertahankan teologi yang mereka anut. Paling
tidak hukuman yang ringan bagi para sufi dan filosof diasingkan oleh para
penguasa.
Salah kasus klaim kafir
yang sagat populer dikalangan sufi , yang membawa kepada sidang hukuman
mati adalah Al-Hallaj. Dimana Al-Hallaj mendapatkan kecaman yang sangat keras dari penguasa pada saat itu tentang ajaran dan perilaku moral politiknya yang sangat bertentangan etika sosial dan Agama pada saat itu.
Kematian al-Hallaj
mengundang problmatika yang sangat besar dikalangan umat Islam. Karena tokoh sufi
berpaham setingkat al-Hallaj tidak mengalami nasib yang sama sebagaimana
al-Hallaj. Meskipun pada saat itu kajian tasawuf falsafi yang dianut oleh
al-Hallaj mengalami puncak perkembangan
yang pesat, akan tetapi problematika hukum mati hanya terjadi dan
melanda kepada al-Hallaj. Sementara para
sufi yang lain mereka mendapatkan perlindungan yang penuh dari penguasa,
seperti Abu Yazid Al-Bustami, Dzun
Misri, Ibnu Arabi dan lain-lain.
Kalau dipahami secara mendalam mungkinkah pada al-hallaj
terdapat suatu pemahaman yang sangat dangkal yang mangakibatkan para kalangan
awam tersesat atau ada faktor politis yang mengakibatkan al-Hallaj dapat
terbunuh oleh para penguasa pada saat itu.
Tulisan ini akan menjabarkan kedua aspek tersebut, yang sangat melatarbelakangi hukum
mati pada diri al-Hallaj.
Kalau dipandang secara teologis bahwa tasawuf al-Hallaj
sangat berlainan dengan tasawuf pada saat itu. Tasawuf al-Hallaj lebih bersifat
sosial dan filosofis. Sementara tasawuf yang lain umumnya pada saat itu cenderung
terhadap kehidupan uzlah, menyendiri, zuhud dan lain-lain. Kata-kata filosofis
al-Hallaj menyebabkan kemarahan dikalangan ulama’ fuqoha’ yang mengakibatkan
al-Hallaj sebagai sufi kontroversi dan diklaim
meyimpang dari syari’at.
Hukuman mati yang melanda pada al-Hallaj tidak hanya bisa
dilihat dari konsep teologisnya saja, tapi ada banyak faktor yang meondorong
penguasa untuk membunuh al-Hallaj. Salah satu faktor yang sangat mendukung hukuman mati al-Hallaj
adalah faktor politis yang berkaitan erat dengan aliran syi’ah.
Kesan politis tersebut
nampak ketika al-Hallaj menikah dengan Umu Husain Binti Abi Ya’kub Al-Aqtha’
Al-Bashari, ayahnya berasal dari suku karanba. Orang-orang karanba adalah
hamba-hamba sahaya dari kabilah bani Mujasyi yang berdiam di distrrik tamim
Bashrah. Mereka adalah politikus yang sangat handal, yang pernah memimpin
pemberontakan syi’ah zaidiyah yang
digerakkan oleh orang-orang negro. Dengan kejadian inilah al-Hallah sangat erat
hubungannya dengan orang-orang syi’ah sehingga akibat lamanya berinteraksi
dengan syi’ah tersebut al-Hallaj terpengaruh oleh sufistik-sufistik syiah.
Dukungan al-Hallaj
kepada Syi’ah lebih jelas lagi ketika Al-Hallaj pernah mengkampenyekan sebagai
pengdukung Ahlu Bait, kemudian ia ditangkap dan disiksa oleh para penguasa.
Keterlibatan al-Hallaj diperkuat oleh Ibn Al-Nadhim yang menjelaskan
bahwa al-Hallaj mempunyai beberapa karya yang berhubungan politik, diantaranya:
Kitab Al-Siyasah wa Al-Umara’ wa
Al-Khulafa’ dan Al-Durah ila nasr AlQasywari. AlQasywari adalah seorang
kepada pengawal istana khalifah,
Al-Siayasah Ila Al-Husayn Ibn Hamdan. Al-Husasyn Ibn Hamdan adalah seorang
emir.
Pada penangkapan awal kalinya al-Hallaj berhasil meloloskan
diri, karena hakim pada saat itu bermadzhab syafi’i yaitu Abu Abbas Ibn Surayj
tidak mau mengabulkan para kalangan fuqoha’ madzhab Al-Zahiri yang menunduh Al-Hallaj
sebagai orang zindiq. Karena Abu Abbas Ibn Surayj seorang yang mengkaji
pemikiran-pemikiran sufisme. Menurutnya ilham sebagaimana yang diteriman oleh
al-Hallaj tidak ditermasukkan dalam peradilan agama.
Setelah lepas dari peradilan, al-Hallaj mempunyai peluang
besar melakukan reformasi pahamnya. Pengikut al-Hallaj semakin pesat, karena
al-hallaj dalam menyebarkan ajarannya menggunakan strategi yang sangat cerdik.
Ia mengirim kader-kadernya keberbagai kalangan, sehingga pengikut al-hallaj
tidak hanya kalangan rakyat kecil tapi kalangan elitpun sangat mencukupi.
Akibat semakin mewabahnya ajaran Al-hallaj yang sangat
kontroversi tersebut akhirnya al-Hallaj berhasil ditangkap kembali oleh penguasa. Ia ditangkap di distrik Al-Sus.
Keberadaannya dilaporkan oleh seorang perempuan yang mengatakan bahwa al-Hallaj
berkumpul dengan pengikutnya dan beberapa orang pejabat, kemudian al-Hallaj pun
tertangkap dan dipenjarakan.
Proses persidangan al-Hallaj tidak berlangsung secara
spontan, akan melalui melalui rentan waktu yang cukup lama, karena persidangan
al-Hallaj sangat erat hubungannya dengan plitis penguasa saat itu.
Al-Hallaj meninggal pada masa Khalifah Al-Muqtadir (296-320 H/ 908-932 M) salah
seorang khalifah Bani Abbasyiah yang ke 18. Yang jelas proses pembunuhan al-Hallaj
pada saat itu bukan dilatar belakangi ajaran sentralnya, akan tetapi unsur
keterlibatannya dengan kelompok syi’ah Qaramithah dan dukungan al-Hallaj kepada
Ahlu Bait sangat memperkuat. Ditambah lagi dengan penguasa yang lebih condong
kepada Sunni Ortodoks.
Tag :
Tasawuf